RIBA, JUAL BELI DAN ALTERNATIF SOLUSI PEMECAHAN PRAKTEK RENTENIR
Oleh : Junaidi Surya, SE
Mahasiswa Prodi Ekonomi Syariah Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry, B. Aceh
Dewan Penasehat Redaksi Gemarnews.com
OPINI
Pada awal tahun 2020 ini, gencar pemberitaan media massa tentang respon pejabat publik terhadap makin massif dan maraknya praktik rentenir berkedok koperasi yang beroperasi di sebagian kabupaten/kota dalam wilayah Provinsi Aceh. Tercatat Wabup Pidie, Fadhlullah TM. Daud dan Fadhli A. Hamid, SE dari unsur DPRK Pidie dalam waktu bersamaan menyerukan larangan praktik dimaksud yang berjalan selama ini di Kabupaten Pidie.
Dengan tegas, Wakil Ketua DPRK Pidie, Fadhli A. Hamid secara khusus mengkritisi fenomena ini dan berharap aktivitas peminjaman uang bermuatan riba ini untuk segera meninggalkan Aceh yang secara resmi telah memberlakukan Syariat Islam (Harian Serambi Indonesia, 03/02/2020). Perlawanan dan pelarangan oleh masyarakat di beberapa gampong juga terjadi, dapat dilihat dari pemasangan spanduk, selebaran dan baliho yang mengancam kehadiran aktivitas rentenir di wilayah mereka.
Riba dan Jual Beli : Seolah Hampir Sama Tapi Statusnya Beda.
Kenapa demikian? Karena baik riba maupun jual beli motifnya sama, yaitu mengambil untung atas transaksi yang terjadi. Tetapi Islam membedakannya secara mutlak. Riba melanggar syariat dan mengundang murka. Sementara jual beli diperbolehkan syariat dan menghadirkan keberkahan selama terpenuhinya rukun, syarat, kehalalan zat/barang/jasa dan kaidah transaksinya. Analoginya hampir bisa dipersamakan antara zina dengan nikah. Sama-sama merupakan aktivitas seksual jasmani, tapi zina haram, sementara nikah halal. Perbedaannya akan kita kupas secara singkat.
Allah berfiman “Dan telah menghalalkan oleh Allah akan jual beli dan telah mengharamkan akan Riba” (QS. Al-Baqarah : 275). Imam At-Thabari dalam Kitabnya Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili al-Quran, Kairo : Darul Hijr, 2001, Juz 5, hal 38 menafsirkan ayat ini “Allah menghalalkan keuntungan dalam niaga/jual beli, dan mengharamkan riba, yakni tambahan yang ditambahkan ke pemilik asal harta/uang disebabkan adanya tambahan waktu penundaan tempo pembayaran orang yang berhutang padanya, atau penundaan pelunasan utangnya”.
Pertambahan berdasarkan pinjaman inilah yang umumnya dipraktekkan rentenir selama ini dan bisa digolongkan riba, karena memberikan pinjaman uang dengan mensyaratkan di awal adanya tambahan/keuntungan atas pokok uang yang dipinjamkan. Misalkan Helmi meminjamkan Rp 1 juta kepada Deni dengan syarat dikembalikan sebulan kemudian sebanyak Rp 1,2 juta. Kelebihan sebanyak Rp 200 ribu itu hukumnya riba dan jelas haram.
Status riba atas bentuk pinjaman seperti ini berdasarkan kaidah fiqih yang masyhur di kalangan para ulama yaitu “Kullu qardhin jarran naf’an fahuwa riba idza kaana masyruthaan fiehi lilmuqhridh (Tiap pinjaman yang mengambil mamfaat itu riba jika dipersyaratkan di awal oleh peminjam)”, Kitab Al-Muhadzdzab karya Imam Syairazi 1/304 dan Kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah 4/211 & 213.
Dalam hukum fiqih mu’amalah, meminjamkan uang itu masuk dalam jenis akad tabarru’ (kebaikan/sosial), karena sifatnya membantu kebutuhan orang lain, maka hanya diperkenankan meminta kembali pokok pinjaman saja. Beda dengan jual beli (al-bay’u), boleh mengambil keuntungan dari barang yang dijual, karena jual beli masuk ke jenis akad tijari (bisnis/dagang).
Terkecuali bila si peminjam dengan kesadaran sendiri melebihkan pengembalian pinjamannya sebagai wujud terima kasih atas bantuan pinjaman tersebut, hal ini diperbolehkan selama tidak dipersyaratkan di awal.
Landasannya karena Nabi Muhammad SAW sendiri pernah meminjam unta muda dari sahabatnya, lalu mengembalikannya dengan unta tua yang lebih baik kondisinya, namun tidak dipersyaratkan di awal. Nabi berucap pada Abu Raafi’ “Berikan unta terbaik tersebut padanya. Ingatlah sebaik-baik orang adalah yang baik dalam melunasi utangnya”. (HR. Bukhari no. 2392 dan Muslim no. 1600)
Jual Beli : Untungnya Halal Jual beli (albay’u : bahasa Arab) adalah pertukaran antara uang dengan barang. Hilangnya uang berganti dengan barang, begitu juga sebaliknya. Kaidah mu’amalah memasukkannya sebagai akad tijari (baca : bisnis). Namanya bisnis, boleh mengambil untung dari transaksinya.
Contoh transaksi jual beli sederhana ; Deni ingin meminjam uang Rp 1 juta dari Helmi. Helmi bertanya untuk apa uang pinjamannya? Untuk beli Handphone buat anak tapi saya baru ada uang bulan depan, kata Deni. Helmi lantas menawarkan transaksi jual beli, yaitu Helmi membeli Handphone seharga Rp 1 juta di toko lalu menjual kepada Deni seharga Rp 1,2 juta yang akan dibayarkan pada bulan depan.
Kedua transaksi diatas sama-sama mengambil keuntungan Rp 200 ribu. Tapi status hukumnya berbeda. Pada kasus pertama, motifnya Helmi semata meminjamkan uang tanpa ada pertukaran dengan barang tetapi mensyaratkan bunga (tambahan) atas pokok pinjaman, transaksi ini dinamakan Riba Qardh dan haram. Di kasus kedua, untung yang didapatkan Helmi atas transaksi jual beli barang (Handpone), statusnya halal.
Dari perbandingan diatas menjadi cukup jelas, bahwa transaksi meminjamkan uang dengan jual beli barang/jasa berbeda secara fundamental dalam konten dan tujuan transaksinya.
Praktek rentenir, tampak seolah membantu dengan memberikan/meminjamkan uang tunai kepada mereka yang terdesak secara ekonomi, hakikatnya justru menjerat karena beban bunga yang mesti dikembalikan kemudian.
Belum lagi bila saat jatuh tempo tidak sanggup membayar, maka bunga dibebankan ke pokok pinjaman awal untuk kemudian dibungakan kembali (compound interest/bunga berbunga), sungguh praktik dzalim yang dilarang keras dalam hampir semua agama. Islam sendiri memasukkan praktik riba sebagai salah satu dosa besar dari tujuh dosa besar yang membinasakan (baca : HR. Bukhari Muslim)
Tidak Sekedar Melarang, Namun Berikan Juga Solusi Lebih jauh, dalam melihat persoalan praktek rentenir, saya mencoba memberikan padangan dan solusi dalam menyelesaikan problematika sosial ini secara komprehesif dengan pendekatan sebab-akibat (kausalitas). Persoalan ini tidak tunggal tapi kompleks, ada banyak faktor penyebab tentunya. Supply (penawaran) ada tentu karena ada demand (permintaan), begitu siklusnya.
Pertama, mudahnya proses mendapatkan pinjaman uang tunai dari rentenir dengan hanya bermodalkan kartu identitas ; KTP/SIM/Kartu Keluarga untuk berbagai keperluan mendesak seperti ; biaya pendidikan anak, modal usaha, biaya kebutuhan rumah tangga dsb, disinyalir menjadi faktor awal menjamurnya praktek rentenir, mereka jeli melihat peluang ini.
Dalam keadaan mendesak, tawaran pinjaman tunai sekalipun berbunga tinggi tentu menjadi solusi jangka pendek, bukannya warga tidak sadar tentang resiko dari bunga tinggi ini, tapi apa daya, tidak ada pilihan lain. Persoalan mampu bayar hutang itu belakangan dipikirkan, yang penting kebutuhan terpenuhi dulu.
Faktor kedua, sulitnya akses dana tunai untuk kebutuhan mendesak bagi warga, terlebih bagi warga miskin/kurang mampu. Mencoba mendapatkan pinjaman/modal usaha ke lembaga keuangan resmi ; Bank, BPR, Koperasi memakan waktu karena adanya proses yang berjenjang serta beberapa persyaratan yang harus dipenuhi seperti legalitas dan agunan, apalagi bagi warga kurang mampu/miskin tentu sulit memenuhi semua itu. Meminjam sama saudara atau tetangga pun belum tentu diberikan, bisa juga karena malu. Beda dengan warga yang mampu, solusi dana mendesak bisa dengan menggadaikan emas atau kendaraan.
Faktor lainnya adalah lemahnya kepekaan kita akan efek yang sangat merusak dari praktek rentenir selama ini. Semua kita tahu haramnya praktek riba, hanya saja selama ini kita terkesan mendiamkan persoalan ini karena menganggap itu sebagai problem pribadi masing-masing orang, bukan persoalan bersama.
Untuk itu perlu dipikirkan solusi mengatasi kebutuhan dana mendesak bagi warga, supaya tidak kembali terjerat pada rentenir yang teroganisir maupun rentenir terselubung (freelance). Misalkan dibuat suatu sistem legal dan formal ; mengalokasikan dana gampong sekian persen selama satu tahun anggaran untuk pos bantuan dana tunai mendesak bagi warganya dengan besaran pinjaman/talangan antara Rp 500 ribu s/d Rp 1 juta per orang/keluarga.
Supaya tidak menjadi riba, pinjaman tadi bisa pakai akad Qardhul Hasan (pinjaman kebaikan), dimana hanya pokoknya saja yang diminta kembali pada saat jatuh tempo. Transaksi pinjaman ini mesti dicatat dan didokumentasikan oleh aparat gampong.
Jatuh tempo pengembalian pokok pinjaman bisa disesuaikan dengan keadaan dan profesi warga. Warga miskin bisa mengembalikan pinjaman saat menerima dana BLT, untuk petani bisa saat musim panen tiba, kalau pedagang kecil/mikro bisa dicicil bulanan, malahan bisa diambil keuntungan asalkan yang dijual kepada pedagang adalah barang oleh pihak gampong dengan memakai akad Murabahah (jual beli untung).
Misalkan, aparat gampong membeli barang senilai Rp 1 juta, lalu menjual ke pedagang/warga seharga Rp1,2 juta dan dicicil selama 6 bulan dengan besaran angsuran Rp 200 ribu/bulan.
Bila belum mampu dilunasi saat jatuh tempo, bisa diperpanjang misalkan maksimal 3 bulan ke depan, bilapun sengaja tidak mengembalikan bisa dibuat semacam hukuman sosial, seperti tidak diusulkan sebagai penerima mamfaat program pemerintah, tidak dilibatkan dalam kerja-kerja dan proyek gampong sampai si warga peminjam melunasi hutangnya ke kas gampong.
Solusi seperti ini tentu bisa didiskusikan lebih lanjut di ruang publik, setidaknya bisa menjadi alternatif dengan mempertimbangkan beberapa pilihan lainnya seperti memaksimalkan penyaluran dana zakat yang dihimpun oleh Baitul Mal, mengaktifkan koperasi syariah di tingkat gampong /kecamatan /kabupaten dan menggalakkan kegiatan donasi (filantropi).
Terpenting penyaluran pinjamannya tidak melanggar prinsip kaidah muamalah syariah. Kriteria dan batasan penerima pinjaman, serta pola dan waktu pengembalian pinjaman pokok tanpa bunga tinggal disepakati bersama di tingkat gampong. Skill pengelola dana talangan/pinjaman juga mesti dilatih, baik sisi teknis juga pengetahuan tentang prinsip muamalah syariah.
Pemerintah kita harapkan bisa membuat program-program terobosan sesuai regulasi dengan melibatkan berbagai pihak terkait : ulama, legislatif, aparat keamanan, cendikiawan, tokoh warga, unsur gampong dan lembaga/perkumpulan ekonomi syariah dalam menyelesaikan persolaan ini secara komprehensif, kolaboratif, partisipatif dan solutif.
Sehingga aktivitas praktik riba/rentenir dapat dihentikan secara bertahap sampai hilang, namun di satu sisi kebutuhan warga atas dana/uang tunai dalam keadaan mendesak juga terpenuhi. Riba hilang, berkahpun datang.