Oleh: Dun Pinim
Anggota KOMPAKK
GEMARNEWS.COM, OPINI - Keluwat atau lebih popular disebut Kluet adalah sebuah suku yang mendiami sebagian wilayah Aceh Selatan. Keluwat memiliki kebudayaannya sendiri yang membuat mereka tampak berbeda dengan suku-suku di sekitarnya, dan keluwat juga memiliki sejarah panjang yang di tulis dengan bayang-bayang. Walaupun hanya bayang-bayang saja kami tetap mensyukurinya, ya paling tidak adalah secuil harapan dan seutas jembatan penghubung antara masa kini dan masa lalu Keluwat.
Adat istiadat keluwat jelas berbeda dengan suku sekitar baik dari segi budaya,bahasa, pun tariannya juga berbeda yang menjadikan perbedaan Keluwat itu sangat kentara dari suku tetangga, namun jika kita melihat Keluwat dari sudut pandang sejarah lain lagi ceritanya. Dikisahkan dalam buku Kluet Dalam Bayang-Bayang Sejarah, sejarah Keluwat sudah dimulai dari satu abad sebelum masehi yang ditandai dengan adanya kerajaan Bangko.
Hilang Timbul Dalam Bayangan
Kerajaan Laut Bangko runtuh diterjang tsunami, baru kemudian awal abad ke-13 datang Imam Gerdung mengembangkan pengaruhya di Peparik, dan pada abad yang sama datang Rajo Enggang mendiami wilyah di Tandrung atau Kuto Indarung. Kemudian abad ke-15 berdiri Kejrun Keluwat yang dipimpin oleh Teku Chik Kilat Fajar di Kampung Teruh atau Durian Kawan yang kemudian pindah ke Pulo Kambing. Kerajaan ini diklaim menguasai wilayah yang cukup luas dari Samadua hingga pinggiran Trumon, Kejrun Keluwat bertahan cukup lama sampai masa penjajahan Belanda, baru pada masa pendudukan Jepang Kejrun Keluwat dilebur, begitulah yang kami baca dalam bayang-bayang sejarah.
Sejarah yang panjang bagi peradaban besar nan megah di masa lampau, walaupun hanya bayang-bayang. Kalau kata orang sejarah Keluwat ini sangat sukar untuk kita buktikan secara historis, kami sebagai pemuda yang bangga terlahir di tanah Keluwat pun sontak tidak terima dengan pernyataan itu, hingga kami mulai menyadari beberapa hal, mulai dari tidak adanya peninggalan istana, tidak ada benteng kerajaan, batu nisan rajanya pun hanya sebuah batu kali biasa, apalagi berbicara peninggalan tulisan juga hampir tidak bisa kita jumpai. Setelah merenung sejenak lantas kami bertanta-tanya, apa iya ada kerajaan tanpa istana?
Kemudian beberapa hari yang lalu kami membaca kisah kepahlawanan Panglimo Rajo Lelo, yang berhasil membunuh Kapten Je Paris yang bergelar singa Afrika, dalam hati kecil kami berguman betapa hebatnya leluhur kami dapat membunuh singga Afrika. Namun rasa bangga tadi seketika bercampur dengan rasa kecewa dengan sebuah fakta yang baru kami ketahui setelah di satu waktu kami berdiskusi dengan mahasiswa sejarah tahap akir tentang sejarah Keluwat, betapa terkejutnya kami ketika mendengar ternyata dalam lapaoran gubernur Belanda bahwa Panglimo Rajo Lelo ini dikatakan kaki tangan Teku Cut Ali, bahkan tertulis disitu “Panglimo Rajo Lelo, Sapik, Bakongan”. Padahal sudah jelas-jelas desa Sapik terletak di tanah Keluwat. Pada awalnya kami berharap laporan Belanda itu akan memberitakan tentang betapa heroiknya putra Keluwat, namun berjuta sayang jauh panggang dari api ternyata di dalam laporan itu bahkan tidak tersebut nama Keluwat.
Kemudian kami berpikir lagi bukankah dalam buku Kluet Dalam Bayang-Bayang Sejarah, Bakongan itu masuk dalam wilayah kejrun Kluet? Jika demikian bukankah seharusnya tertulis dalam laporan itu “Bakongan Keluwat” bukan malah sebaliknya, memanglah sejarah Keluwat ini hanya bisa kita nikmati dalam bayang-bayang saja. Begitulah kira-kira ejekan dari beberapa teman-teman.
Tongkrongan Lintas Suku
Karena pusing dengan sejarah yang tak pasti, kalau kata tetuo Keluwat “sejarah Keluwat no totarik nangkih punge diteruh”, yang kurang lebih artinya tidak berkesudahan. Kami ingin sedikit bercerita, suatu hari ketika nongkrong di warung kopi bersama teman-teman lintas suku mereka menceritakan banyak hal tentang suku mereka masing-masing mulai dari makanan khas, baju khas adat hingga buah tangan khas dari daerahnya berasal, kami hanya bisa tertegun mendenar mereka bercerita, lantas tak ayal satu dari mereka bertanya “kalau suatu hari kami ke daerahmu apa yang bisa kami bawa pulang sebagai buah tangan?” dan sudah dipastikan kami tertegun cirom ringis taktau harus menjawab apa, supaya jangan kelewat malu kami pun berdalih tanah kami bukan tempat wisata, hehehe.
Kemudian yang lain nyocor berkata, “setiap suku biasanya punya warna dan motif tertentu, jadi penasaran bagaimana warna dan motif suku Keluwat”, kamipun terdiam sejenak kemudian menjawab, pakaian kami serba hitam, lalu mereka menjawab,”loh kalau hitam bukan cuma kalian, bahkan rata-rata suku pedalaman mengenakan warna tersebut”, dan kamipun kembali tersudutkan dan persis seperti kata orang Keluwat cirom paksoan.
Kemudian seorang dari mereka ternyata pernah membaca buku Kluet dalam Bayang-Bayang Sejarah walaupun cuman sekilas, dia mengajukan pertanyaan kira-kira seperti ini “oh iya, katanya di daerahmu pernah ada satu kerajaan yang besar ya, kira-kira bagaimana keadaan istana kerajaan tersebut saat ini?”, sontak tanpa berpikir panjang kami pun memperlihatkan foto rumah Rungko dan Rumah Maru, sambil berkata “kira-kira seperti inilah tempat tinggal raja-raja kami dahulu”, dengan spontan mereka menjawab “seperti Rumoh Atjeh ya”, dan kami kembali terdiam tidak bisa membantah.
Sepulang dari warung kopi tadi kami merenungkan kembali perbincangan tadi, kok bisa ya kami tidak mampu menceritakan tentang kelebihan Keluwat kepada mereka, bukankah Keluwat itu identitas kami?, atau mungkin Keluwat telah kehilangan identitasnya?
Identitas Baru
Identitas kebudayaan adalah suatu identitas yang lahir dari rasa cipta dan karsa manusia, para pendahulu kita telah menelurkan beragam kebudayaan yang kini dapat kita nikmati, menjadi tanya bagi kita semua, jika para pendahu tersebut mampu menelurkan beragam kebudayaan, mengapa hari-hari ini kita tidak melakukan sesuatu yang kelak hal tersebut akan dianggap sebagai suatu kebudayaan oleh mereka yang hidup dimasa depan. Leluhur kita telah mewariskan berbagai hal kepada kita dan hal tersebut kita rasa masih kurang, kami pikir sudahlah menjadi tugas kita untuk melengkapi kekurangan tersebut hingga nanti menjadi identitas baru bagi keluwat.
Sejarah yang menjadi bayangan tentu bukan hal yang menarik untuk dibanggakan, alangkah senang dan bahagianya jika Pemkab Aceh Selatan memberi perhatian lebih terhadap sejarah Keluwat dan mengungkap tabir bayang sejarah panjang. Mungkin itu hanya akan menjadi harapan sahaja jika tuan dan puan tidak menaruh perhatian lebih terhadap Keluwat. []