Oleh : Dr. Nusanjaya Abdullah, M.Pd
Gemarnews.com, Opini - Seorang teman di kantor, sebut saja namanya Budi, mengemukakan suatu persoalan yang rumit bagi penulis. Secara kritis dan penuh dengan perasaan ingin tahu, ia bertanya: “Kalau seseorang keliru belajar agama dan pengetahuan itu dia amalkan, siapa yang disalahkan Allah? Dia hanya mengamalkan apa yang diajarkan gurunya atau melaksanakan ‘petunjuk’ yang dibacanya dari berbagai buku”.
Terus terang, sulit bagi penulis untuk merumuskan sebuah jawaban yang ringkas, sederhana, dan tepat terhadap pertanyaan tersebut. Selain hal itu menyangkut bagian dari fenomena belajar dan mengajar, juga akan menyentuh golongan masyarakat yang termasuk golongan “terlambat sadar” setelah bertahun-tahun melaksanakan pengajaran agama dari gurunya, yang kemudian dia ketahui bahwa pengajaran itu menyesatkan.
Sebenarnya, pertanyaan yang utama adalah siapa yang mempunyai otoritas yang sah untuk menghukum atau mencap seseorang atau kelompok jamaah itu sesat? Kriteria apa yang dipergunakan untuk menentukan perbuatan seseorang itu sesat? Misalnya, kiyai, teungku, ustadz atau siapa saja yang menempatkan dirinya sebagai ulama, dapatkah secara sah dia menghukum orang lain yang tidak sepaham dengannya sebagai sesat dan menyesatkan? Jika kiyai, teungku atau ustadz tersebut menggunakan dalil Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, pemahaman yang bagaimana terhadap nash itu yang dikatakan shahih?
Sungguh tidak mudah bila kita mau jujur. Juga tidak segampang membalikkan telapak tangan bila hendak menghukum orang lain sesat dan menyesatkan. Karena itulah, dalam lapangan fatwa “hukum agama”, seorang ‘alim, kiyai, ustadz, teungku, maupun lembaga keagamaan seperti MUI, Muhammadiyah, NU, Persis, dan lainnya, hendaknya menyadari akan hal ini.
Allah Ta'ala berfirman dalam QS. an-Nahl (16): 116, yakni: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”.
Ayat tersebut dijadikan dasar oleh ulama, terutama ulama tafsir dan fiqh, bahwa setiap penetapan fatwa atau hendak menghukumi seseorang, apakah itu halal atau haram, harus bersandarkan kepada Allah (al-Qur’an). Dan ayat itu juga memperingatkan terhadap orang-orang yang mengada-ada dalam agama (bid’ah) yang tidak ada landasan syar’i, menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau sebaliknya, hanya semata-mata dengan akal yang terbatas dan menuruti hawa nafsu.
Banyak orang sekarang yang terpengaruh dan mendewakan akal, mendahulukan akal dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mengeluarkan fatwa secara sembarangan dan bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Padahal sudah jelas dan tegas, tidak boleh kita mengatakan “ini halal dan ini haram” mengenai persoalan ijtihadiyah. Seseorang hanya boleh mengeluarkan fatwa bila nyata ada sandarannya pada Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya (lihat Tafsir Imam Ibnu Katsir, II: 350).
Lalu, bagi orang awam yang tidak memahami sepenuhnya kualifikasi pengetahuan kiyai, teungku atau ustadznya, apa yang harus dilakukannya sehingga kelak dia tidak menyesal karena sekian lama disesatkan oleh gurunya tanpa dia ketahui?
Pertama, hendaklah disadari bahwa tidak setiap pelajaran agama yang diajarkan oleh seseorang selalu mengandung kebenaran mutlak, dan tidak mustahil bahwa apa yang diajarkan atau didoktrinkan oleh seorang ustadz atau guru mengandung ajaran sesat dan menyesatkan.
Ketika Allah 'Azza wa Jalla menerangkan kewajiban Nabi agar menjelaskan kepada istri-istri beliau dan wanita-wanita mukminat tentang kewajiban memakai jalabib (bentuk plural dari jilbab), yakni pakaian yang menutup aurat, dilanjutkan dengan keterangan sekitar orang munafik yang terkutuk, dan mengenai hari kiamat, Allah juga menjelaskan adanya kelompok manusia yang menyesal di hari akhirat karena telah salah memilih pemimpin yang ternyata telah menyesatkan jalan hidupnya di dunia (QS. al-Ahzab (33): 67).
Kedua, karena seseorang itu tidak sepatutnya hanya belajar dari seorang guru. Pengetahuan dan pengajaran agama dapat ia pelajari dari beberapa orang, sehingga memperoleh perbandingan dan sekaligus koreksi dari apa yang pernah dipelajarinya. Sebab, kebiasaan belajar dari seorang guru kepada guru lainnya, bukanlah hal yang tercela.
Imam asy-Syafi’i dan Imam Bukhari (semoga Allah merahmati dan memuliakan keduanya) adalah contoh ulama yang belajar dari satu guru ke guru yang lain, dari satu kota ke kota lain, sampai akhirnya mereka berdua menjadi ulama yang sangat luas dan mendalam ilmunya serta komparatif. Jadi, apa yang dilakukan oleh sebagian orang yang hanya mencukupkan diri belajar agama pada satu orang guru saja merupakan tindakan yang kurang bijaksana dan tidak mencontoh pada ulama-ulama yang sangat dikagumi keluasan ilmunya.
Jika keterangan seorang guru mengenai suatu perbuatan dalam agama meragukan kita, maka hendaknya kita perlu menanyakan pada guru yang lain. Bila tidak puas dengan sebuah buku, maka sangat dianjurkan untuk membaca buku lain sampai kita memperoleh jawaban yang benar dan lebih baik tentang masalah yang kita perlukan jawabannya. Allah SWT memberikan dorongan belajar dan melarang hamba-Nya memelihara status quo atas kebodohan dan kejahilan dalam agama: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya”. (QS. al-Isra’ (17): 36).
Oleh karena itu, kita diperintah untuk menjadi muttabi’ (mengikuti sesuatu setelah memahami dalil dan keterangan yang benar), bukan menjadi muqallid (mengikuti secara bodoh tanpa memahami hakikat dan kebenaran dari ilmu yang diterima). Ibarat penumpang kereta api, walaupun kita dibawa oleh lokomotif dan gerbong ke arah mana yang diinginkan oleh masinis, tetapi kita mengetahui dimana kita akan turun. Jangan seperti kuda delman yang diperintah berlari tetapi kuda itu sendiri tidak mengerti kemana dia harus berlari.
Ketiga, pengajaran Islam yang baik dan sesuai dengan dorongan al-Qur’an dan Sunnah, menghendaki agar manusia menyampaikan pengajaran agama secara terbuka. Maksudnya, seorang guru harus ikhlas dan jujur dalam menjelaskan agama Islam tanpa bermaksud untuk menutupi kebenaran yang ada didalamnya dengan berbagai alasan apapun.
Jadi, ada proses dan interaksi belajar mengajar dalam suasana yang hurriyatul fikri (bebas mengemukakan pendapat) sepanjang pendapat yang dikemukakan tidak bertentangan dengan hukum Allah SWT. Dan murid yang baik sesungguhnya bukanlah murid yang menerima begitu saja pengajaran gurunya, tetapi dia mampu menelaah dan melakukan uji banding pada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya atas apa yang diajarkan oleh gurunya.
Pengajaran agama yang diperoleh melalui dialog, perbincangan maupun diskusi, mengantarkan seseorang pada pemahaman keagamaan yang lebih baik dibandingkan dengan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui ceramah atau majelis ta’lim biasa atau mengaji kitab di pesantren yang lebih banyak murid diam mendengarkan dan adanya unsur “paksaan” untuk tidak menentang guru.
Pengajaran agama dengan banyak guru akan mampu memunculkan sikap ilmiah pada diri seseorang sehingga dia memahami mengapa harus menjalankan perintah dan meninggalkan larangan Allah. Sedangkan mereka yang mendapat pengajaran agama hanya dari ceramah atau majelis ta’lim biasa, lebih didorong oleh rasa kepuasan batin sebagai parameter keberagamaannya tanpa mempersoalkan apakah yang disampaikan oleh gurunya benar-benar dari Allah dan Rasul-Nya atau dari kejahilan sang guru tersebut. Pengajaran agama yang disampaikan secara tertutup, memasung akal sehat, melakukan doktrin, walaupun memuaskan rohani, maka yang terjadi adalah penggiringan manusia ke tempat terendah dalam pengetahuan dan pengamalan agamanya.
Dalam hadits, banyak dijumpai bagaimana sahabat menerima pelajaran agama setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam., menerangkan dengan baik. Sering pula mereka bertanya jika mereka tidak memahami keterangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalam riwayat Bukhari, pernah seorang Arab Badui datang memasuki majelis beliau shallallahu ‘alaihi wasallam., dan bertanya tentang hari kiamat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam., menjelaskan bahwa kiamat (kehancuran) akan terjadi bila amanat disia-siakan.
Lalu laki-laki itu bertanya lagi kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam., “Wa kaifa idha’atuha ya Rasulullah?” (Apa maksud menyia-nyiakan amanat itu ya Rasulullah?). Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam., menjawab, “Idzaa wussidal amru ilaa ghairi ahlihi fantazhiris sa’ah” (Apabila diserahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya).
Sebagai khatimah, perlu direnungkan firman Allah dalam QS. al-Anbiya (21): 7, yang maksudnya adalah menegaskan agar kita bertanya kepada orang yang berilmu (ahli) tentang sesuatu jika kita tidak mengetahui hal tersebut.
Berhati-hatilah dalam memilih guru tempat bertanya. Sebab, tidak semua guru tahu masalah agama. Tidak semua ustadz atau kiyai yang dikagumi mengerti dengan disiplin ilmu agama yang diperlukan untuk menjelaskan berbagai persoalan agama.
Kita juga sebagai orang yang belajar, jangan ikut latah menghukumi sesuatu dalam agama, sementara ilmu terbatas dan tidak semua kita memahami al-Qur’an sebaik mufassirin.
Kekaguman terhadap seorang guru, apalagi sampai pada tingkat mengkultuskannya, sama saja dengan kita menjebak diri sendiri ke dalam jurang kesesatan dan kejahilan. Akhirnya, kita hanya menjadi orang yang selalu hidup menyesal dunia dan akhirat. Na’udzubillahi min dzalik.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
Penulis merupakan Dosen Universitas Malikkusaleh Lhokseumawe dan Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Langsa.