Oleh : Nurul Aini Suid
Penulis merupakan mahasiswi Sosiologi Agama UIN Ar-Raniry Banda Aceh merupakan anak muda yang tergabung dalam komunitas LABPSA.
Gemarnews.com, Opini - Beberapa waktu lalu Aceh berturut-turut selama beberapa tahun terakhir mendapatkan predikat sebagai provinsi paling tidak toleran se Indonesia dari 34 provinsi. Hasil dari SETARA institute itu tentu tidak bisa diterima mentah-mentah oleh masyarakat Aceh khususnya. Kemenag yang menjabat saat itu Fakhrul Razi mengatakan bahwa Aceh sangat toleran, terbukti dari masyarakatnya yang sangat ramah dengan perbedaan, dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Namun demikian, yang jadi pertanyaannya mengapa Aceh mendapat peringkat tersebut? Jika memang dilapangan masyarakatnya sangat toleran? Apakah lembaga tersebut tidak “becus” membuat penelitian tersebut? Atau Aceh memang tidak toleran?, pertanyaan tersebut terus berkecamuk di pikiran penulis khususnya sebagai masyarakat Aceh.
Sebelumnya, teman-teman dari agama Kristen atau agama lainnya, saat ditanyakan bahwa apakah Aceh toleran atau tidak, jawaban mereka sangat tidak konsisten, hari ini mengatakan Aceh toleran, namun dihari yang lain mereka mengatakan intoleran, atau saat duduk dengan sesama teman Kristen nya mereka mengatakan Aceh tidak toleran, tidak nyaman, tapi saat duduk dengan teman yang ada muslimnya misalnya, mereka mengatakan Aceh ini toleran, ada apa sebenarnya? Lagi-lagi pertanyaan-pertanyaan bermunculan.
Berbekal dari pertanyaan itu, penulis bersama satu rekan lainnya yang tergabung dalam komunitas LABPSA yang merupakan komunitas yang didalamnya tergabung anak-anak muda lintas agama yang tertarik dengan isu toleran yang juga punya pertanyaan yang sama, menemui salah satu tokoh Budha yang ahli di bidangnya di Peunayong Banda Aceh, yang enggan disebutkan namanya itu. Saat ditanya, tentang toleran beliau mengawali dengan bercerita “bahwa sejak zaman kerajaan pun di Aceh masyarakatnya sudah multikultural, khususnya di Peunayong.
Dalam menjalani roda kehidupan, pada dasarnya, masyarakat Aceh ini cukup untuk dikatakan toleran, secara umumnya seperti itu. Namun memang ada beberapa peraturan pemerintah seperti qanun, yang membuat ruang gerak masyarakat yang selain Islam ini terbatas, terbatas dalam artian yang umum. Nah, hasil penelitian yang mengatakan bahwa Aceh tidak toleran itu menurut saya tidak 100% benar, dan juga tidak 100% salah. Dalam artian hasil penelitian itu bisa dikatakan benar 50% dan salah 50%.
Melihat dalam konteks masyarakatnya memang sangat toleran, tidak ada kasus misalnya di Banda Aceh masyarakat muslim mengganggu ketentraman ibadah umat lainnya, ya betul masyarakat Aceh toleran, namun dalam konteks formalnya atau dalam konteks peraturan pemerintahnya Aceh ini tidak toleran. Misalnya tentang pendirian rumah ibadah non muslim, pengurusan untuk perizinannya sangat lama, bahkan sebenarnya ketika rumah ibadah ingin dibangun, ada konflik yang bermunculan”.
Dalam peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat (selanjutnya disebut PBM 2006), khususnya yang berkaitan dengan pendirian rumah ibadah.
Bahwa salah satu poinnya bahwa hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam hak apapun, bahwa Pemerintah mempunyai tugas untuk memberikan bimbingan dan pelayanan agar setiap penduduk dalam melaksanakan ajaran agamanya dapat berlangsung dengan rukun, lancar, dan tertib. Hal yang sama juga diatur dalam Qanun nomor 4 tahun 2016.
Namun demikian, yang menjadi variabel SETARA institut terdiri dari yakni regulasi pemerintah kota, yang meliputi rencana pembangunan dalam bentuk RPJMD dan produk hukum pendukung lainnya, dan kebijakan diskriminatif. Selanjutnya, tindakan pemerintah meliputi, pernyataan pejabat kunci tentang peristiwa intoleransi, dan tindakan nyata terkait peristiwa. Kemudian, regulasi sosial meliputi peristiwa intoleransi, dan dinamika masyarakat sipil terkait intoleransi. Terakhir, demografi agama, meliputi, heterogenitas keagamaan penduduk, dan inklusi sosial keagamaan.
Menurut hemat penulis, Aceh bisa dikatakan sebagai provinsi yang toleran secara masyarakatnya, dan tidak toleran secara formal peraturan pemerintahnya. Variabel yang digunakan oleh SETARA institut lebih menekankan kepada peraturan pemerintah, baik yang tertulis maupun tidak dan tidak melihat konteks masyarakat nya. Apapun itu menurut penulis konteks sosial dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, dan tidak ada sesuatu yang mutlak dan semua bersifat dinamis. Salam damai. (*)