Sejak wabah Corona (Covid-19) muncul pertama kali di Kota Wuhan Provinsi Hubei Tiongkok, menggemparkan seantero dunia. Banyak negara yang terpapar Covid-19 menetapkan status menjadi bencana nasional. Covid-19 menjadi Bencana Nasional di Indonesia sesuai dengan KEPPRES Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Upaya memutuskan penularan Covid-19 dan menyelamatkan warga yang terpapar, Pemerintah Republik Indonesia menyiapkan strategi kebijakan, melakukan perubahan besar terhadap perencanaan pembangunan nasional yang telah ditetapkan sebelumnya, refocusing dan realokasi anggaran diprioritaskan pada percepatan penanggulangan Covid-19 dan meminta seluruh komponen bangsa ikut membantu.
Sebagai tindak-lanjut Percepatan Penanggulangan Covid-19 Pemerintah memberlakukan protokol kesehatan di seluruh sektor. Penerapan protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak (social-phsycal distancing), cuci tangan pakai sabun (hand sanitizer). Sektor pendidikan menerapkan program belajar dirumah dan belajar daring, sektor industri, sektor parawisata, dan sektor perdagangan yang berskala besar ditutup sementara, sektor perhubungan membuka pelayanan terbatas dengan penambahan persyaratan tertentu dan pengamanan yang ketat. Sektor keagamaan juga berdampak, dimana Mesjid-mesjid dan rumah ibadah lainnya dibeberapa kota besar harus ditutup. Bahkan beberapa Provinsi di Indonesia mengusulkan dan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Beda halnya di Bumi Serambi Mekkah, upaya preventif dan memutuskan mata rantai penyebaran Covid-19. Pemerintah Aceh bersama Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Aceh (Forkopimda-Aceh) megeluarkan Maklumat Pemberlakuan Jam Malam sejak Tanggal 29 Maret 2020 mulai pukul 20.30 sampai dengan pukul 05.30 WIB. Maklumat tersebut berlaku untuk seluruh kabupaten/kota di Aceh. Namun penerapan Maklumat Pemberlakuan Jam Malam menuai protes dari elemen sipil dan pihak-pihak yang dirugikan. Banyak pihak menganggap bahwa Pemberlakuan Jam Malam di Aceh akan membangkitkan luka lama dan trauma konflik di masa lalu. Pemberlakuan jam malam di Aceh hanya berlangsung selama satu pekan, setelah dikeluarkan maklumat pencabutan (http://aceh.tribunnews.com).
Situasi pandemi, berpengaruh pada banyaknya kegiatan pemerintah yang tertunda, macetnya roda perekonomian masyarakat, banyak usaha bangkrut dan tidak sedikit jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menjadi masalah baru. Pemerintah telah melakukan berbagai program-kegiatan seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Kartu Prakerja hingga Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk membantu masyarakat dampak Covid-19, namun banyak menuai masalah baru karena mengguna data lama, tumpang tindih dan terkesan tidak cermat.
Pandemi Covid-19 di Indonesia belum berakhir, lebih spesifik di Provinsi Aceh malah terjadi peningkatan jumlah kasus, dalam sehari terdapat lima warga positif Covid-19. Kasus ini menjadi babak baru dalam penyebaran Covid-19 di Aceh. Karena sekeluarga terkonfirmasi positif virus corona melalui transmisi lokal. Kembali heboh, kasus Covid-19 terbaru di Kota Lhokseumawe memberikan isyarat kepada masyarakat Aceh untuk selalu mengikuti instruksi dari pemerintah dengan panduan protokol kesehatan di era new normal (http://dinkes.acehprov.go.id).
New Normal
Vaksin penangkal Covid-19 sampai dengan saat ini belum ditemukan, kasus demi kasus masih terjadi di berbagai daerah, sementara denyut perekonomian masyarakat yang sempat terhenti harus digerakkan dan dipulihkan. Pemerintah Pusat mengeluarkan dan memberlakukan kebijakan melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha Pada Situasi Pandemi.
Terbitnya panduan tersebut, mengharuskan para pelaku usaha untuk mematuhi dan mampu beradaptasi menuju new normal menjadi suatu keniscayaan. Industri dan tempat-tempat usaha yang sempat ditutup, sudah dipersilahkan buka kembali dengan mengikuti dan menerapkan panduan protokol kesehatan new normal yang dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan badan usaha.
Aceh Darurat Narkoba
Tingkat penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia terus meningkat, walaupun negeri ini sedang dilanda pandemi dan menuju new normal. Provinsi Aceh, masih bertahan pada rangking 6 secara nasional dengan jumlah penyalahgunaan narkoba mencapai 82 ribu lebih atau 2,8 persen dari jumlah penduduk dan Aceh saat ini menyandang status Daerah Darurat Narkoba (http://aceh.tribunnews.com).
Berbicara Aceh, memang sulit melepaskan diri dari status darurat. Mulai dari status darurat militer, darurat sipil sampai dengan status darurat narkoba dan penetapan status tersebut, pasti ada sebab-akibat. Kondisi ini, semakin memperburuk citra Aceh sebagai daerah yang memberlakukan Syaraiat Islam. Sementara praktek kejahatan narkoba semakin merajalela, lebih memilukan lagi ketika Aceh dijadikan sebagai tempat transit narkoba jaringan internasional. Pemerintah Aceh harus memperkuat sinergitas bersama pihak terkait dan mengedepankan kearifan lokal dengan cara mengoptimalkan peran ulama, akademisi, organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyakatat dan lembaga kesejahteraan sosial sebagaimana telah diundangkan dalam Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2018 tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika. Masyarakat juga dituntut untuk lebih proakatif dalam kegiatan-kegiatan preventif sembari memproteksi diri sendiri dan keluarga dari penyalahgunaan narkoba.
Nah, Sampai kapan status Aceh Darurat Narkoba dicabut atau berakhir ?. Jawabannya kembali kepada kebijakan Pemerintah Aceh yang konsisten memberantas narkoba. Serta dibarengi dengan ikhtiar individu-masyarakat secara serentak memerangi narkoba.
Menjelang peringatan Hari Anti Narkotika Internasional (HANI) tanggal 26 Juni 2020. Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia telah merelease tageline Hidup 100% dan menjadi brand pada perayaan HANI 2020. Hidup 100% merupakan upaya untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih maksimal dalam segala hal, mulai dari fisik-mental, jasmani-rohani, dunia-akhirat dengan hidup tanpa narkoba. Lebih ringkasnya Hidup 100% bermakna Sadar, Sehat, Produktif dan Bahagia (http://bnn.go.id).
Hidup 100% yang sedang dikampanyekan Badan Narkotika Nasional melalui medsos dan platform digital, merupakan motivasi untuk meningkatkan kesadaran kolektif (individu-masyarakat-pemerintah) dalam memberantas narkoba. Provinsi Aceh dengan status darurat narkoba dan menjadi target pasar jaringan internasional, sangat sulit bagi masyarakat Aceh menggapai hidup 100 persen, karena penyalahgunaan dan peredaran narkoba semakin hari terus meningkat dengan berbagai modus operandi. Semakin rumit ketika masih ada oknum-oknum dari penengak hukum yang seharusnya menjadi pengayom masyarakat, namun terlibat dalam kejahatan narkoba.
Kepribadian seseorang menjadi lebih baik dan lebih maksimal bukan hanya tergantung pada dirinya sendiri (faktor internal). Namun juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti keluarga, lingkungan sosial, relasi sosial, lingkungan pekerjaan, lingkungan pendidikan, kepercayaan dan norma-norma yang berlaku didalam masyarakat, serta ditentukan oleh regulasi-regulasi dan perlakuan (treatment) dari pemerintah. Jadi untuk mewujudkan masyarakat Aceh Hidup 100 persen Tanpa Narkoba, diperlukan intervensi pemerintah secara terencana, konkrit, memberdayakan dan berkelanjutan. Mungkinkah status Aceh Darurat Narkoba berubah menjadi Aceh Bersinar ?, semoga Aceh tidak mengalami pandemi narkoba.
Penulis,
HAMDANI, ST., M.Si (hamdanipsi@gmail.com)
Ketua IKAN Kab. Aceh Jaya; dan
Anggota FAMe Chapter Aceh Jaya.
Alamat : Gampong Padang Datar Kec. Krueng Sabee Kab. Aceh Jaya.