Gemarnews.com, Banda Aceh - Flower Aceh mengecam tindak kejahatan yang dilakukan oleh
pelaku pembunuhan anak usia 9 tahun dan pemerkosaan terhadap ibunya yang
terjadi di rumah korban di Aceh Timur dan menuntut pelaku dihukum
seberat-beratnya.
“Kami menuntut pelaku mendapatkan hukuman seumur hidup atas perbuatannnya agar menjerakan, apalagi ini tindakan berulang yang dilakukannya. Selain itu, yang terpenting korban harus dipastikan mendapatkan penanganan yang optimal, termasuk pemulihan fisik, psikologis dan psikososial. Kehadiran Negara sangat dibutuhkan untuk memastikan pemenuhan hak-hak korban tersebut," tegas Riswati,
Direktur Eksekutif Flower Aceh dalam siaran pers nya yang
diterima redaksi, Rabu, 14 Oktober 2020. “Kasus ini menjadi warning bagi kita
untuk lebih waspada, mengingat ancaman kejahatan bisa terjadi di dalam rumah
sendiri. Peran aktif semua pihak untuk melakukan upaya nyata memutus mata
rantai kejahatan seksual yang sampai hari terus terjadi di Aceh menjadi sebuah
keharusan yang harus dilakukan," sambung Riswati.
Dia menyampaikan, merujuk data kasus yang dirilis oleh
P2TP2A Aceh, tercatat sepanjang tahun 2017 s.d 30 Juni 2019, angka kekerasan di
Aceh mencapai 3.695 kasus. Selama tahun 2020 sd Juli, tercatat 379 kasus
kekerasan terhadap perempuan dan anak. Terkait pemulihan psikologis korban,
Psikolog UPTD PPA yang berada di bawah Dinas Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh, Dra Endang Setianingsih, M.Pd, Psikolog
menegaskan pentingnya penanganan pemulihan pada korban.
“Mengingat korban mengalami traumatik yang berkepanjangan
atas peristiwa yang dialami berupa kekerasan seksual dan kehilangan putranya.
Hal ini perlu adanya pendampingan pemulihan psikologi terhadap korban, dan
kepentingan utama korban harus diutamakan, seperti korban tidak dipulangkan
dulu ke rumahnya mengingat ketidaksiapan korban terhadap peristiwa yang menimpanya.
Dukungan keluarga inti sangat dibutuhkan dalam pemulihan korban," terang
Dra.
Endang. Sementara itu, Presidium Balai Syura Ureung Inong
Aceh (BSUIA), Suraiya Kamaruzzaman menilai Pemerintah gagal menjamin
perlindungan perempuan dan anak dari ancaman kekerasan seksual.
“Kalau mengacu pada beragam kasus yang terjadi, salah satu
faktor penyebab kasus perkosaan dan kekerasan seksual terus terjadi adalah
karena negara gagal memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak dari
predator kekerasan seksual. Penegakan hukum yang sama sekali tidak memberikan
efek jera kepada pelaku atau calon pelaku. Penerapan Qanun Jinayah masih
memiliki banyak kelemahan, terutama karena rendahnya hukuman bagi pelaku dan
sulit/rumitnya pembuktian serta tidak adanya keadilan bagi korban dimana hak
restitusi, kewajiban pemulihan korban, baik secara psikologis maupun secara
sosial sama sekali tidak diatur di dalamnya," jelas Suraiya.
Lebih lanjut, Suraiya menjelaskan bahwa untuk pelaku kasus
pemerkosaan dalam Qanun Jinayah dihukum cambuk paling sedikit 125 kali, paling
banyak 175 kali, atau denda paling sedikit 1.250 gram emas murni, paling banyak
1.750 gram emas murni atau penjara paling singkat 125 bulan, paling lama 175
bulan.
"Rata-rata kasus yang diputuskan adalah hukum cambuk,
dimana setelah proses cambuk berjalan, korban bisa kembali berkeliaran dan
berpotensi bertemu korban kembali yang masih menghadapi trauma atau proses
pemulihan," kata dia.
Suraiya menuturkan adanya kebutuhanpayung hukum untuk
perlindungan korban kekerasan seksual di Indonesia. “Keberadaan kebijakan yang
ada belum sepenuhnya mampu mengakomodir kebutuhan dan pemenuhan hak korban
kekerasan, maka kami mendesak dan mendukung sepenuhnya agar RUU Pencegahan
Kekerasan Seksual segera disahkan, hal ini mengingat situasi darurat,"
pungkasnya. []
Sumber: Acehnews.id