mengelar diskusi dalam Rangka Hari Tani dengan Tema “Bicara Tanah di Hari Tani”
Kamis (23/9/2021). Pembicara dalam diskusi tersebut tokoh warga Padang Tiji, Direktur LBH Banda Aceh, dan aktivis antikorupsi MaTA.
Pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tol di Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie, Aceh terdapat masalah. Sebanyak 8 warga yang tanahnya digunakan untuk tol tidak bayar ganti rugi. Begitu juga dengan ganti rugi untuk pengelola hutan adat juga disebut tidak tepat sasaran.
Mantan Imum Mukim Paloh, Padang Tiji, Marwan mengatakan tanah kebun milik 8 orang, termasuk milik dirinya telah digunakan untuk pembangunan jalan tol, namun ganti rugi yang dibayar justru untuk orang lain. Marwan menilai ada kejanggalan dalam proses pengukuran lahan dan pembayaran.
Kebun miliknya yang berisi tanaman holtikultura seperti pinang dan pisang kini telah diratakan untuk pembangunan jalan tol. Bukan hanya itu, mereka kehilangan kedaulatan untuk menggarap tanah sendiri.
Sementara Panglima Uteun Paloh, Padang Tiji, Ridwan mengungkapkan pembayaran ganti rugi hutan adat yang digunakan untuk tol juga salah sasaran. Dia mengatakan warga yang lahan garapannya dipakai untuk tol tidak dibayar, jutsru dibayarkan untuk warga yang tanah garapannya tidak masuk dalam lokasi pembangunan tol.
Ridwan menduga ada unsur manipulasi penerima ganti rugi pengelola hutan adat tersebut. Ridwan berharap pemerintah dan panitia pembebasan lahan untuk meninjau kembali agar adanya keadilan bagi warga yang tergusur dari tanah garapannya.
Direktur LBH Aceh Syahrul menilai ada unsur kesengajaan memanipulasi penerima ganti rugi lahan di Padang Tiji. Pembayaran ganti rugi bagi yang tidak berhak menurutnya adalah pidana.
Dampak dari kekeliruan itu warga yang tanahnya diserobot untuk pembangunan jalan tol kehilangan sumber penghidupan dan hak atas tanah karena dirampas oleh negara. “Persoalan ini harus diselesaikan. Saya menduga ada permainan mafia tanah dalam kasus ini,” ujar Syahrul.
LBH Banda Aceh kini memberikan pendampingan hukum untuk warga Padang Tiji yang menjadi korban dari pembebasan lahan. LBH Banda Aceh akan mengadvokasi hingga hak warga ditunaikan.
“Mumpung penerima (salah sasaran) masih berada di Aceh, uangnya mungkin belum habis dipakai. Kasus ini harus segera diselesaikan, negara tidak boleh membiarkan warga berjuang sendiri,” kata Syahrul.
Sementara itu Hafid, aktivis MaTA, menuturkan warga akar rumput selalu menjadi korban atas kebijakan negara yang mengatasnamakan pembangunan dan investasi. Dia mengatakan dalam kasus pembebasan lahan berpotensi praktik korupsi sangat mungkin terjadi.
Menurut Hafid ketika ada yang berteriak protes artinya ada persoalan serius yang harus disahuti oleh pemerintah. Dalam kasus pembebasan lahan tol tersebut, Hafid berharap penyelesaian dipercepat agar tidak muncul konflik sosial dan krisis kepercayaan warga terhadap pemerintah