Notification

×

Iklan ok

Kinerja Pemerintah Aceh, Bisakah Menjamin Kemaslahatan?

Rabu, 09 September 2020 | 17.02 WIB Last Updated 2021-05-19T09:17:38Z


Oleh : Risky Almustana Imanullah

Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh sepertinya kesepian semenjak Operasi Tangkap Tangan (OTT) Gubernur Non-aktif Irwandi Yusuf yang sebelumnya sama-sama berjuang menuju Aceh 1 (satu) di pilkada 2017. Penulis tidak ingin membahas apa penyebab terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Irwandi Yusuf Gubernur Aceh pada saat itu. Tetapi lebih mengarah kepada Kinerja PLT Gubernur Aceh.

Semenjak Dunia dilanda wabah Corona Virus Disease 19 (Covid-19), tidak ada pilihan lain untuk terus berkarya dan menjalin komunikasi dengan kerabat dan sanak saudara melalui media sosial. Miris, saat berita yang disajikan di media sosial dengan sajian yang heterogen, asumsi-asumsi liar dari oknum-oknum tertentu dalam mengkritisi kinerja pemerintah.

Penulis mencoba lebih fokus kepada pemerintah Aceh. Selasa tanggal 1 September 2020 terjadi demonstrasi yang berlangsung di Depan Kantor Gubernur Aceh oleh Aliansi Mahasiswa Aceh dengan hastag #DewanTeungeutPltSeumeunget menuntut beberapa poin yang salah satu diantaranya yaitu transparansi Anggaran Covid-19. 

Pemerintahan Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah di anggap blunder oleh sebagian masyarakat dalam membuat kebijakan, khususnya dimasa pandemi covid-19. Persoalan sapi yang kurus kering, Tour Moge yang dianggap melukai hati korban konflik Aceh, penempelan stiker Bahan Bakar Minyak bersubsidi, gebrakan masker yang dianggap pemborosan dan lainnya. Sepertinya Plt Gubernur Aceh mulai kelelahan dan merindukan sosok Bang Agam (Irwandi Yusuf) dalam mengelola pemerintahan Aceh.

UUPA seperti kanon dalam cerita fiktif yang tidak bisa di fungsikan dimasa pandemi ini. Seharusnya, dengan kekuatan UUPA sebagai sebuah kekhususan yang diperoleh dari buah hasil perjuangan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) kita lebih unggul dalam pencegahan penyebaran covid-19 dibandingan dengan daerah lain yang harus menunggu intruksi dari pusat. 

Perdebatan di sosial media terus bergelegak terhadap kebijakan yang banyak menuai kritikan, sehingga melahirkan kontradiksi antara masyarakat dengan pemerintah, bahkan pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Sehingga, timbul narasi terkait pemakzulan Plt Gubernur Aceh.

Penulis sering mendengar akhir-akhir ini dari buah bibir sebagian masyarakat Aceh yang tinggal di perkampungan yang jauh dari pendidikan "kadang corona (covid-19)  nyoe cit proyek pemerintah, proyek awak rumoh saket, saket bacut dipeugah le corona, padahai ureung saket nyan dirumoh keudroe hana geujak sahoe (kadang kasus penetapan covid tersebut adalah proyek pemerintah, proyek pihak rumah sakit, sedikit gejala langsung di vonis positif corona, padahal yang sakit tersebut hanya berdiam dirumah alias tidak kemana-mana)". 

Bahkan, ada masyarakat yang mempertanyakan “tanyoe nanggroe syariat islam pakoen han di peusumpah awak satgas korona nyan? jeut bek asai dipegah korona, yang na cit meu susah masyarakat (kita daerah syariat islam kenapa tidak disumpahkan satgas corona tersebut? agar tidak terlalu mudah dalam menetapkan status corona yang membuat resah masyarakat)’’.

Seharusnya disaat seperti ini, Pemerintah Aceh harus lebih fokus ke hal utama yaitu bagaimana caranya agar masyarakat dan pemerintah bersinergi dalam memutuskan mata rantai penyebaran virus covid-19, bagaimana pendidikan tetap bisa berjalan ditengah pandemi seperti ini? Bukan menghabiskan anggaran milyaran hanya untuk melaksanakan Gerakan Masker. ‘’Bukan itu yang masyarakat harapkan pak’’.

Seberapa besar manfaat Gerakan Masker di kondisi saat ini? Masker Jenis apa yang di bagikan? Kenapa tidak di bagikan masker seperti yang dipakai kebanyakan dokter? Seberapa besar peran masker tersebut dalam mencegah penyebaran virus? Kalau masker kain yang diberikan seperti itu, rasanya masyarakat juga mampu menjahitnya sendiri atau patungan uang untuk membeli atau dengan memanfaatkan tailor di perdesaan masing-masing.

Masyarakat hari ini mengharapkan jaminan pendidikan, kesehatan, ekonomi dan lapangan kerja bagi mereka yang di PHK dan pengangguran. Terlebih lagi transparansi dana covid-19 yang sampai saat ini belum ada titik terang terkait rincian penggunaan anggaran.

Seharusnya PLT Gubernur harus lebih fokus kepada hal-hal yang lebih urgent, PLT harus lebih dekat dengan masyarakat dalam hal mendengar dan memfasilitasi kebutuhan masyarakat di masa pandemi. Bukan malah mengeluarkan kebijakan yang menyusahkan masyarakat.

*Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
×
Berita Terbaru Update