GemarNews| Banda Aceh Setelah mengamati adanya kecenderungan sebagian mantan koruptor menduduki jabatan strategis di beberapa lembaga politik di Aceh, kondisi itu telah menimbulkan keprihatinan tokoh HIPAKAD (Himpunan Putra/Putri Keluarga TNI AD) Aceh.
“Mau jadi apa negeri syariat ini. Memangnya sudah tidak ada lagi orang-orang baik yang punya integritas? Karena itu Hipakad menolak keras pemimpin eks koruptor,“ tegas Ketua Umum HIPAKAD Aceh, Muhammad Iqbal kepada wartawan, di Banda Aceh, Jum,at (10/7/2020).
Di era transparasi dan bersih-bersih di semua sektor, baik lembaga pemerintah mau pun swasta, kata Iqbal, bagi Hipakad Aceh ini tidak zamannya lagi dipimpin mantan preman atau koruptor. Hipakad, lanjutnya, menolak mereka untuk kembali eksis menjadi pemimpin, apalagi di Nanggroe Aceh yang menerapkan syariat Islam.
Pendiri dan pemrakarsa Pesantren Tgk. Chik. Eumpe Awee, Blang Bintang, Aceh Besar ini tidak mau “tunjuk hidung” siapa eks koruptor yang dia maksudkan tersebut. Tapi, dia yakin rakyat Aceh sudah tahu.
“Statement saya ini untuk mengajak masyarakat Aceh agar menolak orang-orang yang mengaku tokoh, padahal latar latar belakangnya eks koruptor dan tidak punya integritas,” tambah Iqbal.
Iqbal menyebutkan, sebagai provinsi yang menerapkan syariat Islam, sudah sepatutnya jabatan-jabatan politis di Aceh dipegang oleh orang-orang yang punya integritas tinggi dan bersih dari korupsi. Sebab kata dia, seorang pemimpin akan menjadi contoh dan panutan bagi rakyatnya.
“Bila para pemimpin politik di Aceh masih tetap dipegang oleh tokoh-tokoh yang pernah tersangkut korupsi atau tindakan tercela lainnya, maka apa bedanya Aceh dengan daerah lain yang tidak menerapkan syariat Islam? Mestinya sebagaimana statusnya sebagai negeri syariat, pemimpin di Aceh harus bersih, prilakunya baik, religius sehingga bisa menjadi teladan bagi rakyatnya,” kata Iqbal
Seorang pemimpin di Aceh, menurut Iqbal, harus mampu menjalankan semangat transparansi dan good governance (tata pemerintahan yang baik), yang diimpikan rakyat Aceh. Bila good governance dijalankan, maka Aceh akan memiliki kualitas pemerintahan yang lebih baik.
Tata kelola (governance), menurut Iqbal, tidak dapat dilepaskan dari figur seorang pemimpin. Bila seorang pemimpin mampu menjalankan prinsip-prinsip dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan atau lembaga politik, maka transparansi, partisipatif dan akuntabilitas akan berjalan semestinya.
Pengurus KADIN Aceh ini menambahkan, akan menjadi sulit untuk membangun Aceh, bila para pemimpin politik dan pemimpin pemerintahan masih belum bebas dari prilaku korupsi.
“Korupsi sudah menjadi musuh bersama, karena akan menyengsarakan rakyat. Maka pemimpin di Aceh harus bebas dari prilaku itu,” tegas M.Iqbal.
M.Iqbal berpesan kepada para pemimpin politik, pemerintahan dan sektor swasta yang berambisi menjadi pemimpin di Aceh, tapi memiliki track record koruptif, sebaiknya berpikir ulang. “Aceh tidak zamannya lagi dipimpin oleh orang yang berprilaku korupsi,” kata ketua Hipakad itu.
Pada kesempatan itu M.Iqbal mengatakan, Hipakad yang dipimpinnya saat ini sudah ada di sembilan kabupaten/kota di Aceh, dengan jumlah anggota mencapai sekitar 2000 orang. Targetnya, kepengurusan Hipakad terbentuk di seluruh kabupaten/kota di Aceh.
Hipakad yang lahir sebagai Ormas tahun 2017, lanjut M.Iqbal, telah bertekad mendorong tokoh atau figur yang bersih dan berintegritas untuk menjadi pemimpin di Aceh. Baik untuk pemimpin politik mau pun pemimpin di pemerintahan.
Hipakad Aceh sendiri, kata M.Iqbal, saat ini telah mengampanyekan ketahanan pangan di Aceh. Ormas ini bermitra dengan pemerintah, membuka 1.000 hektare lahan eks HTI Indonusa Indrapuri, Aceh Besar, untuk ditanami jagung tutup Iqbal