Oleh : M. Rafli Althoriq Mustafa
Penulis buku ‘Transportasi Si Pembunuh Yang Terlupakan
Gemarnews.com, Opini - Status darurat kesehatan di Indonesia akibat pandemi Covid-19 tertuang dalam
Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020. Covid-19 merupakan sebuah pandemi yang tak
usai hingga kini. Wabah ini sudah mengakibatkan sejumlah perubahan besar dalam berbagai
sektor. Banyak sektor di lini kehidupan masyarakat yang turut terimbas, salah satunya adalah
dunia pendidikan. Segenap siswa, pendidik, dan tenaga kependidikan terpaksa harus bekerja
dan belajar dari rumah masing-masing guna menimalisir transmisi virus Covid-19 tersebut.
Sekolah-sekolah harus terpaksa ditutup dari kegiatan belajar mengajar.
Dunia pendidikan Indonesia siap tidak siap harus beradaptasi dengan model pendidikan
yang baru. Kegiatan belajar siswa mulai dari jenjang SD, SMP maupun SMA/SMK dilakukan
secara daring atau dikenal dengan istilah BDR (Belajar Dari Rumah). Namun, banyak dari
siswa maupun pendidik yang mengeluh dengan model pembelajaran baru yang diterapkan.
KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) secara daring tidak hanya menghambat proses
pembelajaran, tetapi juga mempengaruhi psikologis siswa. Para siswa merasa jenuh hingga
akhirnya banyak yang memutuskan untuk tidak sekolah lagi.
Direktur Jenderal Pendidikan
Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Dirjen PAUD Dasmen)
Kemendikbudristek, Jumeri mencatat, angka putus sekolah selama pandemi Covid-19
mencapai 1,12 persen atau naik hingga 10 kali lipat.
Berbagai upaya dilakukan dalam rangka mengatasi dampak pandemi Covid-19
khususnya bagi dunia pendidikan.
Mulai dari peraturan hingga anggaran yang besar telah digelontorkan demi menghadapi dan mengatasi dampak akibat pandemi Covid-19. Salah
satunya adalah program vaksinasi massal bagi seluruh masyarakat Indonesia. Bahkan program
ini juga diharuskan bagi siswa, pendidik, dan tenaga kependidikan di setiap sekolah agar
melaksanakan vaksinasi sebagai syarat masuk sekolah dan diberlakukannya pembelajaran tatap
muka.
Namun, dalam perjalananya program ini banyak sekali memunculkan polemik baru
dimana mayoritas orang tua yang tidak setuju akan kewajiban vaksinasi bagi anaknya.
Ditemukannya kasus lumpuh bahkan meninggal dunia akibat vaksin, hingga terdapat sekolah
yang melepas tanggung jawab akibat efek samping vaksin bagi siswanya melalui surat.
pernyataan menambah polemik dan keresahan baru bagi masyarakat. Padahal, disisi lain
pemerintah telah mengklaim bertanggung jawab penuh terhadap pengaruh negatif yang timbul
setelah dilakukan vaksinasi. Seharusnya sekolah hadir memberi rasa aman dan yakin kepada
orang tua agar anak mereka mau divaksin, bukan malah membuat surat pernyataan jika terjadi
sesuatu maka sekolah tidak bertanggung jawab.
Lantas bagaimana dengan aturan sekolah yang mewajibkan siswanya untuk melakukan
vaksinasi sebagai syarat mereka diperbolehkan belajar tatap muka di sekolah? Apakah aturan
kewajiban tersebut berdasar? Dan bagaimana dengan orang tua yang keberatan kalau anak nya
yang masih usia dini untuk divaksin, apakah akan dilarang untuk belajar tatap muka di sekolah?
Untuk itu kiranya topik ini menjadi suatu hal yang menarik untuk kita kaji bersama terkait
dengan kewajiban vaksinasi bagi anak sebagai syarat masuk sekolah tatap muka.
Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi telah menegaskan bahwa
vaksinasi untuk anak bukan menjadi syarat sekolah melaksanakan pembelajaran tatap muka.
"Vaksinasi tidak kita persyaratkan sebagai syarat pembukaan pembelajaran tatap muka. Tapi
vaksinasi mendukung, mendorong keamanan, keselamatan kita agar bisa melaksanakan
pembelajaran dengan baik," kata Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen),
Jumeri. Jelas bahwa program vaksinasi anak digencarkan sebagai upaya menjamin
keselamatan serta perlindungan anak dari paparan virus Covid-19.
Bukan sebagai syarat mutlak
agar anak dapat mengikuti pembelajaran tatap muka di sekolah. Upaya vaksinasi anak
seharusnya didorong dengan dilakukannya sosialisasi-sosialisasi secara masif terhadap anak
maupun orang tua. Pendekatan persuasiflah yang harus dikuatkan sehingga orang tua dan anak
mau divaksin atas dasar kesadaran dan keyakinannya sendiri, bukan karena paksaan.
Sekolah tidak seharusnya mewajibkan siswa untuk melaksanakan vaksinasi sebagai
syarat masuk sekolah dengan pembelajaran tatap muka. Terlebih lagi kalau ada perlakuan
diskriminasi sekolah terhadap siswa yang menolak untuk divaksin. Tugas sekolah adalah
meyakinkan siswa agar secara sukarela mau divaksin sehingga pembelajaran tatap muka dapat
berjalan lancar. Tetapi tidak dengan mewajibkan vaksin bagi siswa. Hal tersebut menunjukkan
seolah-olah sekolah tidak mampu menyadarkan siswa agar mau divaksin. Program vaksin bagi
anak itu baik, namun mewajibkan nya sebagai salah satu syarat tertentu bukanlah suatu hal
yang tepat.
Mewajibkan vaksinasi bagi seseorang khususnya anak dapat dikatakan sebagai
pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia). Vaksinasi memang penting sebagai upaya
meningkatkan kekebalan tubuh manusia, namun vaksin bukan menjadi satu-satunya cara untuk
menghentikan transmisi virus Covid-19. Organisasi kesehatan dunia atau WHO telah.
mengatakan bahwa vaksinasi tidak diwajibkan bagi seluruh populasi, bahkan negara seperti
AS dan Perancis tidak mewajibkan vaksin Covid-19 bagi masyarakatnya.
Anak maupun orang tua memiliki hak dalam hal perlindungan dan kesehatan pribadi.
Sehingga, adanya peraturan sekolah yang mewajibkan siswa untuk vaksin sebagai syarat
pembelajaran tatap muka di sekolah merupakatan tindakan pelanggaran hak seseorang. Adanya
sanksi terhadap masyarakat yang menolak vaksinasi merupakan suatu pelanggaran hak karena
notabene nya masih banyak cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kekebalan tubuh
seseorang. Selain itu, ditambah dengan ditemukannya kasus – kasus efek dari vaksin itu sendiri
membuat banyak masyarakat yang meragukan apalagi kalau harus disuntikkan ke anak-anak
mereka.
Disini lah peran sekolah untuk meyakinkan siswa maupun orang tua agar tidak takut
divaksin, tetapi tidak harus mewajibkan vaksinasi bagi siswa sebagai syarat masuk sekolah
tatap muka. Karena bersekolah secara langsung (tatap muka) merupakan hak seorang siswa
yang harus dihormati. Mewajibkan vaksinasi bagi anak sebagai syarat pembelajaran tatap muka
justru dapat menghilangkan legitimasi sekolah, dan peraturan yang dibuat dinilai
mengesampingkan hak-hak yang harus diterima siswa.
Program vaksinasi bagi anak itu sangat baik, bahkan kita semua harus bersinergi
mensukseskan program vaksinasi anak. Namun, mewajibkan anak untuk vaksin apalagi
dijadikan sebagai syarat agar anak dapat mengikuti pembelajaran tatap muka disekolah jelas
merupakan tindakan yang tidak tepat. Vaksinasi Covid-19 bagi anak hendaknya dilakukan
secara sukarela atas dasar kesadaran dan keyakinan si anak maupun orang tua. Tidak dilakukan
dengan cara pemaksaan serta sanksi yang dapat menghilangkan hak – hak anak. (*)