Gemarnews.com , Jakarta - Pada tanggal 25 November pukul 23.45 WIB, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan tujuh orang tersangka kasus pemberi dan penerimaan dugaan suap benih lobster. Dari tujuh orang tersebut, beberapa diantaranya adalah Menteri Kelautan dan Perikanan – Edhy Prabowo, dua Staff Khusus Menteri KP – Safri dan Andreau Pribadi Misata, Staff Istri Menteri KP – Ainuh Faqih, Amiril Mukminin, Pengurus PT Aero Citra Kargo (PT ACK) – Siswadi, serta Suharjito sebagai Direktur PT Dua Putra Perkasa (PT DPP, pemberi suap).
Berdasarkan catatan KPK, Edhy Prabowo menerima suap dengan total Rp 4,8 Milliar, yang diberi dengan rincian Rp 3,4 Milliar dari PT ACK serta US$ 100.000 (setara Rp 1,41 Milliar) dari Suharjito (Direktur PT DPP). Tujuannya agar perusahaan Suharjito ditetapkan sebagai eksportir benih lobster melalui forwarder, PT Aero Citra Kargo (PT ACK). Perusahaan ini merupakan satu-satunya forwarder ekspor benih lobster yang sudah disepakati dan dapat restu dari Edhy Prabowo sebagai Menteri kelautan dan Perikanan. Sehingga, sejumlah perusahaan eksportir benih lobster harus menggunakan jasa PT ACK dengan tarif Rp 1.800 per benih.
Jika melihat dinamika yang terjadi pra dan pasca disahkannya Permen KP No.12 Tahun 2020, PPNI bersama KIARA telah mengingatkan serta mendesak KKP untuk tidak mengesahkan (pra) serta membatalkan (pasca) peraturan tersebut karena tidak disertai dengan kajian mendalam dari instansi terkait tentang status pemanfaatan benih dan lobster di WPPNRI yang sudah berwarna kuning dan merah, yang berarti sudah tidak layak untuk dieksploitasi. Desakan PPNI dan KIARA diperkuat dengan pernyataan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang telah mengingatkan bahwa kebijakan pemberian izin ekspor lobster ini terdapat banyak potensi kecurangan serta bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia.(27/11/20).
Fakta Temuan PPNI-KIARA
Untuk memenuhi syarat administrasi yang diberikan KKP, perusahaan pengekspor lobster melakukan praktik-praktik manipulatif dari sistem kemitraan dengan nelayan dan perempuan nelayan pembudidaya lobster. Dengan sistem kemitraan tersebut nelayan dan perempuan nelayan sangat dirugikan karena hanya dimanfaatkan untuk memenuhi syarat administrasi perusahaan.
Menyikapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal PPNI – Masnu’ah – menyebutkan bahwa “kebijakan ini sama sekali tidak menguntungkan dan hanya memanfaatkan nelayan dan perempuan nelayan pembudidaya lobster. Realita di lapangan, nelayan dan perempuan nelayan pembudidaya lobster hanya dijadikan alat untuk memuluskan langkah perusahaan untuk melengkapi persyaratan administrasi. Lebih jauh lagi, kebijakan ini juga terbukti tidak menguntungkan negara dalam Pendapatan Negara Bukan Pajak. Negara hanya mendapatkan PNBP sebesar Rp250 dari 1000 benih lobster yang diekspor ke luar negeri” tegasnya.
Di lapangan terdapat sejumlah fakta yang sangat merugikan nelayan dan perempuan nelayan pembudidaya lobster, yaitu: pertama, perusahaan eksportir benih lobster membeli lobster ukuran konsumsi untuk dipindahkan ke keramba jaring apung (KJA) milik perusahaan dan diklaim sebagai keberhasilan dalam budidaya; kedua, perusahaan membeli lobster berukuran di atas 50 gram dari pembudidaya untuk dilepasliarkan di alam dan diklaim sebagai keberhasilan panen; ketiga, perusahaan juga mengklaim lahan KJA milik nelayan pembudidaya dan hasil panennya sebagai keberhasilan budidaya.
Masnu’ah mengatakan bahwa: “pihak yang diuntungkan hanyalah perusahaan yang mendapat rekomendasi ekspor. Bahkan, pihak yang paling diuntungkan adalah negara tujuan ekspor lobster, yaitu Vietnam. Hal tersebut karena Vietnam merupakan produsen utama budidaya lobster, dalam lalu lintas perdagangan lobster dunia. Setelah mencapai ukuran tertentu yang layak untuk dikonsumsi, Vietnam akan kembali menjual lobster tersebut dengan harga yang berpuluh-puluh lipat dan salah satu tujuan pasarnya adalah Indonesia.”
“Sampai kapan Indonesia hanya bergantung pada ekspor lobster tanpa berusaha membudidayakan lobster secara mandiri dan berbasis kepada masyarakat bahari. Dengan dianugerahi sumber daya perikanan yang melimpah, sudah saatnya Negara Indonesia menjadi aktor utama dalam pasar/perdagangan lobster global. Itu dapat terwujud jika pemerintah mendorong dan memberdayakan masyarakat dalam mengelola sumber daya perikanan yang ada di laut Indonesia. Toh itukan mandat dari UU No.7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya dan Petambak Garam yang ada di Indonesia”, tegas Masnu’ah.
Arah Kebijakan Tidak Jelas dan Pro-Korporasi
Pasca ditetapkannya Edhy Prabowo sebagai Menteri KKP, KKP telah semakin mendekat dengan investor dan pro kepentingan korporasi. Diawali dengan revisi Peraturan Menteri tentang ekspor lobster, pemberian izin penggunaan cantrang untuk beberapa kapal di laut Natuna, membuka impor garam serta ingin merevisi berbagai Peraturan Menteri KP yang salah satunya kembali melegalkan alat tangkap destruktif-eksploitatif.
Masnu’ah menambahkan bahwa regulasi yang tengah dibahas dan telah dikeluarkan oleh KKP di era Edhy Prabowo telah membuat satu kemunduran di sektor perikanan dan kelautan. Hal yang sama terkait tidak adanya transparansi ke publik terhadap arah kebijakan dan road map KKP di era menteri baru membuat langkah KKP semakin abu-abu dalam mensejahterakan kehidupan masyarakat pesisir skala kecil. Hal tersebut bertentangan dengan semangat masyarakat bahari yang untuk tetap menjaga keberlangsungan sumber daya perikanan yang terkandung di laut Indonesia.
“Salah satu rencana revisi Permen KP yang digaungkan oleh KKP adalah terkait alat tangkap destruktif-eksploitatif. Rencana ini sangat memicu amarah kami sebagai nelayan dan perempuan nelayan kecil yang pernah sangat dirugikan dengan beroperasinya bom ikan, trawl, pukat dan sejenisnya. Basis-basis nelayan di berbagai tempat juga menolak adanya revisi peraturan menteri yang mengatur tentang menghidupkan kembali alat tangkap tersebut”, tegas Masnu’ah.
Masnu’ah juga menambahkan bahwa perempuan nelayan sangat terdampak terkait dengan berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan KKP. “Sudah saatnya KKP mengubah arah dan orientasi kebijakannya untuk: pertama, segera mengutamakan keberlanjutan ekologi pesisir dan pulau-pulau kecil, kedua, mengakui dan menjalankan hak-hak masyarakat pesisir skala kecil dan tradisional yang telah di mandatkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010, ketiga, memperkuat pengawasan dari implementasi Permen KP No. 71 Tahun 2016 dan membatalkan Permen KP No. 12 Tahun 2020. Sudah saatnya nelayan dan perempuan nelayan berpartisipasi aktif menjadi aktor utama dalam arah pembangunan yang dilakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil!” tegas Masnu’ah. ( RF )