Gemarnews.com, Surakarta - Tokoh Masyarakat Aceh Solo dan juga Pemerhati Sejarah Aceh, Haji Adi Fa, menolak keras pembangunan Pengelolaan Air Limbah (IPAL) di Gampong Pande, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh yang kembali dilakukan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh tersebut setelah sempat dihentikan pada 2017 lalu, karena di lokasi pembangunan IPAL ditemukan berbagai batu nisan peninggalan Kerajaan Aceh.
Adi Fa yang juga kini menjadi Ketua Yayasan Masyarakat Aceh (YANMAS) berpendapat, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Banda Aceh, T Jalaluddin dan Walikota Banda Aceh Aminullah Usman perlu mengkaji ulang rencana tersebut meskipun kini surat yang bernomor: 660/0253, tanggal 16 Februari 2021, perihal lanjutan pembangunan IPAL Kota Banda Aceh, yang ditujukan kepada Menteri PUPR c/q. Dirjen Cipta Karya, di Jakarta telah dikirimkan.
"Tak ada kata terlambat dan tidak mungkin, untuk menyelamatkan sebuah peradaban besar yang tidak hanya milik Kota Banda Aceh saja, tetapi Gampong Pande merupakan sebuah peradaban besar yang dimiliki oleh Asia Tenggara,"
Kajian ulang yang perlu dilakukan adalah dengan mengundang semua elemen dan unsur masyarakat untuk duduk bermusyawarah bersama, tidak hanya mendengar masukan dari pihak konsultan dan arkeolog dari Pihak Pemerintah.
"Di Aceh selama ini cukup banyak tokoh dan Lembaga Pemerhati Sejarah Aceh yang cukup aktif dan menjaga eksitensi keberadaan Cagar dan Budaya Aceh meskipun tanpa dorongan dan biaya dari Pemerintah, diantaranya ada Bapak Mawardi Ustman Ketua Peubedoh Sejarah, Adat dan Budaya Aceh (Peusaba), Mizuar Mahdi dari Masyarakat Peduli Sejarah Aceh atau Mapesa dan masih banyak lainnya, yang menurut saya lebih kredibel dan integritasnya lebih dipercaya oleh masyarakat,
senseu beuneung tawoe bak pruet, karue buet tawoe bak punca, ujar Ketua Yanmas ini berfilosofi."
Disisi lain Adi Fa juga menyebutkan kebijakan Pemerintah Kota Banda Aceh membangun pengolahan limbah di kawasan Gampong Jawa-Gampong Pande dan tepi Krueng Aceh, juga tidaklah tempat, hal ini juga sama dengan tidak mengindahkan hal-hal yang memiliki nilai penting dalam sejarah dan budaya masyarakat Aceh serta mengabaikan nilai-nilai keindahan serta tradisi “meusaneut” dan “beu-muslihat” dalam etika kehidupan masyarakat Aceh yang Islami juga perlu kita tanyakan kembali keseriusan Pemerintah dalam menjaga situs sejarah dan cagar Budaya Aceh yang selama ini hilang dan rusak akibat perang merebut kemerdekaan, konflik berkepanjangan, musibah alam termasuk gempa dan tsunami.
Banda Aceh sebagai salah satu kota tertua di Indonesia namun sayangnya kita tak dapat menjaga dan menunjukan bukti dan identitas kita sebagai Bangsa yang berperadaban. (rilise)