Oleh : Novri Investigasi
Gemarnews.com, Opini - Untuk apa kau bersumpah
Bila mengotori bibirmu
Seandainya dunia ini ada pengadilan sumpah. Hanya engkau yang akan kutuntut. Atas kemunafikanmu pada sumpahmu. Sebait lagu dangdut itu, bermakna sumpah yang teringkari atas janji janji palsu. Walau bersumpah atas nama Tuhan, masih teringkari demi mengejar ambisi.
Sumpah itu, janji yang harus ditepati. Sumpah juga bermakna suatu kesanggupan untuk mentaati keharusan atau untuk tidak melakukan larangan yang ditentukan, yang diikrarkan dihadapan atasan yang berwenang menurut agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Jadi, sumpah itu, hakekatnya bukan saja merupakan suatu kesanggupan terhadap atasan atas nama Tuhan. Tapi, bersumpah melaksanakan amanah yang diberikan. Namun, sekarang ini sumpah jadi permainan bibir. Lain dibibir lain dihati. Meski, sudah bersumpah berdasarkan agama dan keyakinan. Sumpah selesai, permainan dimulai. Sumpah tinggal sumpah, kalah oleh nafsu serakah.
Lain dengan Sumpah Pemuda. Sumpah sakralnya para Pemuda. Sumpah Pemuda, janji para pemuda yang diucapkan saat Kongres Pemuda 2 di Jakarta 28 Oktober 1928. Sumpah ini, adanya kesadaran untuk bersatu melawan penjajah. Sumpah itu melahirkan suatu tekat." Satu Tanah Air, Satu Bangsa, Satu Bahasa.
Janji dalam Sumpah Pemuda itu, bertujuan untuk membangkitkan semangat Indonesia, terutama para pemuda untuk menegaskan Kemerdekaan Republik Indonesia. Sumpah Pemuda membakar semangat para pemuda untuk menyatukan bangsa. Darah bertumpah, air mata berlinang mengiringi sumpah para pemuda.
Namun, Sumpah Pemuda itu, tak dipedomani oleh wakil rakyat dan para pejabat. Meski saat dilantik, mereka bersumpah berdasarkan agama dan keyakinan. Sumpah mengiringi amanah yang diberikan kepada mereka untuk dijalankan dengan baik. Tapi, apa yang terjadi, terjadilah. Sumpah terlupakan, amanah disalahgunakan. Banyak yang salah jalan.
Akibat sumpah teringkari, termakan sumpah sendiri. Banyak yang terlibat kasus korupsi, berujung masuk bui. Baru menyesali diri, ingat anak istri. Tapi, bubur tak bisa lagi jadi nasi. Pertanggungjawababkan sumpah teringkari. Tak perlu disesali, semuanya sudah terjadi. Penulis tak mau memperpanjang lagi. Tulisan sampai disini. Saya mohon diri.