Oleh: Mutmainnah
Gemarnews.com, Opini - Aceh Documentary atau dikenal dengan sebutan Aceh Dokumenter merupakan komunitas edukatif yang baru-baru ini menyelenggarakan program Aceh Documentary Competition (ADC) 2021. Ini merupakan serangkaian kegiatan berupa pelatihan, produksi, dan kompetisi film dokumenter yang diprakarsai para anak muda Provinsi Aceh. Kompetisi tersebut diikutsertai masyarakat Aceh lintas usia dan profesi; dari pelajar, mahasiswa, dan juga masyarakat umum.
Agar mampu bersaing dalam program ADC, para peserta tidak hanya membutuhkan ide dan kemampuan dalam merangkai cerita, akan tetapi juga ketahanan fisik dan mental, manajemen emosional, kemampuan bekerja sama dalam tim, serta kesabaran serta kedewasaan dalam berproses. Minimal hal itu yang saya sadari selama menempuh proses kompetisi film dokumenter terhitung sejak media April hingga awal Juli 2021.
Awal mula saya dan teman-teman mahasiswa lainnya tergerak untuk mengikuti kompetisi film dokumenter ini berkat saran dan ajakan dari Ketua Program Studi Sosiologi UIN Ar-Raniry, Dr. Sehat Ihsan Shadiqin. Kompetisi yang diadakan oleh Yayasan Aceh Dokumenter tersebut mensyaratkan partisipasi dua orang peserta untuk setiap tim yang mengajukan diri. Setelah melakukan diskusi dan mencari ide menarik sesuai ketentuan, saya dan teman-teman pun mendaftar sebagai peserta lomba pembuatan film dokumenter tersebut.
Ide Cerita
Ide cerita film dokumenter yang tim saya ajukan berasal dari kisah nyata terkait kesulitan yang dialami para penyandang disabilitas dalam mengakses fasilitas ruang publik di kota Banda Aceh. Fasilitas ruang publik tersebut terdiri atas masjid, kantor, sekolah, kampus, objek wisata, pasar, dan lain sebagainya. Tentu saja fasilitas ruang publik yang belum ramah disabilitas tersebut menjadi kendala bagi mereka. Sesederhana tidak tersedianya fasilitas bidang miring beserta guarding block di masjid dan toilet umum bagi para pengguna kursi roda. Ruang publik yang tidak akses bagi disabilitas itulah menjadi titik fokus kami sebagai dasar ide dalam pembuatan film berjudul “Sebelah Mata”.
Bersama anggota tim, Wan Hajar Maulida, saya pun mengunjungi Elin Marlina. Dia merupakan seorang disablitas fisik (pengguna kursi roda) yang merangkap sebagai aktivis peyandang disabilitas yang aktif. Elin pun setuju ketika dimintai untuk menjadi subjek film dokumenter kami.
Berdiskusi bersama Elin sangatlah menyenangkan. Kami memperoleh banyak pengetahuan baru tentang pentingnya menghargai teman-teman disabilitas. Masih banyak penyandang disabilitas yang terdiskriminasi dan hak-hak mereka tidak dipenuhi. Diakui atau tidak, realitas kehidupan penyandang disabilitas masih sangat miris. Terutama terkait begitu banyaknya fasilitas di ruang publik yang tidak dapat diakses oleh mereka.
Pada dasarnya, fondasi film dokumenter adalah riset. Saya dan beberapa teman lainnya yang mendaftarkan diri sebagai peserta lomba melakukan diskusi dan penelitian terhadap ide cerita film yang kami ajukan di basecamp LABPSA. Beruntung, di tengah kebingungan menyusun ide cerita film, kami terus saja mendapatkan dukungan dan arahan dari para dosen.
Alhamdulillah, tepat tanggal 25 April 2021, saya dan teman-teman LABPSA masuk dalam daftar 9 tim yang lolos ke tahap basic training. Kami sangat senang karena kerja keras yang kami lakukan membuahkan hasil. Sayangnya, karena suatu kendala, teman satu tim dan seperjuangan saya terpaksa berhenti. Namun, kendala tersebut tidak menjadikan saya patah arang. Dengan tekad kuat, saya pun mencari penggatinya. Beruntung, Nurul Aini yang akrab disapa Ai menyambut hangat ajakan saya untuk melanjutkan perjuangan pembuatan film dokumenter tersebut.
Selama menempuh proses basic training ADC, terhitung sejak 26 April-01 Mei 2021, saya dan para peserta mendapat kesempatan belajar langsung bersama para pakar perfilman; Jamaluddin Phonna, Azhari Meugit, Faisal Ilyas, dan Ahox Nugroho. Selama pelatihan, kami juga diajak nonton bareng (nobar) beragam film dokumenter karya sineas muda Aceh. Saat itulah saya menyadari betapa luar biasanya ide-ide yang dicetuskan oleh para anak muda Aceh. Acara tersebut membangkitkan semangat saya untuk mewujudkan ide cerita yang kami ajukan menjadi film dokumenter yang nyata.
Susah-senang harus dilalui oleh para peserta kompetisi selama sepekan. Walau sudah memperoleh ilmu terkait pembuatan film, tetapi pascapelatihan para peserta tetap kembali diwajibkan untuk berkutat dalam penelitian terkait ide cerita film yang diajukan dalam kurun waktu satu bulan. Riset dalam proses pembuatan film dokumenter sangatlah diperlukan agar hasil tanyangan film nantinya layak dan nyaman dikonsumsi para penonton.
Sineas Muda
Riset film bagi tim “Sebelah Mata” menjadi ajang ulang kaji. Kami pun memutuskan untuk mencari penambahan narasumber guna memperkaya sudut pandang film. Melalui Vena Besta, sutradara dan subjek film dokumenter MINOR yang juga menjadi supervisi tim film dokumenter, kami dihubungkan dengan Syifa Urrachmah. Syifa adalah seorang disabilitas penglihatan yang berprofesi sebagai guru di SDLB Ateuk Pahlawan, Peuniti. Syifa menyambut hangat pemintaan untuk menjadikannya salah satu subjek film yang kami prakarsa.
Memang benar bahwa membuat film tak selalu seenak menontonnya. Pada Kamis, 3 Juni 2021, saya dan Ai mengalami kecelakaan di Simpang Surabaya, Banda Aceh. Padahal hari itu kami harus mempresentasikan hasil riset dan rancangan film di hadapan para juri ADC. Sedih, kacau, tapi saya berusaha tenang dan mencari solusi paling masuk akal. Pada akhirnya, kepasrahan, doa, dan tekad berhasil membawa tim kami sebagai finalis kompetisi ADC 2021. Kami kaget sekaligus bersyukur.
Hanya tersisa empat tim di babak final. Pada tahapan ini, para peserta diberi tambahan ilmu terkait tata cara shooting dan editing film. Disebabkan beragam tekanan dan kendala selama proses pembuatan film, sempat terbersit pikir untuk menyerah. Namun saat mengenang panjangnya rentetan perjuangan tim kami selama ini, saya dan Ai pun memilih bertahan.
Kelanjutan proses pembuatan film dokumenter dirangkum dalam program inhouse training yang berlangsung di kantor Aceh Documenter, Banda Aceh, sejak tanggal 4 Juni-2 Juli 2021. Pada tahapan ini, pengkajian riset masih berlangsung. Aktivitas seperti membaca buku, melakukan ulang kaji materi, dan berdiskusi menjadi wajib dilakukan oleh para finalis. Sehingga, selama menempuh program tersebut, saya semakin terlatih menjadi pribadi yang tidak mudah berputus asa, bersemangat dalam mengatasi masalah, dan terus berusaha.
Sejatinya, film dokumenter menjadi media menarik untuk menyampaikan ide cerita dari berbagai kejadian faktual. Kehadiran ADC menjadi jembatan bagi kawulan muda untuk mengenal dunia film dokumenter lebih dalam. Agar tidak ketinggalan informasi terkini terkait pemutaran, pelatihan, dan kompetisi film dokumenter di Provinsi Aceh, pembaca dapat mengikuti akun media sosial Aceh Documentary di @acehdoc .[]
Mutmainnah, Mahasiswi Prodi Sosiologi Agama UIN Ar-Raniry dan Alumni ADC 2021, melaporkan dari Banda Aceh. [mutma825@gmail.com]