Notification

×

Iklan ok

Andai BUMN Itu Dipegang MUHAMMADIYAH: APA YANG TERJADI?

Kamis, 10 September 2020 | 14.58 WIB Last Updated 2020-09-10T07:58:56Z

Andai BUMN Itu Dipegang MUHAMMADIYAH: APA YANG TERJADI?
OPINI 

Dok.Foto Lokakarya Penggeloaan Tanah dan Wakaf di Lingkungan Perserikatan Muhammadiyah 



Miris. Itulah yang terlintas di pikiranku saat membaca berita yang tengah hits belakangan ini. Hampir semua BUMN merugi. Setidaknya ada 23 BUMN yang kerugiannya cukup ngeri. Bahkan ada BUMN yang terlibat membuat pelaporan keuangan fiktif demi gaya ABS (Asal Bapak Senang), yang beruntungnya kemudian terbongkar. Cerita-cerita korupsi di BUMN juga tidak sedikit sampai ke telinga kita.

Sebagai warga negara dan orang awam tentu kita boleh bertanya-tanya: mengapa BUMN yang dimodali atau disuntik dengan uang negara itu kok bisa merugi? Padahal, yang berada di dalamnya katanya orang-orang pinter dan expert di bidangnya sehingga layak mendapatkan gaji puluhan ratusan juta bahkan miliaran per bulan. Support system yang diberikan pemerintah juga bukan soal suntikan modal saja, tapi banyak fasilitas yang lainnya. Orang kemudian secara bodoh bisa bertanya: kenapa bisa?

Di sisi yang lain, sebagai warga Muhammadyah, kadang saya membandingkan antara apa yang dialami oleh BUMN itu dengan yang terjadi di Badan Usaha Milik Muhammadiyah (BUMM). Yang satu dilaporkan selalu merugi, sedangkan satunya tidak pernah ada laporan kerugian. Bahkan kalau dihitung secara aset, Muhammadyah kini punya aset lebih dari 350 TRILIUN atau setara dua kali lipatnya sebuah bank terbesar di negeri ini.

Yang unik lagi malah ada semacam BUMN milik pemerintah yang punya hutang pada Muhammadiyah. Angkanya nggak main-main. Satu triliun lebih. Ya, BPJS konon masih punya utang ke rumah sakit Muhammadiyah sekitar 1,2 T. Informasi terakhir katanya tinggal 860 milyar. Tapi angka yang masih besar juga.

Muhammadiyah memang organisasi tua, sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Didirikan oleh KH Ahmad Dahkan alias Mohamad Darwis di kampung Kauman, Yogyakarta, 18 November 1912. Jadi, sudah berapa puluh tahun ya? Hemmm, seabad lebih ya! Hampir sama dengan usia Unilever yang sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda. Dan sama-sama masih eksis sampai sekarang.

Tapi, kalau dilihat dari anggotanya, sebetulnya tidak terlalu besar juga. Warga Muhammadiyah jika berdasarkan data yang tercatat dan memiliki NIBM, jamaahnya paling hanya sekitar 30 jutaan saja. Kalau dibandingkan dengan NU misalnya, ya belum ada seperempatnya. Tapi, meskipun begitu, perjuangan dan dakwah warganya untuk membesarkan organisasi sangatlah kuat dan solid. Itulah sebabnya menjadi tidak mengherankan jika amal usaha Muhammadiyah ada di mana-mana. Bahkan ada di daerah yang warga Muhammadiyahnya sangat sedikit, seperti Universitas Muhammadiyah di Kupang atau Universitas Muhammadiyah di Papua yang masyarakatnya mayoritas justru nonmuslim.

Meski jamaahnya tidak terlalu banyak, tapi amal usaha Muhammadiyah boleh dibilang sangat banyak. Setidaknya mempunyai 7.600 sekolah dan 175 kampus yang eksis, bahkan meskipun statusnya swasta seringkali menjadi pilihan favorit orang tua siswa. Punya hampir 500 rumah sakit PKU Muhammadiyah di berbagai kota yang sehat baik secara manajemen maupun finansialnya.

Bukan itu saja, Muhammadiyah juga punya banyak lembaga sosial untuk mengayomi kaum dhuafa. Setidaknya tercatat hampir 500 panti asuhan, rumah jompo, dan pusat rehabilitasi anak cacat. Yang semuanya juga eksis dengan membiayai dirinya sendiri tanpa berharap bantuan dari pihak mana pun. Juga tidak berharap pada bantuan dari pemerintah.

Karena prinsip organisasi amal sosial Muhammadiyah ini sejak awalnya justru ingin menjadi tangan di atas yang bisa mengayomi kaum marginal. Kalau toh ada sumbangan dari pihak lain, itu pun inisiatifnya datang dari mereka sendiri. Bukan karena  mengedarkan proposal kesana kemari, tapi memang pilihan orang yang bersangkutan untuk mengirimkan bantuannya ke amal sosial Muhammadiyah.

Saya membayangkan, andai BUMN di Indonesia yang setiap tahunnya merugi itu, padahal pengelolanya digaji puluhan hingga ratusan juta dan miliaran, seperti Ahok sebagai Komisaris Pertamina yang konon gajinya bisa tembus Rp 3,2 Miliar, mungkin kejadiannya akan berbeda.

Artinya, tidak rugi terus, tidak minta suntikan modal terus, bahkan bisa jadi dana CSR yang dikembalikan ke masyarakat akan makin membesar terus. Makin banyak kegiatan yang bisa dibuat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia lewat dana CSR, bukan sekedar kegiatan seremonial belaka.

Jumat, 29 Mei 2020

Penulis: Among Kurnia Ebo
Mantan aktivis IMM Komisariat Gadjah Mada
×
Berita Terbaru Update