Oleh: Rafika Zhalila, Mahasiswi Ilmu Pemerintahan, Universitas Syiah Kuala
Gemarnews.com, Penyimpangan adalah sebuah kata yang merujuk makna menghindar, tidak menurut dengan ketentuan atau aturan, suatu tindakan menyalahi kebiasaan yang sengaja dilakukan untuk mencapai maksud tertentu termasuk memenuhi kepentingan yang berkonotasi negatif.
Dalam filsafat, dikenali 3 pembagian utama ilmu filsafat sehingga lahir aliran-aliran penting ilmu filsafat, dimana 3 pembagian tersebut yaitu: ontology, epistimologi, dan aksiologi.
Filsafat menjadi induk ilmu yang mengalami turun naik perkembangannya serta menjadi ketentuan sebagai pembentuk seluruh cabang ilmu di dunia barat dan era modern termasuk cabang ilmu filsafat pemerintahan.
Penyimpangan dalam pemerintahan disini dikenal dengan patologi pemerintahan. Sebagai pelaksana dan penyelenggara bahwa birokrasi sebagai pelaku dalam pemerintahan maka istilah tersebut dapat lebih dikatakan tepat dengan “Patologi Birokrasi Pemerintahan”.
Kasus-kasus patologi di Indonesia yang bermunculan di lingkungan pemerintahan menjadi sorotan umum dan konsumsi tontonan masyarakat di berbagai media sebagai bentuk transparansi pemerintah, yang menjadi masalah tak berujung yaitu hilangnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan.
Padahal dalam implementasi pemerintahan, dukungan masyarakat dengan kepercayaan publik yang tinggi adalah kekuatan perubahan pembangunan dan untuk sampai pada cita-cita negara.
Kepercayaan publik ini semakin sulit didapat bila mengingat penyimpangan yang dilakukan birokrat serta sistem yang salah dijalankan terus bermunculan terlebih yang tak terduga patologi tersebut terjadi ditengah pandemic covid 19 hari ini.
Kasus terduga korupsi telah terjadi di negeri ini pada akhir tahun 2020. Dua orang Menteri yaitu oleh Menteri sosial terduga kasus korupsi Bansos, Juliari P. Batubara dan 5 tersangka dugaan pelaku lainnya dan Menteri kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo sebagai terduga suap ekspor benih lobster.
Kasus keduanya menyebar dalam pembicaraan publik dan menimbulkan kemarahan masyarakat.
Secara ontologi, menjadi suatu pertanyaan mengapa para oknum pemerintahan masih melakukan penyimpangan ditengah pandemic covid 19 sekarang. Padahal situasi mendesak seperti sekarang adalah situasi sulit yang sedang dialami seluruh dunia.
Pertanyaannya mengapa seorang pemimpin tega dengan rakyatnya yang berkesusahan? Apakah tanggungjawab tersebut yang telah dijanjikan pemimpin pada rakyat terlupakan atau dilupakan? Bila tak sengaja mengapa oknum tersebut tidak segera menyadari sedari awal perbuatannya adalah salah? Selain itu langkah ancaman hukuman mati yang marak dibicarakan juga apakah merupakan keputusan yang tepat bagi pelaku korupsi?
Kita tak mengkaji hanya dari satu sisi.
Korupsi diartikan sebagai serangkaian tindakan nyata seseorang yang dicocokkan dengan UU yang berlaku.
Apabila Dilihat dari “perbuatannya” sudah tentu jelas korupsi telah merugikan negara dan rakyat, juga jelas menyalahkan penggunaan jabatan dan wewenang, dan ini cukup jelas sebagai perbuatan yang salah.
lalu apakah sudah benar perbuatan tersebut konkrit menguntungkan diri sendiri atau orang lain?, apakah perbuatan tersebut bersifat aktif atau perbuatan tersebut bersifat pasif bisa dilihat dari hidup hedonis.
Perbuatan dikatakan aktif bila perbuatan tersebut terwujud dalam aksi konkrit hidup materialistis yang menguntungkan satu pihak atau beberapa pihak.
Sedangkan perbuatan dapat dikatakan pasif bila makna sesungguhnya “korupsi” yang dimaksud tidak sesungguhnya terjadi.
Maksudnya, bila tindakan merugikan negara tersebut dan penyalahgunaan wewenang tersebut tidak terjadi sebagai “perbuatan aktif” maka tidak seutuhnya dikatakan korupsi.
Kajian epistemology korupsi dipengaruhi dari cara pandang seseorang. Bila dilihat dari filsafat materialism ada banyak aspek yang membenarkan bahwa korupsi adalah perbuatan salah.
Sementara definisi perbuatan korupsi berdasarkan UU adalah cara pandang berdasarkan filsafat idealism yang bergantung dengan ide bahwa semua yang berasal dari akal sebagai suatu kebenaran juga tidak dapat seutuhnya dibenarkan bila menjawab realitas materiil yang terjadi.
Sudut pandang filsafat materialism dan empirisme bila dihubungkan seperti permisalan bahwa kegiatan memperoleh kekayaan untuk membantu banyak orang, dan kepentingan bersama juga tidak dapat dibenarkan dikatakan sebagai suatu perbuatan korupsi.
Karena itu pengalaman (empirisme) yang bersumber dari ilmu pengetahuan (akal) dan pengalaman indrawi dibutuhkan balance (keseimbangan) untuk menjawab apa yang dimaksud dari tindakan korupsi sesungguhnya.
Korupsi juga harus dilihat sebagai “akibat” dari suatu sistem yang memberikan peluang untuk melakukan pelanggaran. Hilangnya idealism dan pengutamaan materiil menjadi penyebab terjadinya korupsi sementara secara pragmatis bahwa sumber keuangan yang berasal dari gaji tidak mencukupi kebutuhan material siapapun mengingat dorongan alamiah tiap manusia selalu memiliki keinginan lebih.
Aksiologinya dapat dikaji dengan permisalan: kita mengetahui dimasa Soeharto telah terjadi praktik KKN besar sehingga ini kita sebut sebagai ilmu pengetahuan bagi akal kita. Dan pengalaman indrawi orang-orang yang telah menjadi saksi dari adanya korupsi yang terus berlangsung hingga hari ini baik dengan mata, tangan, kaki, maupun indra lainnya dirasakan orang berbeda-beda.
Sebagai orang yang masih hidup di tahun 2021 ini kita bisa memperoleh pengalaman dengan indrawi (mata menjadi indra yang sering menjadi saksi dihari ini) dan tahu dengan akal oknum korupsi melakukan tindakan korupsi di situasi pandemic covid 19 di akhir tahun 2020.
Pengalaman (empirisme) ini akan membawa kita untuk memperoleh pengetahuan baru bahwa apakah korupsi yang terjadi hari ini adalah efek dari pengalaman korupsi yang pernah terjadi dari masa Soeharto tersebut yang membawa dampak pengaruh dihari ini dan kesulitan untuk menegaskan hukum untuk dapat menentukan hukuman apa yang pantas diberikan adalah karena kita tak pernah tahu bagaimana pengalaman seseorang memimpin atau tak pernah berpengalaman memimpin, seberapa lama dan bagusnya ia memimpin dan apakah bagusnya kepemimpinannya menjamin berlangsung dalam waktu yang lama. Disini kita akan mendapat pengetahuan baru lagi bahwa ketegasan hukum akan membawa ketidakadilan bagi beberapa pihak juga standar ukuran pemimpin yang bagaimana yang dapat melaksanakan kepemimpinan dan dapat mempertahankan prinsipnya seberapa lama.
Keterbatasan pengertian dari korupsi sebagai suatu perbuatan yang merugikan orang banyak belum tentu mencakup seluruh pandangan orang-orang mengenai anggapan apa itu korupsi. Bahkan definisi korupsi sendiri sulit diterjemahkan bila disandingkan dengan hukuman yang sering digemakan masyarakat kita hari ini yaitu dengan hukuman mati. Walau bagaimanapun, perbuatan korupsi yang terjadi meski mencakup sedikit pelanggaran tetaplah terhitung perbuatan yang salah dan perlu ada sanksi yang sesuai dari seluruh lembaga yang berwenang.
Yang menjadi inti bahwa sesungguhnya perbuatan korupsi adalah perbuatan tercela yang harus dibuat suatu standar etika yang berlaku menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dalam birokrasi. Batasan yang diberlakukan juga dianjurkan untuk lebih fleksibel (tidak formal dan kaku) agar tidak merumitkan upaya pengurangan korupsi.
Tindakan preventif (sebelum kejadian) adalah hal yang paling utama sebagai pencegah terjadinya korupsi. Setiap orang pada hakikat sebenarnya butuh bimbingan untuk terus diingatkan agar mencegah terjadinya perbuatan yang berkelanjutan.
Tindakan represif (sesudah terjadi korupsi) adalah upaya terakhir sebagai pembinaan menghindari pelaku lainnya yang berbuat sedemikian rupa dikemudian hari. (*)