Oleh: Fathayatul Husna
Gemarnews.com, Tanggal 3 Desember menjadi hari peringatan penting bagi manusia di muka bumi, khususnya bagi penyandang disabilitas. Menjadi bagian penyandang disabilitas memang bukan hal yang diinginkan, namun pada tanggal ini menjadi momentum bagi para penyandang disibilitas untuk kembali merefleksikan pemenuhan hak yang telah mereka alami. Ketua Himpunan Wanita Penyandang Disabilitas Indonesia (HWDI), Maulani, menyatakan bahwa mereka adalah bagian dari manusia normal dan segala kebutuhannya sama seperti manusia normal, namun ruang gerak mereka terbatas dan terhambat (Purnamawati, 2018). Berangkat dari pernyataan ini, sederhananya setiap manusia mengerti, bahwa mereka ingin berpartisipasi, tetapi sedikit terhambat. Berkaca dari pernyataan ini, Sang Maha Pencipta yang menciptakan dan pasti ada nilai kebaikan yang tengah diajarkan kepada seluruh manusia, salah satunya yang terpenting adalah bagaimana sesama manusia saling mempraktekkan toleransi.
Berbicara tentang toleransi, terkadang hanya terbatas dan hanya dalam lingkaran persoalan agama. Padahal, jauh sebelum isu agama dibincangkan, sikap toleransi erat kaitannya dengan persoalan kemanusiaan. Dalam bahasa Latin, toleransi berasal dari kata “tolerare” yang artinya sabar dan menahan diri. Sedangkan secara terminologi dimaknai sebagai sikap saling menghormati, menghargai terhadap perbedaan yang dialami orang lain. Artinya, setiap manusia dibutuhkan sikap untuk dapat menahan diri dan sabar atas hal-hal yang terjadi di luar keinginannya atau tidak sejalan dengannya (Azizah, 2020). Misalnya, seseorang yang memiliki perbedaan pandangan tentang Islam, seharusnya tidak disikapi dengan kekerasan atau meremehkan, tetapi diperlukan duduk bersama dan saling bertukar pendapat. Di sisi lain, misalnya perbedaan antara kita dengan penyandang disabilitas, seharusnya berjalan sesuai koridor toleransi yaitu tidak meremehkan mereka dan tetap menghormatinya. Sehingga, makna toleransi sejatinya sangat luas dan tidak hanya menyangkut soal agama, tetapi juga soal bersikap sebagai manusia.
Tentang disabilitas, masih banyak dari kita mengabaikan dan bersikap acuh pada mereka yang menyandang disabilitas. Sikap kita sebagai manusia masih perlu dipertanyakan, sudahkah kita menjadi “manusia”? Tidak sedikit berita di media cetak, media massa dan online memberitakan aksi perundungan atau dikenal dengan istilah bullying terhadap para penyandang disabilitas. Aksi perundungan ini tidak hanya berdampak buruk pada penyandang disabilitas, tetapi juga berakibat pada lingkungan sosial. Aksi perundungan, menurut Prihma Sinta Utami, adalah perilaku agresif yang dilakukan dengan beragam cara, seperti perundungan fisik, perundungan verbal, perundungan relasi sosial, dan perundungan elektronik (Pulih, 2020). Tidak hanya dialami oleh non-disabilitas, praktik perundungan ini sering sekali ditujukan kepada penyandang disabilitas. Mereka dianggap berbeda dan dianggap tidak dapat melakukan banyak hal.
Aksi perundungan sejatinya mendapatkan pertentangan dari sejumlah kalangan. Aksi perundungan ini akan sangat mengganggu mental seseorang. Misalnya, di lingkungan tempat tinggal saya, berlokasi di Aceh Utara, aksi perundungan kerap terjadi. Seseorang yang menyandang disabilitas tuna daksa sering dipanggil dengan sebutan “cacat”. Walaupun cara penyampaiannya terkesan lucu dan terkesan bercanda, tanpa disadari perkataan ini telah meremehkan seorang difabel. Tidak hanya itu, pengidap disabilitas sering diabaikan keberadaannya saat berada dalam kerumunan orang banyak. Saya pernah melihat seorang difabel pengidap tuna rungu dan tunawicara mencari pekerjaan untuk melangsungkan hidupnya. Karena keterbatasannya, ia terpaksa berhenti sekolah dan belum mampu untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB). Ia mendapat pekerjaan sebagai buruh bangunan di perkampungan warga. Memang, para buruh lainnya memperlakukan ia sangat baik, tetapi dari segi penuturan atau sikap bercanda yang dilontarkan sangat meremehkan kehadiran difabel ini. Hal ini tentunya, secara langsung telah mempraktekkan aksi perundungan, meskipun kesannya disampaikan dengan nada bercanda.
Contoh kondisi di atas menggambarkan situasi yang sangat merugikan rekan disabilitas. Menyebut mereka dengan istilah “cacat” atau sejenisnya tentu tidak sejalan dengan apa yang mereka inginkan. Tindakan ini juga bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya mengenai sila ke-2 yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, serta sila ke-5 yang berbunyi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Berkaca pada kedua sila ini sudah semestinya warga Indonesia menerapkan perilaku yang baik dan mengedepankan toleransi dengan cara memanusiakan manusia yang lain sebaik mungkin. Sederhananya, berusaha untuk memperlakukan orang lain selayaknya sebagai “saya” yang lain. Dengan demikian, kita sejatinya tengah memperlakukan diri kita sebaik mungkin.
Sebagian penyandang disabilitas mungkin belum mengerti istilah bullying atau perundungan, namun mereka juga bisa merasakan antara praktek baik dan buruk yang ditujukan kepadanya. Penyandang disabilitas juga memilik perasaan, ia hanya terbatas dalam kondisi tertentu. Dengan keterbatasan itu, tidak menjadi alasan untuk kita menjatuhkan harapan yang mereka bangun. Tidak ada yang berbeda, kita sama-sama hanya sebatas manusia.