Oleh: Fathayatul Husna
Gemarnews.com, Opini - Hidup bermasyarakat merupakan kunci utama untuk membangun sikap saling menghargai dan menghormati.
Paham dan sadar akan pentingnya hidup bermasyarakat juga akan terciptanya kerukunan antar warga. Tidak hanya warga yang sifatnya homogen, tetapi juga heterogen.
Setiap warga akan terbiasa untuk menjalankan kebiasaan mereka dan segala aktivitas, meskipun bertemu dengan banyak orang yang berbeda agama, suku, ras dan antar golongan.
Namun, kecenderungan terjadinya perbedaan pendapat pasti akan terjadi. Hal ini dikarenakan adanya sifat untuk mempertahankan ego saat beradu pendapat.
Salah satu hal krusial yang dapat memecahkan kerukunan antar sesama warga adalah paham seseorang tentang agama. Bagi pemeluk suatu mungkin sangat bertekad mengutarakan bahwa pemikirannya lebih baik dari orang lain. Pun demikian terjadi pada pemeluk agama lainnya. Sangat disayangkan jika kerusuhan terjadi tanpa ada jalan tengah.
Sudah banyak kasus yang terjadi di berbagai daerah disebabkan perseteruan antar umat agama. Kasus yang pernah terjadi salah satunya adalah tentang izin pembangunan rumah ibadah.
Kasus ini pernah terjadi di provinsi Aceh sebagai daerah yang berlegitimasi syariat Islam.
Beberapa tahun yang lalu, Aceh sempat mendapatkan julukan sebagai daerah intoleransi. Klaim ini didapatkan berawal dari adanya larangan pembangunan rumah ibadah di Aceh Singkil.
Bahkan, dikabarkan larangan ini berujung pada kerusuhan antar pemeluk agama yang berbeda, yaitu Islam dan Kristen. Kerusuhan ini terjadi dengan dorongan melakukan pembakaran Gereja HKI Suka Makmur pada tahun 2015. Kabarnya, pembakaran gereja ini dituding tidak hanya atas dasar perbedaan agama, tetapi juga bernada suku, ras dan antargolongan.
Praktik rusuh ini menimbulkan stigma dan stereotipe secara menyuuuluuruh bahwa Aceh adalah salah satu daerah di Aceh yang sangat intoleran.
Beberapa informasi sering ditemukan bahwa rumah ibadah tidak mendapatkan izin untuk dibangun dikarenakan adanya larangan dari mayoritas agama, atau bahkan adanya kericuhan yang tak berkeseduhan.
Padahal, izin membangun rumah ibadah sudah diatur dan difasilitasi dengan baik oleh pemerintah. Hal ini tertuang pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dlam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Dalam aturan ini disebutkan bahwa untuk membangun sebuah rumah ibadah disyaratkan harus dipenuhi oleh jema’at paling sedikit 90 orang dan masyarakat setempat yang mendukung berjumlah 60 orang.
Tetapi, aturan ini diturnkan lagi dalam bentu Pergub (Peraturan Gubernur). Di Aceh, izin pembangunan rumah ibadah diatur dalam Pergub Aceh. Secara spesifik, Pergub Aceh No. 25 Tahun 2007 menyebutkan bahwa izin pembanguunan rumah ibadah di Aceh harus memenuhi syarat, yaitu terdiri dari paling sedikit 150 orang dan didukung oleh paling sedikit 120 orang masyarakat setempat.
Hal yang mendasar ini menjadi acuan suatu rumah ibadah untuk tidak diberikan izin dibangun dan kejadian ini terjadi di Aceh Singkil. Padahal, sebelum tahun 2015, kehidupan umat beragama di Aceh Singkil berlangsung damai dan tanpa adanya sikap saling mencurigai satu sama lainnya. bahkan, kehidupan warga di Aceh Singkil berlangsunf sangat toleran dan harmonis. Tidak ada skat-skat agama tertentu dan juga tidak adanya sikap untuk saling menjatuhkan satu sama lain.
Melihat adanya praktik seperti di atas, suungguh disayangkan karena Aceh sebagai daerah dengan penerapan syariat Islam tidak mengindahkan toleransi dengan umat beragama lainnya. Meskipun sempat terjadi kerusuhan di Aceh Singkil, Pemerintah setempat bergerak saling berdiskusi untuk membahas masalah tersebut.
Pembahasan yang dilakukan guna mencari jalan keluar dan solusi untuk menyelesaikan konflik intoleransi di Singkil dan menyuarakan persatuuan antar umat beragama.
Pasca kerusuhan tragedi antar umat beragam di Aceh Singkil, tentu mengakibatkan kerugian materil dan banyaknya korban berjatuhan. Kasus ini tidak didukung dengan keinginan untuk balas dendam.
Perlakuan seperti ini patut diberikan penghargaan yang besar karena kasus akan cepat diselesaikan dengan baik. Jika didukung dengan aksi balas dendam, khawatirnya akan memicu peperangan yang berkepanjangan, seperti yang terjadi di Ambon dan Poso.
Peperangan yang berkepanjangan itu nantinya akan membentuk hubungan yang tidak harmonis antar warga dan antar uumat beragama.
Melihat kerugian yang ditimbulkan, penulis berpendapat bahwa perlu adanya suatu konsep, baik secara tertulis ataupun tidak tertulis yang akan disepakti secara bersama.
Misalnya, setiap umat beragama di Aceh harus memperhatikan kembali syarat-syarat dan kesepakatan yang tertulis dalam hukum formal yang tertulis pada Peraturan Gubernr No. 25 tahun 2007 tentang perizinan pembangunan rumah ibadah. Di samping itu juga adanya kesepakatan bersama dalam Ikrar Kerukunan Bersama pada tanggal 13 Oktober 1979 dan tahun 2001 yang menyepakati bahwa berdirinya 1 gereja dan 4 undung-undung.
Hal ini menjadi pijakan awal untuk dapat menyelesaikan konflik dan membangun harmonisasi antar umat beragama.
Saat ini, setelah 7 tahun pasca tragedi tersebut, hubungan sosial antar umat beragama di Singkil berangsur membaik dan semakin harmonis. Bentuk-bentuk hubungan sosial yang dibangun dapat diklasifikasikan dalam bentuk asosiatif.
Dalam bentuk asosiatif, masyarakat antar umat beragama di Singkil telah membangun jiwa gotong royong dan saling tolong menolong secara menyeluruh tanpa membedakan agama, suku, ras dan antar golongan. Kehidupan seperti ini akan saling menguntungkan satu sama lain. Keuntungan yang diperoleh tidak selamanya berkaitan dengan barang, tetapi juga berkaitan dengan perasaan aman, perlakuan yang baik dan saling menghormati serta menghargai antar sesama warga Singkil. Dalam keilmuan Sosiologi, praktik seperti ini disebut dengan konsep pertukaran sosial.
Artinya, sosial akan membangun pertukaran-pertukaran antar individu. Setiap kebaikan yang diberikan, akan melahirkan kebaikan yang baru. Begitu sebaliknya, setiap keburkan yang diberikan juga akan melahirkan keburukan lainnya. Praktik asosiatif ini dilakukan dengan sangat baik antar umar beragama di Singkil pasca terjadinya tragedi di tahun 2015 silam.
Selain adanya kerja sama seperti gotong royong, hubungan atar umat beragama di Singkil mulai membuka diri dan membiasakan diri untuk berinteraksi dengan seluruh warga sekitar.
Praktik ini juga disebut dengan asimilasi yaitu usaha untuk terus mengurangi perbedaan-perbedaan yang ada. Hal ini turut dilakukan dalam tranksi bisnis. Bisnis akan dibangun dengan tujuan kemakmuran bersama. Kesemptan seperti ini menjadi salah satu celah untuk ‘menyembuhkan’ luka yang pernah diirasakan oleh antar umat beragama di Aceh Singkil.
Penulis adalah pegiat media sosial yang sangat tertarik dengan isu-isu sosial, salah satunya adalah isu keberagaman di Aceh.
Oleh karena itu, penulis tertarik menulis tulisan ini setelah melihat dan membaca beberapa karya dari Laboratorium Pengembangan Sosial Keagamaan (LABPSA). Penulis dapat dihubungi melalui kontak fathayatulhusna@gmail.com.