Notification

×

Iklan ok

Membumikan Literasi Demi Bireuen Gemilang

Sabtu, 17 Oktober 2020 | 12.00 WIB Last Updated 2020-10-27T02:51:10Z
                Oleh: Dewi Sofiana, Sp
Gemarnews.com
Gemilang Datang Padamu Bila Tekad Kukuh Berpadu. Itulah untaian kalimat indah yang merupakan motto Kabupaten Bireuen tercinta. Sebagai masyarakat Bireuen tentunya kita mengetahui tentang motto ini.


Motto tersebut menyiratkan  bahwa gemilang akan tercapai jika adanya kesatuan tekad, kesepahaman, dan komitmen bersama yang saling berpadu, sehingga diharapkan akan mampu mewujudkan Kabupaten  Bireuen yang maju dan gemilang. 


Berkenaan dengan hal tersebut, pemerintah tentu telah melakukan pembangunan di segala sektor serta  pembenahan demi pembenahan yang pastinya bertujuan untuk kemajuan kabupaten yang lahir sejak 13 Oktober 1999 ini.


Sebagai kabupaten yang memiliki posisi strategis, terletak di daerah segitiga perlintasan Takengon, Banda Aceh dan Lhokseumawe,  adalah suatu prospek potensial yang membuat Bireuen relatif cepat maju dan berkembang.  Hingga kini di usianya yang hampir genap 21 tahun, Bireuen sudah cukup maju baik dari segi fisik maupun non fisik.


Jika dijabarkan lebih lanjut, kabupaten yang telah melalui lima periode kepemimpinan bupati ini, sudah cukup maju dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, pariwisata dan lain – lain. Namun ada satu bidang yang belum tersentuh dan  perlu dilirik lebih dalam, dicintai dengan hati, agar Bireuen Gemilang bukan hanya tertuang dalam motto tetapi gemilang dalam arti yang sesungguhnya. Bidang tersebut adalah literasi.


Mengapa literasi itu penting dan harus mendapat perlakuan yang sama dengan bidang penting lainnya?  Karena literasi merupakan cikal dari sebuah peradaban. Kita dapat mengambil pembelajaran dari sejarah terdahulu, bagaimana suatu bangsa dan negara menjadi masyur dan berjaya karena literasi telah menjadi budaya dalam kehidupan mereka.


Sebagai contoh, dalam sejarah peradaban Islam dapat dilihat bagaimana tradisi literasi Islam melahirkan tulisan –tulisan para pemikir dan ulama yang sudah berumur ratusan tahun sampai saat ini masih eksis dipelajari sebagai sumber ilmu pengrtahuan.


Dalam definisi yang sederhana,  literasi adalah kegiatan membaca dan  menulis. Sebagai ummat Islam membaca bukanlah hal yang baru bagi kita. Ayat pertama yang  diwahyukan kepada Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril adalah  Iqra, yang artinya bacalah. Sedemikian pentingnya membaca dalam Islam, sampai Islam sendiri menyebutkannya melalui kalam Illahi, jauh sebelum budaya literasi didengung – dengungkan.


Membaca adalah pembuka cakrawala berpikir. Membaca dapat memberi wawasan seluas dunia. Membaca dapat membentuk karakter bijak, menciptakan insan cerdas, dan berilmu.  Intinya dengan membaca kita bisa mengenal dunia sekaligus membentuk pola pikir kritis dan terarah.


Sedangkan menulis adalah suatu kegiatan  mentransformasikan pikiran melalui bahasa tertulis dengan menggunakan huruf sebagai pembentuk kata dan kalimat.  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disebutkan bahwa pengertian menulis adalah melahirkan pikiran atau gagasan dengan tulisan.


Menulis merupakan kegiatan yang bisa melahirkan kreativitas seseorang dan membuat pembacanya tercerahkan. Sehingga tidak berlebihan apabila dikatakan tulisan mempunyai kekuatan yang sangat besar dalam kehidupan peradaban manusia.


Membaca dan menulis ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi satu sama lain. Membaca dan menulis tidak bisa berdiri terpisah. Apabila tidak ada yang ditulis tentu tidak ada tulisan yang bisa dibaca. Demikian pula sebaliknya, apabila tidak ada yang dibaca tentu akan sulit untuk menulis karena kurang terbukanya wawasan yang melahirkan sikap kritis dan kreatifitas untuk melahirkhan sebuah gagasan lain.


Ada sebuah petuah bijak yang menyatakan bahwa, dengan membaca kita bisa mengenal dunia, dengan menulis kita bisa dikenal dunia. Jadi betapa pentingnya literasi baca tulis itu dalam kehidupan kita.
Namun sangat menyedihkan, sampai saat ini Indonesia masih tergolong negara dengan budaya literasi amat rendah dibandingkan dengan negara lainnya di dunia. Beberapa survei dari lembaga terpercaya dunia merilis hasil yang tidak menggembirakan dan menohok perasaan kita.


Data UNESCO  tahun 2016, menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia  sangat memprihatinkan, yaitu hanya 0,001%. Artinya dari 1000 orang Indonesia, hanya satu orang yang rajin membaca. UNESCO (United Nations of Educational, Scientific, and Cultural Orgazation) merupakan Badan PBB yang  bertugas mengurus bidang pendidikan, ilmu dan kebudayaan.


Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh PISA (Program for International Student Assesment)  menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda pula, dimana  tingkat literasi Indonesia masih rendah dibandingkan  dengan negara – negara di dunia.  Responden pada survey  ini  adalah anak sekolah usia 15 tahun ke atas (kelas menengah).


Survei PISA 2015 menyebutkan bahwa Indonesia berada pada peringkat 64 dari 70 negara, sedangkan hasil survei tahun 2018 menunjukkan posisi Indonesia berada pada peringkat 74 dari 79 negara.


Sebagai orang Indonesia, terlebih praktisi pendidikan  tentunya akan merasa sedih dengan fakta yang disuguhkan ini. Realita tersebut akankah  membuat kita merasa tersudutkan atau justru menjadi pelecut kesadaran kita agar sigap mengambil tindakan nyata untuk membuat perubahan.  Benar, perubahan dapat dilakukan.


Tidak mustahil justru dari Bireuen inilah dirintis terobosan dan pembenahan untuk kembali memfungsikan Iqra dalam berbagai esensi kehidupan. Bukankah kita ummat yang memegang teguh  kitab suci Alquran, dimana ayat  pertama diturunkan adalah Iqra,  yang artinya bacalah?
Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, umumnya karena masih kurangnya kesadaran orang tua, masyarakat, lembaga pendidikan dan pemerintah tentang pentingnya budaya membaca.


Oleh karena itu perlu diciptakan kondisi yang menyediakan prasarana, dan suasana yang mendukung untuk menumbuhkan minat baca dan budaya literasi. Disinilah peran yang dapat diambil oleh pemerintah Bireuen, yaitu dengan melahirkan kebijakan – kebijakan yang akan menumbuhkan atmosfir semangat literasi. Harapannya demi mewujudkan tatanan masyarakat maju dan berperadaban tinggi dan tercapainya demi  Bireuen Gemilang dalam arti yang sesunguhnya. 
Sebagai gambaran yang dapat dijadikan bukti terkait dengan rendahnya minat baca, adalah  perpustakaan kalah populer dengan tempat – tempat publik lainnya.


Buku adalah benda yang sepi peminat dan jarang disentuh. Masyarakat kita, anak – anak dan orang tua masih merasa asing dengan buku. Mereka cenderung hafal nama – nama artis sinetron dan penyanyi daripada penulis buku. 
Negara maju seperti Jepang misalnya, kegiatan membaca sudah menjadi budaya positif. Bagi masyarakat Jepang, membaca sudah menjadi kebutuhan, sehingga tak mengherankan mereka mampu menjadi negara maju dengan kualitas sumber daya manusia yang tak diragukan lagi. Sedangkan masyarakat Indonesia masih malas membaca, bahkan hanya untuk membaca dan meneliti tanggal  kadaluarsa pada sebuah kemasan makanan saja cenderung enggan dan tak dianggap penting.


Belum lagi membaca buku – buku atau bacaan lain seperti surat kabar, majalah dan sejenisnya. 
Membentuk masyarakat gemar membaca tidak mungkin tumbuh secara instan, melainkan butuh proses yang tidak bisa dibilang singkat. Budaya membaca tidak lahir dengan sendirinya, tetapi perlu sentuhan kebijakan untuk membidani lahirnya budaya tersebut.  Merujuk pada pernyataan ini, Pemerintah Bireuen  dirasa perlu melahirkan kebijakan yang dilaksanakan dengan sungguh – sungguh, guna menumbuh kembangkan dan memajukan budaya literasi demi tercapainya tatanan kehidupan masyarakat Bireuen yang maju dan berperadaban tinggi.


Pada hakikatnya penguasaan literasi dalam segala aspek kehidupan  menjadi tulang punggung kemajuan peradaban suatu bangsa. 
Nah, terkait hal ini, adalah suatu  langkah yang tepat dengan menjadikan HUT Bireuen yang ke 21 tahun pada 13 Oktober 2020 ini sebagai momentum untuk bertindak dan menggerakkan  literasi agar mengakar kuat  dalam kehidupan masyarakat. Untuk menumbuhkembangkan dan membumikan literasi sebagai jembatan mewujudkan pendidikan dan peradaban yang maju, Pemerintah Bireuen dapat melakukan dengan kebijakan – kebijakan yang mendukung.


Melalui tulisan ini ada  beberapa gagasan yang ingin penulis sampaikan. 
Untuk meningkatkan minat baca masyarakat Bireuen, pemerintah dapat mengupayakan dan memperbanyak  pengadaan ruang baca di area publik.


Menghidupkan atmosfir literasi melalui  pustaka keliling yang menyasar gampong – gampong adalah langkah yang patut diperhatikan.  Pustaka keliling dimaksud,   parkir di depan meunasah, komplek kantor keusyik atau lokasi strategis lainnya untuk melayani dan memberi ruang baca bagi anak dan masyarakat umum.


Pengadaan ruang baca ini harus diperbanyak dan dikelola secara serius. Perlahan dan pasti, langkah ini  dapat  memperbaiki tingkat literasi masyarakat ke arah yang lebih baik. 


Keberadaan pustaka keliling dengan beragam bacaan yang menarik dan edukatif diharapkan juga akan menggeser kecanduan anak terhadap game online dan bermain HP.  Menurut amatan penulis,  kecanduan anak terhadap HP atau gadget  saat ini  sudah memasuki taraf sangat mengkhawatirkan. Tempat bermain Play  Station   lebih digandrungi  anak – anak dan orang dewasa daripada tempat yang bernuansa edukatif. Jadi  dengan demikian  pengadaan ruang baca di area publik diharapkan dapat  mendongkrak minat baca masyarakat sekaligus  membuat anak – anak  menjadi lebih terkontrol dan terarah dalam melakukan kegiatan yang bermanfaat. 


Selain langkah sebagaimana uraian di atas, Pemerintah Bireuen kiranya dapat menyusun  suatu kebijakan atau  semacam Perbup   “wajib baca beberapa judul buku” minimal sejumlah yang ditentukan sebagai prasyarat untuk suatu keperluan. Misalnya prasyarat ini bisa ditujukan bagi pasangan yang hendak menikah, penerimaan pegawai di lingkungan pemerintah  Bireuen, pemilihan keusyik, pencalonan anggota legislatif   ataupun   keperluan lainnya sebagaimana yang diatur dalam kebijakan yang dimaksud tersebut. Aturan ini, jika dibuat dengan sungguh – sungguh dan bersifat mengikat pasti akan diikuti oleh masyarakat.  Sama halnya ketika pemerintah memberlakukan protokoler kesehatan, awalnya susah dikuti, akan tetapi karena pemerintah giat dan gencar dalam melakukan sosialisasi dan penerapan aturan, akhirnya hasil yang diperoleh menjadi menggembirakan. Cuci tangan, pakai masker dan jaga jarak sudah jadi budaya (baru) masyarakat. 


Kebijakan “wajib baca beberapa judul buku” ini mungkin   awalnya akan dipandang aneh, berlebihan atau menimbulkan kontroversi, tetapi harapannya kebijakan “ unik dan berbeda” ini akan membawa perubahan signifikan terhadap membuminya budaya literasi di daerah Bireuen tercintai. Apabila kebijakan tersebut dipandang berhasil,  tentu akan menjadi contoh bagi Aceh dan Indonesia untuk berbuat hal yang sama.


Ketika berbicara tentang pembangunan dan kemajuan masyarakat, seringkali yang terbersit dipikiran  hanyalah semata – mata  pembangunan fisik dan infra struktur saja. Padahal pembangunan manusia itu sendiri adalah sisi yang tak kalah penting dan hendaknya jangan  dinomorduakan. Artinya pembangunan fisik dan manusia haruslah selaras dan seimbang. Apabila sumber daya manusia sudah baik dan memiliki pola pikir yang maju maka peradaban manusia akan maju pula. Dari sinilah kemudian akan lahir  kehidupan sejahtera, berkarakter dan bermartabat.


Uraian di atas kembali mempertegas bahwa peran pemerintah sangatlah penting dalam hal membudayakan dan membumikan literasi, karena pemerintah memiliki wewenang untuk melahirkan dan menerapkan kebijakan. Pemerintah hendaknya dapat bersikap serius dan bersungguh – sungguh terkait  masalah literasi ini. Pemerintah diharapkan  lebih giat dan gencar dalam mengkampanyekan literasi seperti giatnya pemerintah dalam melahirkan serangkaian kebijakan dan kampanye kepada mayarakat tentang aturan protokoler kesehatan untuk menekan angka penyebaran dan pemutusan mata rantai covid 19 misalnya.


Artinya pemerintah diharapkan mampu bersungguh – sungguh untuk   menumbuhkan budaya literasi masyarakat,  dengan menempatkan  literasi pada posisi yang penting, sebagaimana  pemerintah memandang pentingnya upaya penanggulangan pandemi covid 19.  Terkait upaya penumbuhan budaya literasi ini,  pemerintah hendaknya bersedia  mencurahkan dana dengan besaran yang pantas  guna memenuhi  penyediaan  sarana, fasilitas dan kebutuhan pendukung  lainnya.


Upaya pemerintah dalam membumikan literasi dan dukungan  kerjasama yang baik dari masyarakat pasti akan menghasilkan  kekuatan dahsyat  yang siap membidani lahirnya kehidupan Bireuen gemilang. Gemilang  dalam arti yang sesungguhnya.  Bireuen berperadaban dengan keunggulan sumberdaya manuasia yang bermartabat dan berkarakter. Bireuen Gemilang bukan lagi sebatas slogan, tetapi sudah ada dalam genggaman. Tentunya inilah harapan kita bersama untuk Bireuen di masa yang akan datang. Insya Allah.
×
Berita Terbaru Update