GEMARNEWS.COM , Sebagai Rektor IAIN Ar-Raniry kala itu, beliau memimpin lansung kontingen PIONIR V (Pekan Ilmiah, Olahraga, Seni dan Riset) yang diselenggarakan di STAIN Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Masa itu, saya mendapat kepercayaan untuk ikut bersama kontingen IAIN Ar-Raniry pada cabang lomba debat Bahasa Inggris. Momentum itulah saya mengenal lebih dekat sosok Prof. Farid Wadji.
Sebelumnya, saya hanya mengenal beliau sebagai akademisi yang garang dan sangar. Beliau selalu berapi-api ketika berorasi. Dialek beliau sangat khas dan kental dengan Bahasa Aceh.
Saat berkuliah dulu, saya tinggal hanya beberapa puluh meter dari rumah beliau. Konon suatu ketika, Prof. Farid di pagi buta dengan hanya mengenakan sarung, baju singlet, dan sebilah parang mengejar pencuri seorang diri. Aksi koboinya itu berhasil membuat pencuri tersebut lari terbirit-birit.
***
Balik lagi ke momentum mengikuti PIONIR V di Bone, Sulsel. Setelah menempuh perjalanan udara sekitar 5 jam lebih dari Banda Aceh-Jakarta-Makassar.
Setibanya kami di Bandara Hasanuddin, saya berpikir bahwa venue penyelenggaraan acara hanya berjarak beberapa kilometer saja dari Bandara.
Ternyata setelah diberi tahu oleh panitia, saya cukup terkejut bahwa kami masih harus menempuh perjalanan darat sekitar 4 jam lagi untuk tiba di Bone.
Tidak lama berselang, sebuah mobil sejenis sedan Camry memarkir di hadapan kami yang sedang menunggu mobil jemputan panitia. Mobil tersebut rupanya diperuntukkan bagi Pak Rektor. Dengan ramah dan sopan, supir yang didampingi salah seorang panitia mengajak Prof. Farid ikut serta bersama mereka.
Beliau menolaknya dengan sopan dan menyampaikan bahwa ia ingin ikut bersama dalam mobil yang akan ditumpangi oleh kontingen mahasiswanya.
Apa yang saya saksikan dengan mata kepala saya kala itu adalah ekspresi kebersahajaan dan ketulusan seorang Prof. Farid. Sama sekali tidak terlihat sedikit pun adanya gimmick apalagi pencitraan. Karena beliau memang apa adanya. Kiban crah, meunan beukah.
Kelakar yang segar seringkali mengalir begitu saja dari beliau setiap membuka obrolan. Beliau sama sekali tidak berjarak dengan mahasiswanya.
Sejurus kemudian sebuah bus tua datang menghampiri kami. Bus yang kadar tuanya seangkatan dengan Robur Darussalam.
Setelah diberitahu oleh panitia, itulah bus yang akan mengantarkan kami ke Bone. Kami saling memandang satu sama lain seolah tak percaya bahwa itulah angkutan yang akan kami tumpangi.
Berbeda dengan Prof. Farid, yang tanpa ragu malah naik duluan dan lansung saja duduk di samping supir di atas kursi yang sudah tampak ditambal di beberapa bagian.
***
Dalam hal ini, saya merasa beruntung sekali pernah mengenal beliau. Sosok guru besar yang begitu sederhana dan bersahaja.
Hingga kata-kata pun tidak akan mampu merangkai semua petuah hebat, panutan, dan teladan dari beliau.
Selamat jalan guru kami. Surga luas insya Allah menantimu di sana .
Penulis :
MARTHUNIS , M.A
Direktur Sekolah Sukma Bangsa Pidie