DRAFT PERJANJIAN ANTARA KERAJAAN ACEH DARUSSALAM DENGAN NEGARA AMERIKA SERIKAT
( Bagian Terakhir dari Dua Tulisan)
Oleh: HM Nur El Ibrahimy
Pilihan sultan yang jatuh kepada Tuanku Ibrahim Raja Pakeh Ali Pidie. untuk membuat naskah perjanjian dengan Amerika Serikat tepat sekali. Sebab beliau adalah seorang tokoh muda Aceh yang mempunyai bakat sebagai diplomat.
Beliau mempunyai hubungan antarbangsa.
Berikut cuplikan beberapa gambaran tentang pribadi Tuanku Ibrahim yang dilukiskan oleh Studer, Konsul Amerika di Singapura dalam sebuah laporannya yang dikirim ke State Department di Washington DC “This officer, tuanku Ibrahim etc a young man about 25 years of agemwould make an excellent impression anywhere, his manners and bearing are polished and dignified, his man ner of speech cool, sagacious and well chosen, and all natural, and I candidly and truly say that he would grace the best of society anywhere, and when considering, that there are many more such man among his nation , it seems to be quite natural that they should feel perpectly able of taking care of themselves”
Secara bebas maksudnya kira-kira “pejabat ini, Tuanku Ibrahim dan seterusnya seorang muda yang berusia sekitar 25 tahun akan menimbulkan impresi yang terbaik dari masyarakat di mana saja dia berada. Gaya dan kelakuannya cemerlang (dengan kata lain dalam bahasa Inggris dapat disebut weel-eduvated), dan mendorong orang akan selalu hormat kepadanya.
Cara berbicaranya sejuk mengesankan bahwa ia mempunyai pertimbangan yang matang tutur katanya tersusun rapi dari kata-kata pilihan dan semua itu natural (tidak dibuat-buat),
dan saya secara terus terang dan secara benar mengatakan bahwa ia, karena konsennya dengan masyarakat, selalu tidak akan segan-segan menghormati atau menghargai mereka yang terbaik dari masyarakat di mana pun jua,
dan mengingat bahwa masih banyak orang seperti dia di antara bangsanya agaknya cukup wajar, bahwa seharusnya mereka merasa sepenuhnya mampu mengurus diri mereka sendiri.
Di Pulo Pinang( Negara Bagian Penang di Malaysia – TA), disebabkan oleh pengangkatan Tuanku Ibrahim Raja Fakih Ali Pidie sebagai wakil mutlak sultan untuk membuat naskah perjajian Aceh- Amerika, atas prakarsa tokoh-tokoh pejuang Aceh yang bermukim di sana, telah dibentuk suatu dewan yang terdiri atas 7 orang untuk mendampingi dan membantu Tuanku Ibrahim dalam melaksanakan tugas berat itu.
Dewan ini dalam sejarah terkenal dengan Dewan Tujuh (council of seven). Mereka adalah:
(1) Teuku Muhammad Hanifah Nyak Piah (kepala daerah Tanjong Seumantok)
(2) Raja Bendahara Syekh Ahmad bin Haji Kasim Annajjari (salah seorang menteri sultan)
(3) Syekh Ahmad bin Abdullah Basaud (pengusaha dan seorang kepercayaan sultan)
(4)Haji Yusuf (panglima tentera sultan untuk air labu)
(5) Teuku Nyak Abu Karruf (pengusaha)
(6) Syekh Kasim bin Said Amudi (pengusah)
(7) Gulamudin Sah Maricar (sekretaris pada kantor lorrain & hill)
Menyangkut naskah perjanjian Aceh-Amerika, Dewan Tujuh ini tiga kali mengadakan sidangnya untuk membahas naskah tersebut, keputusannya adalah menyetujui dengan suara bulat dan mendukung dengan sepenuh hati naskah itu.
Kemudian, pada surat yang dikirim oleh Tuanku Ibrahim kepada Jenderal Grant. Presiden Amerika Serikat, sebagai surat pengantar naskah tersebut, mereka membubuhi cap dan tandatangannya.
Penting diketahui bahwa dalam rangka menghadapi keadaan gawat yang ditimbulkan oleh Belanda, Sultan Alaiddin Mahmud Syah, di samping melakukan tindakan ke luar yaitu mengusahakan perjanjian persahabatan dengan Amerika Serikat, beliaupun mengadakan konsolidasi ke dalam, yaitu memperkuat posisi pemerintah.
Sebab, posisi pemerintah yang kuat mempunyai pengaruh besar, baik dalam usaha menghadapi musuh, yaitu Belanda maupun dalam usaha menarik Amerika untuk menjadi sahabat yang baik dan sekutu yang setia.
Beliau telah membentuk suatu dewan yang terdiri dari tiga orang, yaitu Teuku Muda Nyak Malim, Teuku Maharaja Mangkubumi dan Tuanku Ibrahim Raja Fakih Ali Pidie. yang menetap di Pulo Pinang.
Kepada ketiga tokoh Aceh ini Sultan Alaiddin Mahmud Syah memberi kuasa untuk beritndak, baik secara bersama-sama maupun secara maisng-masing, untuk sultan atau atas namanya, menyelenggarakan hal-hal yang dapat menjamin tetap terlaksananya Syariat Allah dan Rasulnya di seluruh wilayah kerajaan Aceh, menjalankan segala perintahnya sebagaimana yang diarahkannya dan melaksanakan segala sesuatu yang dipandang penting untuk keselamatan bangsa dan negara.
Segala hal yang termasuk dalam “Urusan luar negeri” dikelola oleh Tuanku Ibrahim Raja Fakih Ali Pidie yang menetap di Pulo Pinang.
Dewan ini sangat penting artinya bagi kelancaran pemerintahan, apalagi karena Mangkabumi (Perdana Menteri) Sayid Abdurrahman Azzahir tidak berada di tempat, beliau seperti diketahui sudah beberapa waktu lalu, berangkat ke Istambul, mencari bantuan kepada pemerintah Turki. Tidak berlebihan kalau dewan ini disebut sebagai “Kabinet perang”.
Kita kembali kepada naskah persetujuan Aceh-Amerika setelah selesai dibuat dan mendapat persetujuan dari Dewan Tujuh, diantar oleh Tuanku Ibrahim Raja Fakih Ali Pidie yang ditemani oleh seorang pejabat bawahannya kepada Studer, Konsul Amerika di Singapura.
Dalam suatu pertemuan di kediaman Konsul Amerika naskah tersebut diserahkan oleh Tuanku Ibrahim Raja Fakih Ali Pidie kepada Konsul Amerika, Studer yang ditemani oleh Cyrus Wakefirld.
Disamping naskah perjanjian. Tuanku Ibrahim juga menyerahkan sebuah surat kepada Jenderal Grant. Presiden Amerika Serikat dan beberapa buah surat kepercayaan. Tuanku Ibrahim dalam sambutannya meyampaikan harapan, mudah-mudahan pemerintah Amerika tidak meninggalkan rakyat Aceh sendirian dilanda perang yang tidak adil.
Pemerintah Amerika diharapkan mempergunakan pengaruh dan kekuasaannya untuk mewujudkan perdamaian yang langgeng, sehingga rakyat Aceh tetap hidup dalam keadaan bebas dan merdeka, tidak menjadi warga negara Belanda.
Dalam percakapan dengan Studer, Tuanku Ibrahim juga menyatakan, bahwa Belanda dengan jalan apa saja telah menyebarkan laporan-laporan yang menjelek-jelekkan Aceh dalam berbagai aspek. Padahal apa yang dikatakan itu palsu.
Kami tahu benar, dalam soal kemajuan, kami tidak sama tingkatnya dengan tetangga –tetangga kami yang telah maju. Namun demikian, rakyat kami rajin, tekun dan bekerja keras melipat gandakan produksi pertanian mereka, sehingga sebagian dari produk – produk kami itu dapat kami kirimkan untuk mereka kepasar –pasar negeri Belanda.
Di samping itu sejak 15 tahun lalu, banyak rakyat Aceh yang telah menjadi kaya. Mereka dengan kekayaan yang melimpah telah menginvestasikan modalnya dalam bisnis real estate di Pulo Pinang. Sekiranya mereka dibiarkan, tidak diganggu dan tetap hidup dalam keadaan damai peradaban sudah menyebar ke seluruh pelosok tanah Aceh
Tuanku Ibrahim juga menegaskan kepada Studer apabila kelebihan-kelebihan (superiorities) yang dimiliki rakyat Aceh, walaupun masih bisa dihitung dengan jari dikombinasikan dengan tekad penentuan nasib untuk tidak mau jatuh kebawah kekuasaan Belanda, mereka akan mampu bertahan sampai adanya renungan keinsafan yang serius dari pihak Belanda sendiri.
Atau, melalui suatu intervesi asing mereka akan terpaksa meninggalkan rakyat Aceh hidup dalam kedamaian.
Di pihak lain Konsul Studer menjawab, bahwa semua dokumen yang telah diserahkan kepadanya akan disampaikan kepada pemerintah Amerika, dengan segala harapan dan keinginan dari Tuanku Ibrahim, katanya, sekarang ini pemerintah Amerika telah mengambil suatu pendirian yang teguh untuk berada di dalam posisi netral yang ketat, baik dengan Belanda maupun dengan Aceh.
Dalam waktu dekat bila saya telah menjadi Konsul Amerika untuk Sumatera, saya akan berusaha sekeras-kerasnya untuk mempertahankan sikap netral yang ketat itu (strict neutrality). Mengenai kesukaran-kesukaran yang sekarang dihadapi oleh rakyat Aceh, itu semua berada di dalam pertimbangan pemerintah Amerika”
Sebulan kemudian, 4 oktober 1873 naskah perjanjian Aceh – Amerika (Achehnese American Treaty Proposal) ditransfer oleh Konsul Amerika, Studer kepada Jcb davius, assistant Secretary of State di Washington. DC. Mungkin karena mengingat perang antara Aceh dan Belanda sudah bekecamuk. Sedangkan Amerika tidak ingin melibatkan diri.
Ia tidak mau mengambil risiko untuk menandatangani naskah perjanjian itu. Ditambah lagi saya kira, karena mereka sama-sama negara yang mempunyai rencana untuk membawa “misi peradaban” (mission civilisastrio) kepada bangsa – bangsa di timur, yang menurut kamus negara – negara barat waktu itu tidak termasuk dalam kategori civilized nations. (bangsa-bangsa yang beradab).
Sekiranya perang belum meletus, saya kira naskah perjanjian itu ditandatangani. Sebab, bagi Amerika masih ada kesempatan untuk intervensi dengan operasi-operasi diplomatik untuk mencegah terjadinya perang.
Tetapi justeru inilah pula yang ingin dicegah oleh Belanda, dengan mempercepat pengumuman perang terhadap Aceh. Walaupun dengan persiapan yang buruk sehingga ekspedisinya yang pertama gagal total dengan Jenderah Kohler, sebagai pemimpin ekspedisi dibunuh pejuang Aceh.
Dengan demikian naskah tersebut disimpan di bagian Arsip State Departemen dan setelah US National Archeves dibangun naskah tersebut disimpan di sana dalam microfilm. Sampai sekarang sesudah hampir satu seperempat abad ia masih berada di sana dalam keadaan yang utuh.
*HM Nur El Ibrahimy, Mantan anggota DPR RI.
( Sumber: Harian Serambi Indonesia, Sabtu, 29 Januari 1994 halaman 4/Opini. Disalin kembali oleh T.A. Sakti ).