Oleh : Nurul Aini
Penulis merupakan mahasiswi Sosiologi Agama UIN Ar-Raniry Banda Aceh, dan merupakan anak muda yang tergabung dalam komunitas LABPSA.
Gemarnews.com, Opini - LABPSA (Laboratorium Pengembangan Sosial Keagamaan) sebagai wadah Islam moderat berbasis anak muda dan media melakukan perjalanan ke Aceh Singkil untuk bertemu dengan gen LABPSA yang ada di sana.
Alasan yang pertama memang karena isu konflik tersebut dan yang kedua karena penulis penasaran bagaimana “bentuk” Aceh Singkil itu. Di sepanjang perjalanan, penulis bersama tim LABPSA melalui perjalanan dengan sangat-sangat monoton. Di Setiap jengkal tanah di Aceh Singkil dipenuhi oleh kebun sawit, pohon lain bahkan hampir tidak dibiarkan untuk hidup, penulis menyebutkannya seperti itu.
Namun, kebosanan penulis bersama tim tidak menyurutkan semangat kami untuk bertemu teman-teman kami, anak-anak muda, yang tertarik dan yang sangat antusias dengan isu keberagaman.
Sebagaimana yang kita tahu bahwa, Aceh Singkil merupakan daerah yang majemuk. Salah satu narasumber kami yang enggan disebutkan namanya menyebutkan bahwa” memang secara agama Aceh Singkil ini adalah mayoritas Islam, namun secara sukunya sangat beragam, ada suku Singkil, Pakpak, Aceh, Jamee dan lain-lain.
Menurutnya Aceh Singkil ini bisa dikatakan bagian dari Sumatera Utara dulunya, karena sangat dekat dengan Pakpak Barat, kenapa Aceh Singkil dulunya termasuk Aceh Selatan, karna administrasi nya lebih dekat ke Tapak Tuan. Tapi secara kebutuhan sandang pangan nya, masyarakat Aceh Singkil di penuhi kebutuhannya oleh provinsi tetangga”.
Terlepas dari itu semua, yang sudah terjadi di Aceh Singkil dan menjadi momok yang menakutkan ketika orang luar ingin berkunjung ke Aceh adalah karena pembakaran gereja yang dilakukan oleh oknum muslim. Lalu pernahkah kita bertanya, kenapa hal itu bisa terjadi? Apakah betul seperti apa yang diberitakan media? bahwa umat muslim itu seakan-akan jahat?. Jawaban penulis dapatkan dari tokoh yang ada di Aceh Singkil sendiri.
Teman-teman gen LABPSA yang ada di Aceh Singkil menyebutkan bahwa pembakaran gereja membuat mereka trauma. Ada Space yang terjadi antara pemuda lintas Iman, karena seperti ada dendam di beberapa personal antar umat beragama. Namun memang secara umumnya mereka mengakui bahwa secara sosialnya mereka baik-baik saja. Misalnya ketika umat Nasrani mengadakan pesta atau kenduri, maka masyarakat muslim saling membantu, dan masyarakat Nasrani dengan penuh kesadaran menyediakan makanan halal untuk saudara muslim.
Lalu, apa yang membuat mereka trauma?, sebagaimana yang kita tahu bahwa gereja di Singkil di bakar oleh oknum, izinnya pembangunan gereja tidak ada, mereka menganggap jika tidak ada izin, maka ilegal, dan mereka selalu was-was ketika beribadah. Itu sangat tidak nyaman, dan menjadikan trauma yang mendalam.
Sekolah dan Pendidikan agama?
Menyambung tulisan saya sebelumnya tentang Aceh (In)toleran?, melihat bagaimana toleransi di Aceh, yang menurut penulis toleransi nya “setengah-setengah” dalam artian secara sosial nya bagus, tapi secara peraturan pemerintahnya tidak. Nah, dalam konteks yang lebih kecil penulis ingin melihat bagaimana toleransi di Aceh Singkil. Tulisan ini penulis awali dengan melirik peraturan pemerintah RI nomor 5 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Dalam pasal 3 disebutkan Setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama.
Kenapa intoleransi di dunia pendidikan terus saja terjadi? ternyata hidup sebagai muslim di tanah syariah ini, penulis sangat-sangat bersyukur. Mengapa tidak, sebagai mayoritas kita bisa belajar dengan bebas, menghirup ilmu-ilmu pengetahuan di semua sudut kehidupan. Lalu teman-teman minoritas bagaimana? #cerita Singkil, penulis bersama rekan menemukan satu fakta yang memprihatinkan, yang mungkin ini sangat tidak adil. Mengapa harus? padahal dalam Undang-undang sudah diatur bahwa semua orang, tidak peduli dari latar belakang apa, punya hak yang sama untuk mengakses pendidikan.
Bagimana bisa? ketika teman-teman muslim belajar agama dengan pendidikan agama Islamnya, teman-teman non muslim di suruh untuk keluar dari kelas, untuk membersihkan sampah atau hal-hal lainnya. Bagi penulis itu sangat tidak adil, di ruang yang sama, di atap yang sama, mereka tidak mendapat pendidikan agama sebagaimana teman-teman muslim.
Dalam konteks ini penulis tidak paham apakah aturan di sekolah memang seperti itu? Atau kurikulum pendidikan nya, atau sosial di sekolah nya?. Jawabannya penulis serahkan ke pembaca. Hal ini juga sesuai dengan apa yang diberitakan bahwa diskriminasi di dunia pendidikan, sering sekali terjadi. Misalnya guru yang rasis, memaksa siswa nya memakai jilbab, melarang siswa memilih osis dari siswa yang non muslim, dan beberapa kasus lain. (*)