Oleh: Muhibbul Zikri*
Kupiah Meukutop adalah warisan leluhur yang sudah membudaya di masyarakat Aceh, namun akhir-akhir ini trendingnya naik setelah dipakai oleh beberapa tokoh, termasuk oleh salah satu gubernur Jawa, pengusaha nasional yaitu Sandiaga Uno, ustadz nasional yaitu Ustadz Abdul Somad, dan beberapa tokoh selebrita tanah air seperti Teuku Wisnu dan Raffi Ahmad yang menggunakan masker dan topi bermotifkan kupiah meukutop saat pandemi.
Tak bisa dipungkiri, saat dimana ekonomi lesu karena covid, kupiah meukutop hadir memberikan semangat dalam warnanya yang cerah sehingga sedikit banyaknya bentuk peci yg bulat ini mampu membuat perekonomian masyarakat tetap berputar, terutama penggiat UKM terutama yang berbasis rumahan karena semakin banyak peminat yang memesan peci tersebut.
Dunia bisnis yang sangat terdampak karena covid 19 terasa dimana banyak bisnis yang suram tetapi dengan hadirnya kupiah meukutop seakan memberikan cercahan warna-warni semangat. Bagaimana tidak, dengan banyaknya peminat serta orderan maka para produsen akan mampu menghidupkan keluarga, karyawan bahkan keluarga karyawan. Namun disisi lain meninggalkan dilema persaingan bisnis.
Harus kita akui, produsen kupiah meukutop dulu sangat terbatas dimana lebih banyak produsen secara manual dibanding prosusen mesin, tapi hal tersebut sesuai dengan permintaan pasar yang masih minim. Saat viral dan permintaan pasar membludak, maka produksinya haruslah mampu mengimbangi permintaan pasar sehingga hadirnya produksi menggunakan mesin mampu menjawab kebutuhan pasar dimana kita tahu bahwa memproduksi kupiah meukutop secara manual menggunakan waktu membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Sedangkan jika produksinya menggunakan mesin hanya membutukan waktu dalam hitungan jam, sehingga bisa memuaskan permintaan para pelanggan di pasar tanpa harus menunggu waktu yang relatif lama agar bisa mengikuti trend.
Namun tetap saja persaingan bisnis masih terasa. Karena itu kita bisa kembali berkaca pada sejarah batik, dimana sekarang terdapat jenis batik tulis, cap, dan printing. Apakah ada jenis batik yang tidak laku? Apakah karena batik tulis setalah produksinya lama dan dijual mahal kemudian dijual mahal sehingga konsumen semua beralih ke batik printing? Tidak, ketiga-tiga jenis batik sangat laku di pasaran. Bagaimana tidak, penulis bersama Umar Usman Business School Jakarta saat berkesempatan melakukan kunjungan bisnis ke salah satu produsen batik tulis ternama di Indonesia yang sudah mendunia yang berasal dari Cirebon, Batik Trusmi, dimana kita berpikir bahwa produsen batik tulis akan mati karena terus digempur produsen batik printing, ternyata malah semakin jaya karena semua ada segmentasi pasarnya.
Sedangkan segmentasi pasar bagi batik printing atau mesin adalah mereka yang lebih simpel, kebanyakan mereka adalah kelas menengah dan kelas menengah kebawah. Bagi segmen pasar ini, harga adalah segalanya, sehingga walaupun kita jual dengan harga murah sehingga nominal untung (profit) kita sedikit, tapi jangan lupa bahwa jumlah segmen pasar kelas menengah dan menengah kebawah sangat lebih banyak dibanding kelas menengah dan menengah keatas.
Segmentasi pasar bagi batik tulis adalah para pecinta seni yang menghargai keindahan yang tercipta dari seniman batik, orang-orang yang suka hal unik, orang suka sesuatu seni yang detail, komunitas-komunitas yang ingin menjaga warisan leluhur dan lain sebagainya. Sehingga walaupun harga prosuknya tinggi tapi bagi mereka nominal bukanlah masalah. Bisa dibilang mereka adalah pasar menengah dan menengah keatas. Sehingga walaupun jumlah pasarnya kecil, tapi nominal yang mereka keluarkan tinggi.
Kembali lagi ke kupiah meukutop, begitu juga dengan peci khas Aceh ini. Kupiah meukutop yang diproduksi dengan mesin yang cepat akan menjawab permintaan pasar kelas menengah dan menengah kebawah yang sangat banyak sehingga mampu menciptakan lapangan kerja dan ekonomi yang tetap berputar. Walaupun produsen hanya memiliki sedikit profit untung dari setiap produk, tapi jumlah pasarnya sangat besar. Segmentasi pasar inilah yang diterapkan oleh brand ternama seperti Samsung, Honda, Toyota dengan mobil Avanza sejuta ummat sehingga menjadi perusahaan besar.
Tidak kalah dengan kupiah meukutop yang diproduksi mesin, kupiah meukutop yang diproduksi manual oleh tangan pengrajin seni yang terampil disegmenkan bagi pasar kelas menengah dan menengah keatas serta pecinta seni, pelestari kebudayaan dan lain sebagainya. Memang tak banyak jumlah segmen pasar ini, namun mereka pasti akan membayar seni dengan harga mahal asal dibarengi oleh kreatifitas marketing dan campaignnya. Sehingga wajar bila brand Apple, Ferrari, Mercedes Benz dan lain sebagainya bisa menjadi perusahaan terbesar di dunia padahal jumlah pembelinya masih kalah dibanding merk lain, tapi karena harganya yang fantastis sehingga mereka bisa mencetak profit yang tinggi.
Segmentasi pasar ini membutuhkan kretatifitas marketing dan lain sebagainya, jangan seperti Nokia, Blackberry dan Dinosaurus yang mati kutu tak bisa beradaptasi dan berevolusi. Sehingga dalam hal ini membutuhkan kerjasama yang baik antara produsen dan tim marketing. Maka dari itu dengan ilmu kreator kita sebagai produsen handal saja tidak cukup, kita membutuhkan kerjasama dengan tim marketing yang cukup kreatif sebagai partner kita dalam berbisnis sehingga kita bisa fokus dengan tidak mengerjakan semua hal. Itu akan membuat kita lebih cepat berkembang karena sekarang bukan zamannya superman tapi sudah zamannya super-team, lihat saja superman sudah kurang laku dibanding marvel. Sudah saatnya sekarang, apalagi saat pandemi, kita saling membahu dan perintah ikut peduli nasib serta mebantu UKM yang selama ini menggerakkan 90% lebih perekonomian di negeri ini dimana saat pandemi, UKM lah yang pertama terdampak ekonomi dan UKM lah kunci salah satu kebangkitan negeri. Rezeki takkan tertukar. Mari saling peduli jangan saling iri, Sang Maha Pemberi telah mengatur rezeki.
Salam hangat dari penggiat UKM,
* Penulis merupakan founder oolens.id
Kabid Ekonomi FORUM MAHASISWA PIDIE
. Ia adalah putra Aceh kelahiran Bambi, 21 Juli 1995 merupakan lulusan Refraksi Optisi (Ahli mata/ optik) Medan dan berkarir di Jakarta di salah satu perusahaan optik terbesar di Indonesia kemudian menamatkan pendidikan di salah satu Business School ternama di Jakarta