Dok.Foto, Ketua Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Sada Kata (AMM-SaKa), Muzir Maha [Gemarnews.com]
GEMARNEWS.COM - SUBULUSSALAM, Sudah hampir berjalan 7 bulan, perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Laot Bangko yang terletak di Kota Subulussalam belum juga menerima izin perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) dari Kementerian ATR/BPN Repubik Indonesia.
Kepastian masalah yang menghambat izin perpanjangan perusahaan itu hingga kini belum diketahui. Namun, rentetan masalah mewarnai perusahaan itu sejak dua tahun terakhir.
Beberapa LSM, OKP, Dewan Legislatif, Tokoh Masyarakat dan Mahasiswa selama ini begitu getol menyuarakan tentang penolakan izin perpanjangan HGU PT. Laot Bangko yang dinilai tidak memberikan dampak lebih terhadap ekonomi masyarakat Kota Subulussalam.
Ketua Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Sada Kata (AMM-SaKa), Muzir Maha, kembali berencana melaporkan perusahaan tersebut. Kali ini mereka berencana melaporkan ke Polda Aceh terkait adanya dugaan kriminal yang dilakukan perusahaan, yaitu penggarapan lahan diluar HGU perusahaan PT. Laot Bangko.
"Meskipun katanya perusahaan itu telah habis masa izinnya pada 31 Desember 2019 lalu, namun tetap harus kita laporkan demi menegakkan hukum yang ada di negeri kita," ungkap Muzir dalam siaran pers dihadapan awak media, Sabtu, (8/8/2020).
Muzir menilai jika kecerobohan itu juga disebabkan oleh ketidak seriusan Pemerintah Kota Subulussalam, dalam hal ini Tim Kelompok Kerja (Pokja) penyelesaian sengketa HGU PT. Laot Bangko.
"Dimana tim pokja terkesan asal-asalan tanpa melihat fakta dilapangan, maka tim Pokja juga akan turut dilaporkan," tegasnya.
Muzir yang juga ketua SPMA Subulussalam itu mengungkapkan, semestinya Tim Pokja melakukan andventarisir secara faktual terlebih dahulu sebelum rekomendasi dari pemerintah dikeluarkan, agar seimbang tanpa syarat akan berat sebelah, bukan sekedar berpatok pada opini yang berkembang di masyarkat ataupun bisikan oknum tertentu.
"Karena katanya banyak kejanggalan yang mereka rasa khususnya di devisi 5, Muzir menyebutkan bahwa patok HGU lama sudah tidak ada lagi, sudah diganti dengan patok baru, oleh sebab itu sangat sulit melihat apakah lahan tersebut masih dalam HGU lama atau HGU baru yang direncanakan 4300 hektar, namun mereka menemukan satu patok lama dengan kode BPN LB 38 dimana disekelilingnya telah di garap dan ditanami sawit, kami perkirakan mencapai ratusan hektar," imbuhnya.
Menurut Muzir, luas HGU yang awalnya 6.818 hektar itu perlu dilakukan pengukuran ulang, agar persoalan tersebut terungkap ke permukaan. Bahkan kata Muzir, beberapa Daerah Aliran Sungai (Das) juga digarap oleh perusahaan tanpa melihat estetika yang ada di kawasan itu.
"Apapun argumenya, daerah aliran sungai itu tak boleh di rambah karena itu berbenturan dengan hukum, salah satu faktor banjir adalah akibat tergerusnya hutan di hulu sungai," ujar Muzir.
Dok.Foto, Lahan sengketa Hak Guna Usaha (HGU) yang digarap oleh PT. Laot Bangko [Gemarnews.com]
Muzir mengaku, ia sudah melakukan peninjauan pada tanggal 21 Mei 2020 di lokasi devisi 5 yang diduga penggarapan itu adalah ilegal, dokumentasi dan titik koordinat sudah dikantonginya.
"Fakta ini akan kita sampaikan pada pihak berwajib, juga akan kita tembuskan ke Kompolnas di Jakarta untuk di tindak lanjuti," imbuh Muzir
Dengan masuknya laporan AMM SaKa ke Polda Aceh nantinya, Muzir berharap Tim Polda Aceh turun langsung ke lokasi perkebunan agar persoalan PT. Laot Bangko segera tuntas tanpa ada satu pihakpun yang dirugikan.
"Begitu pula dengan masalah lain, seperti tanggung jawab sosial perusahan dan lain sebagainya, agar masyarakat juga mendapakan kemerdekaan di negerinya sendiri," sampainya.
Muzir juga menambahkan bila perusahaan perkebunan itu terkesan tidak serius dalam mengusahai perusahaannya itu, iya mencontohkan hingga saat ini kebun plasma yang di rencanakan juga belum terealisasikan, begitu pula dengan penggunaan pekerja lokal, ia berharap agar perusahaan tidak asal asalan dalam memberhentikan pekerja yang notabenenya merupakan penduduk sekitar perusahaan.
"Jika tidak bisa diharapkan, buat apa perusahaan itu ada di desa kami, sebaiknya di stop saja," tutup Muzir. (MN)