Oleh : Nurul Aini
Penulis merupakan mahasiswi Sosiologi Agama UIN Ar-Raniry Banda Aceh, dan merupakan anak muda yang tergabung dalam komunitas LABPSA
Gemarnews.com, Opini - Sebagaimana yang kita tahu bahwa LABPSA akan selalu peka terhadap isu-isu yang ada di dalam masyarakat. Isu yang dikemas dalam media sosial saat ini adalah isu toleransi. Penulis bersama beberapa rekan lainnya mempunyai sebuah ide untuk membuat video tentang keberagaman rumah ibadah dan masyarakat toleransi yang ada di Aceh tepatnya di kota Banda Aceh.
Tulisan ini tidak bermaksud menyudutkan agama apapun, hanya untuk menambah cakrawala pembaca dalam melihat kedamaian di Aceh.
Dimulai dengan Mesjid Raya Baiturrahman yang merupakan icon wisata religi Aceh. Dalam tulisan ini penulis ingin bercerita tentang pengalaman penulis saat mengunjungi mesjid raya. Di pintu masuk tim kami membawa kamera, kami dicegah untuk masuk karena dua alasan, yang pertama karena kami tidak ada surat izin.
Hal ini berdasarkan keterangan petugas untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Yang kedua karena salah satu rekan kami memakai celana kulot dengan pakaian yang sampai ke lutut, dicegah untuk masuk, boleh masuk tapi harus menggunakan rok mukenah. Bagus memang aturan seperti ini, karena Aceh adalah negeri Syariah.
Namun menurut penulis, jika memang take video tidak dibolehkan dengan alasan beberapa kasus yang terjadi, seharusnya di Mesjid Raya juga dilakukan razia hp, tidak boleh membawa hp. Hal ini tidak dapat kita pungkiri bahwa hp saat ini lebih canggih dibandingkan “kamera”.
Larangan untuk masuk ke Mesjid Raya dengan celana kulot besar dan tidak membentuk lekuk tubuh juga sangat disayangkan, karena konteks kesopanan pakaian wanita yang ada di Aceh itu seperti apa?, penulis belum menemukan konteks nya.
Terkadang sering kita lihat banyak pengunjung di Mesjid Raya yang memakai rok sempit dengan lekuk tubuh atau pengantin yang menikah dengan pakaian yang sangat sempit. Terakhir kami tidak jadi masuk ke Mesjid karena tidak cukup syarat. Kami hanya mengucapkan terima kasih kepada petugas, agar tidak terjadi konflik di antara kami, kami mengerti bahwa petugas hanya menjalankan tugasnya, Wallahu'alam.
Lanjut penulis berpindah tempat, mengunjungi rumah ibadah umat Budha, yaitu Vihara. Sebagaimana yang kita tahu bahwa tanggal 1 Februari adalah perayaan Imlek. Masyarakat Tionghoa yang ada di Banda Aceh sedang menyiapkan beberapa kebutuhan menjelang Imlek. Saat kami datang, tanpa jalur orang dalam, kami disambut dengan baik oleh pengurus Vihara tersebut.
Saat kami mengutarakan niat kami untuk berdiskusi singkat dan sharing sedikit tentang rumah ibadah tersebut, mereka memberikan “kursi” untuk kami. Mereka mengatakan “kami sangat senang jika ada orang yang ingin belajar budaya kami, kami sangat bersedia untuk menjadi teman mereka”.
Penulis bersama rekan belajar banyak hal tentang agama, belajar tentang toleransi, bagaimana seharusnya sikap saat kita berada di tempat ibadah. Pak Yuswar selaku pembina di Vihara Dharma Bakti mengatakan “Imlek merupakan perayaan untuk yang ada garis keturunan Tionghoa, jadi apapun agama yang di anutnya, misalnya Budha juga merayakan Imlek, keturunan Tionghoa yang masih menghargai budaya leluhurnya akan merayakannya.
Umat muslim pun boleh, nanti kalian jika mau take video di sini, boleh datang saja” saat kami mengatakan kami tidak ada kartu pres, beliau dengan tegas menjawab “ jangan terlalu “formal” di tempat ibadah, kalian kesini tidak merugikan siapa pun”.
Rumah ibadah selanjutnya yang kami kunjungi adalah Kuil Palani Andawer, yang merupakan tempat ibadah umat Hindu di negeri Syariah ini. Saat kami datangi kebetulan pengurus serta pendeta di Kuil ini pak Dada panggilannya, menyambut dengan ramah kedatangan kami. Beliau mengatakan bahwa anak-anak UIN sering bertemu dengan beliau untuk belajar agama Hindu.
“Kami tidak ada surat izin ini pak, boleh kami take video di perkarangan Kuil? Tanya kami hati-hati. “Ohiya silahkan, bapak sangat senang ada teman-teman yang mau belajar tentang bagaimana perayaan hari besar agama Hindu dilakukan di negeri Syariah ini sangat damai”.
Dari jalan-jalan ke semua agama dan tempat ibadah ini, penulis menyimpulkan bahwa kedamaian, kebaikan, saling menghargai, menilai sesuatu tidak dari satu sudut pandang, berteman dengan siapapun, tidak hanya kita dapatkan di satu agama, di satu tempat, di satu personal umat, tapi kita bisa dapatkan dimana pun, dan kapanpun.
Sehingga jangan menutup diri untuk terus belajar kebaikan di setiap jengkal kehidupan., karena sejatinya kedamaian adalah kesejukan. Salam damai dari penulis. (*)
nurulainisuid@gmail.com