Notification

×

Iklan ok

Kasus Kekerasan Anak Dan Dualisme Aturan Serta Implementasi

Rabu, 21 Oktober 2020 | 14.48 WIB Last Updated 2020-10-21T07:48:40Z

Dok.foto Ketua LPAI Provinsi Aceh, Marzuki Ahmad, SHI, MH 



Gemarnews.com , Pidie - Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Provinsi Aceh, Marzuki Ahmad, SHI, MH mengatakan kepada media ini dukungan kepala daerah melalui kebijakan dan alokasi anggaran yang cukup sangat dibutuhkan. Selama ini instansi terkait di kabupaten/kota tidak memiliki anggaran yang cukup untuk melindungi dan mendampingi korban. Begitu juga Lembaga – Lembaga swadaya masyarakat yang fokus dan sevisi terhadap penanganan anak.

Kasus yang muncul dan diketahui oleh Publik hanya permukaan saja. Saya yakin masih banyak kasus yang tidak terungkap, dan ini tidak boleh di lakukan pembiaran, kondisi kita hari ini sudah masuk eskalasi bom waktu, sudah seharusnya di tingkat Gampong Juga di bentuk Perangkat Perlindungan anak, karena kita pahami Bersama masalah anak muncul akibat persoalan keluarga dan lingkungan yang tidak kondusif.  langkah ini bentuk dari pencegahan dalam pendampingan anak dan keluarga .

Revisi Qanun Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayah suatu keharusan
Kepala LPAI Aceh yang Juga Dosen Fakultas Hukum Unigha ini, menilai, hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak di Aceh belum sepenuhnya memberikan keadilan, kepantian dan kemanfaatan bagi korban.
Kalua kita merujuk ke beberapa kasus, pelaku dijerat menggunakan Qanun/Perda Jinayah dengan hukuman cambuk. Setelah dicambuk, kemudian pelaku dibebaskan. Sementara bagi korban, trauma membekas sepanjang waktu.

Khusus di Aceh, tidak semua kasus kekerasan seksual terhadap anak, penindakan hukumnya menggunakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang di sahkan pada tanggal 17 Oktober 2014 serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sebagian pelaku dijerat dengan Qanun Jinayah. Perbedaan hukumannya, Qanun Jinayah berupa hukuman cambuk/denda/kurungan, sementara dalam UU Perlindungan Anak dengan hukuman penjara, walau dalam tingkatan yang berbeda namun ini sama-sama mempunyai tujuan dan fungsi yang sama disinilah letak efektivitas harmonisasi dan sinkronisasi aturan. (21/10/20)

Contoh misalnya Pelaksanaan hukuman cambuk bagi pasangan homoseksual di Banda Aceh, Aceh, Selasa di muat di media (23/5) apakah sudah efektif.
Menurut Marzuki Ahmad, dualisme regulasi membuat sebagian pelaku hanya dihukum ringan, yakni cambuk. Marzuki Ahmad berharap qanun tersebut direvisi dan masuk dalam Raqan Banleg DPRA dengan penekanan pasal tentang sanksi kekerasan seksual pada anak.

Berdasarkan wawancara Marzuki Ahmad terhadap salah seorang terdakwa pelaku kejahatan seksual yang dihukum cambuk, pelaku justru bersyukur jika mendapat hukuman cambuk. ”Dia merasa tidak begitu tertekan karena hanya dicambuk sebab setelah dicambuk kembali bebas,” kata Marzuki Ahmad. Maka dari itu keluarga harus maksimal melindungi anak. Selain itu, aparatur Gampong sebagai pemerintahan terkecil seharusnya memiliki kebijakan dan mekanisme perlindungan terhadap anak dalam Pasal 24 terkait peradilan adatpun tidak dijabarkan secara terperinci ”Jangan tunggu anak Anda menjadi korban baru bergerak,” ujar Marzuki Ahmad. Ironis memang Justru korban terpaksa pindah dari kampung tersebut karena trauma setiap kali melihat pelaku. Inikan terbalik.
×
Berita Terbaru Update