Oleh : Syifa Salsabila
Mahasiswa Jurusan Fisip Universitas Syiah Kuala
Gemarnews.com - Kota Sabang merupakan sebuah kepulauan, dengan Pulau Weh menjadi pulau terbesar daripada pulau lainnya yang berada di Kota Sabang.
Kawasan ini menawarkan keindahan alam yang masih alami, yaitu berupa hutan dan samudera biru yang penuh dengan terumbu karang yang indah serta banyak beragam ikan-ikan. Pesona alam yang dimilikinya menjadi salah satu amunisi kota ini untuk menjadi daerah yang bertujuan wisata.
Pada masa penjajahan, Belanda atau Jepang menggunakan Sabang sebagai benteng pertahanan karena letaknya yang strategis. Banyak bangunan dan benteng kolonial yang tersisa dari Perang Dunia ke-II. Sejak zaman Belanda, Sabang telah menjadi kawasan perdagangan.
Bahkan pada tahun 2000, pemerintah pusat menetapkan Sabang sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Dan ini adalah beberapa sejarah umum yang terdapat di Kota Sabang.
Tidak banyak yang mengatakan bahwa Pulau Weh pernah menjadi tempat embarkasi haji bagi para calon jamaah haji dari Hindia Belanda (Indonesia).
Menurut catatan sejarah, Sabang merupakan tempat embarkasi haji pertama di wilayah Indonesia. Embarkasi yang dibangun oleh Belanda dilengkapi dengan fasilitas yang hebat dan canggih (saat itu) di Pulau Weh dan Pulau Rubiah.
Beberapa fasilitas tersebut masih berdiri hingga saat ini, namun sebagian fasilitas lainnya sudah hancur karena tak terawat. Salah satu bangunan Karantina Haji Pertama di Indonesia terdapat di Pulau Rubiah.
Di dirikan langsung oleh penjajah Belanda sekitar tahun 1920 M. Hal ini dilakukan untuk membantu proses embarkasi yang masih menggunakan kapal laut untuk keberangkatan calon jamaah haji.
Menurut berbagai referensi, ada dua tempat karantina haji di kala itu yaitu Pulau Rubiah dan Pulau Onrust di Kepulauan Seribu yang saat ini termasuk dalam wilayah DKI Jakarta. Pulau Rubiah merupakan pusat karantina bagi jamaah haji di Aceh dan wilayah Sumatera lainnya.
Pada saat yang sama, Pulau Ornust menerima jamaah haji dari pulau Jawa. Pada tahap awal pembangunan, beberapa bangunan dibangun di atas lahan seluas 10 hektar di pulau tersebut.
Namun, saat ini hanya ada dua bangunan tua yang tidak terawat, dan bangunan lainnya mengalami pelapukan seiring berjalannya waktu dan mengalami berbagai fenomena. Meski tidak terawat dengan baik, bangunan tua itu masih menyimpan banyak bukti sejarah tentang penerapan karantina haji di Indonesia pada masa Hindia Belanda.
Oleh karena itu, karantina haji bukan suatu hal yang baru di Indonesia. Pulau ini sebenarnya hanyalah tempat dimana para calon jamaah haji dikarantina saat itu.
Karantina ini bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit berbahaya yang mungkin ditimbulkan oleh jamaah haji yang baru pulang.
Masa karantina yang dijalankan lumayan lama karena saat itu belum adanya vaksin untuk mencegah penyebaran bakteri atau virus pembawa penyakit menular.
Saat itu, perjalanan calon jamaah haji dimulai dengan embarkasi di Gampong Kuta Timu. Orang Sabang menyebutnya “Kampoeng Haji”.
Hingga saat ini nama tersebut masih populer di kalangan masyarakat Sabang. Karena calon jamaah haji yang akan berangkat Tanah Suci Mekkah dengan menaiki kapal laut diinapkan dulu di lokasi ini.
Diantara bangunan yang masih dipertahankan dan dirawat hingga saat ini adalah Masjid Kampung Haji. Para calon jamaah haji dari Indonesia beribadah dan belajar manasik di Masjid ini, kemudian baru dikarantina di Pulau Rubiah.
Setelah prosesnya selesai dengan sesuai aturan yang ditetapkan pada saat itu, barulah para jamaah haji berlayar dengan kapal laut.
Para jamaah haji yang telah kembali dari Mekkah, sementara waktu akan dikarantinakan sekitar selama empat puluh hari di Karantina Haji Pulau Rubiah Sabang. Setelah mereka dinyatakan sehat, mereka akan dipulangkan ke daerah masing-masing.
Dengan berjalnnya waktu, setelah penjajah kolonial Jepang berhasil merebut Indonesia dari Belanda, Jepang menggunakan kawasan karantina ini sebagai salah satu benteng pertahanannya.
Lalu pada tahun 1944, Belanda kembali dan bertempur melawan tantara Jepang. Dengan dukungan para pasukan sekutu, pertempuran sengi tantara Jepang dan Belanda terjadi untuk merebut kembali Indonesia dari kekuasaan Jepang. Dikarenakan Jepang menggunakan daerah karantina ini sebagai salah satu benteng pertahannya, maka tantara Belanda dan sekutunya mengebom daerah karantina tersebut untuk menghancurkan tentara Jepang.
Alhasil, monumen bersejarah ini pun hancur berkeping - keping. Inilah salah satu penyebab hancurnya kawasan karantina haji di Pulau Rubiah dan juga telah dimakan oleh usia.
Dsn sejak saat itu pun, Pulau Rubiah tidak lagi menjadi pusat karantina haji. Namun demikian, dengan melalui kampung haji Kota Sabang masih menjadi jalan bagi jamaah haji untuk memberangkatkannya ke tanah suci tersebut hingga tahun 1970-an.
Dalam kajian filsafat, metode historis sangat menggambarkan sejarah yang berada di Kota Sabang ini sebagai tempat utama dalam embarkasi haji bagi para calon jamaah haji dari Hindia Belanda (Indonesia).
Namun, akibat dari terjadinya pertemburan antara Jepang dan Belanda kala itu membuat bangunan - bangunan peninggalan bekas karantina tersebut menjadi hancur. Hingga saat ini pun, ada beberapa sisa bangunan yang masi tertinggal dan sudah termakan usia.
Kini, Pulau Rubiah tersebut menjadi tempat wisata dan spot snorkelling terbaik di Aceh. Dengan keindahan yang berada dibawah laut Pulau Rubiah tersebut menjadikan Kota Sabang tidak kekurangan dengan kekayaan alamnya hingga saat ini.
Dan dengan adanya peninggalan-peninggalan sejarah di daerah, membuat kita paham akan bagaimana memahami dunia dan masyarakat di sekitar daerah.
Juga menjadikan kita sebagai warga negara yang terinformasi guna memudahkan kita mengakses yang bisa didapatkan saat ini. (*)