Generasi Z, Konflik Aceh dan aturan PPKM
Dok.foto Penulis : Nurul Aini Suid Mahasiswa Sosiologi Agama Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh
GEMARNEWS.COM , Kita sering kali mendengar istillah-istilah untuk penyebutan setiap generasi, misalnya saja genarasi Z. Generasi Z merupakan generasi yang lahir sekitar tahun 90-an dan 2000-an. Generasi ini dikenal dengan generasi yang rasa ingin tau nya sangat tinggi. Umumnya generasi ini disebut dengan iGeneration atau generasi internet yang selalu terhubung dengan dunia maya, dan banyak ciri khas lain yang melekat pada generasi ini.
Disadari atau tidak, sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah ke atas, jarang sekali ilmu tentang sejarah tempat tinggal generasi Z sendiri misalnya saja Aceh, dipelajari di sekolah, entah memang “ sengaja” dibuat tak dipelajari atau memang peraturan kurikulum memang seperti itu, apa yang terjadi? Akibatnya banyak sekali generasi Z yang tidak mengetahui tentang kejadian masa lampau yang terjadi di Aceh.
Kebanyakan sejarah yang dipelajari hanya seputar kerajaan-kerajaan serta perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah, lalu tentang konflik antar “saudara” antara RI dan GAM hanya didengar oleh Generasi Z dari mulut ke mulut, kebanyakan didapatkan saat bangku perkuliahan dan diwarung kopi.
Berbicara tentang konflik tentu kita harus melihat dari berbagai sudut pandang, dalam tulisan ini penulis ingin melihat dari sisi sosial ekonomi. Saat terjadinya konflik tentu kerugian di segala bidang kehidupan dirasakan oleh setiap orang.
Di Aceh, konflik yang terjadi dari tahun 1976-2005 merupakan konflik yang banyak menelan jiwa. Pihak RI bermusuhan dengan GAM karena menuntut sebuah kemerdekaan. Saat itu RI tidak hanya mencari GAM saja tetapi juga rakyat biasa, sehingga penyiksaan dan pembunuhan sudah hal biasa terjadi.
Disetiap sudut desa terkesan sangat angker, karena setiap orang yang lewat diwajibkan untuk menunjukkan kartu identitas sebagai wujud kepatuhan seorang warga terhadap negaranya.
Akibatnya, trauma mendalam, berujung pada ketakutan warga untuk beraktivitas diluar rumah. Dampak lainnya yaitu terjadinya kemiskinan dan keterbelakangan serta tidak adanya pemberdayaan dari pemerintah saat itu.
Konflik yang melanda Aceh terus menerus, menyebabkan terjadinya system sosial secara perlahan-lahan berubah, misalnya saja pada saat itu untuk melangsungkan prosesi kenduri, gotong royong dan lain-lain.Lalu apa kaitannya denga aturan PPKM ( Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) dengan kondisi sosial ekonomi saat konflik dulu?. Latar belakang tulisan ini adalah saat penulis duduk di salah satu warkop di Banda Aceh.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa aturan PPKM yang berlaku saat ini adalah yaitu setiap tempat makan dan minum buka hingga pukul 21:00 WIB. Jam 22:00 polisi, tentara dan beberapa satpol PP datang untuk mengingatkan, dan saat itu pemilik warkop mengatakan “ ka lage ta hudep wate masa konflik” (seperti hidup pada masa konflik). Hal ini seperti nya diungkapkan oleh pemilik warkop dikarenakan adanya rasa was-was dan kekesalan karena sangat-sangat menghambat ekonomi para pelaku usaha.
Rasa was-was itu muncul bukan tanpa alasan, karena beberapa waktu lalu banyak sekali warung-warung yang melanggar aturan disegel garis polisi, tanda tidak boleh lagi ada aktivitas. Menjadi trauma tersendiri memang jika “aturan” dilanggar.
Sebelum diberlakukan PPKM ini, beberapa waktu yang lalu sempat berlaku peraturan di Aceh tempat makan dan minum, serta segala aktivitas yang mengundang kerumunan hanya boleh dibuka sampai jam 11 malam.
Namun beberapa hari lalu, aturan PPKM di tetapkan oleh pemerintah karena adanya lonjakan kasus covid-19, hal ini sesuai dengan intruksi gubernur Aceh Nomor 11//INSTR/2021 tentang PPKM mikro dan mengoptimalkam posko penanganan covid-19. Sanksi bagi yang melanggar peraturan tersebut adalah pelaku usaha akan dicabut izin dan juga disanksi secara adat.
Tentu hal ini membuat ruang gerak masyarakat sangat-sangat tidak bebas, memang disatu sisi mau tidak mau masyarakat harus patuh terhadap aturan, namun disisi lain pelaku usaha seperti pemilik warkop harus berjualan untuk memenuhi kebutuhan. Walaupun demikian, tentu situasi saat konflik dan PPKM ini tidak serta merta sama, namun tidak juga terlalu berbeda.
Oleh karena itu, sebagai generasi Z dan generasi-generasi lainnya yang saat ini sedang melangsungkan roda kehidupan, walaupun saat ini diberlakukan aturan PPKM dengan batas ruang gerak, memang adanya rasa was-was saat berkumpul karena akan di “tegur”, berbeda ketika konflik rasa was-was muncul karena akan ada nyawa yang hilang.
Penulis : Nurul Aini Suid Mahasiswa Sosiologi Agama Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh.