Gemarnews.com - Aceh sangat terkenal akan kepatuhannya pada syari’at Islam. Setiap tatanan hidup dan cara bermuamalah diatur dengan baik dalam aturan Qanun.
Setiap masyarakatnya mengindahkan aturan Islam dengan baik, seperti menutup kedai saat azan maghrib tiba, mengenakan pakaian menutup aurat saat di luar rumah dan kegiatan lainnya.
Aturan-aturan ini menjadi simbol menguatnya Islam di Aceh. Sehingga, tidak heran jika Aceh mendapatkan hak kebebasannya untuk menerapkan ajaran Islam secara kaffah.
Belakangan, isu perbedaan sering digaungkan dari berbagai sisi. Salah satunya adalah perbedaan agama yang terjadi di kalangan masyarakat Aceh.
Sebelumnya, perbedaan keyakinan ini sudah terbiasa terjadi di Aceh. Hanya saja beberapa kalangan oknum berusaha memantik keributan antar pemeluk keyakinan yang berbeda ini.
Praktik yang dilakukan justru akan merenggangkan kerukunan yang telah lama dibangun antar umat beragama di Aceh. Padahal, menghormati keyakinan pemeluk agama lain sudah diatur dengan rinci dalam Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016.
Aturan ini seharusnya menjadi acuan, bahkan dapat dijadikan sebagai panduan terkuat untuk menerima perbedaan keyakinan di Aceh. Sebaliknya, Aceh disebut sebagai daerah yang tidak mengindahkan praktik toleransi antar pemeluk beragama.
Hal ini tentu perlu adanya penjelasan terkait fakta yang terjadi di Aceh. Berikut akan penulis paparkan mengenai praktik toleransi yang dijalankan oleh warga Aceh, tepatnya di daerah Pusong Lama, Kota Lhokseumawe.
Salah satu daerah di Aceh yaitu di Pusong Lama merupakan lokasi dimana setiap warga menghargai perbedaan antar pemeluk agama dan praktik ini dilakukan sangat membumi dan hidup rukun.
Daerah ini terletak di Kota Lhokseumawe dan masyarakat di sana tergolong sangat majemuk, sehingga perbedaan tidak menjadi hal yang ‘mengerikan’ untuk dijalankan bersama-sama.
Di daerah ini, kita akan dihadapkan dengan potret tiga rumah ibadah yang saling berdekatan, yaitu Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Gereja Methodis Indonesia (GMI), dan Vihara Buddha Tirta. Sementara itu, tidak jauh dari ketiga rumah ibadah tersebut, berdiri megah beberapa masjid.
Salah satunya adalah berdirinya Masjid Islamic Center Lhokseumawe yang menjadi icon pusat kota. Meskipun melambangkan teguhnya syariat Islam di Kota Lhokseumawe, daerah ini erat menjaga harmonisasi antar pemeluk agama lainnya.
Perlakuan yang diberikan kepada warga non-muslim tidak dibedakan dengan warga lainnya. Mereka tetap diperlakukan dengan baik dan memberikan ruang bebas untuk mengindahkan dan menjalankan sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Faktanya, gereja di kota tersebut tidak mengalami gangguan dan kerusakan sama sekali. Berdiri sejak kisaran tahun 90-an, beberapa rumah ibadah non-muslim masih tetap tegak berdiri dengan baik. Ketika akhir pekan, warga non-,muslim ini dapat melaksanakan aktifitas ibadah mereka dengan tertib tanpa perlu adanya kekhawatiran.
Mereka akan dijaga dengan baik oleh warga sekitar dan saling membahu menjaga ketertiban. Uniknya, masyarakat muslim di sekitaran lokasi rumah ibadah tersebut kerap membantu mereka saat akan memperingati hari besar agama non-muslim. Oleh karena itu, tidak heran jika daerah Pusong Lama mendapat julukan sebagai Gampong Sadar Kerukunan Beragama di Kota Lhokseumawe pada tanggal 17 Desember 2019.
Penulis menyempatkan diri untuk mengunjungi daerah Pusong Lama sebagai salah satu bagian dari kota Lhokseumawe. Daerah Pusong Lama menunjukkan adanya ketentraman hidup antar setiap pemeluk agama.
Saat penulis berkunjung ke sana, penulis melihat warga tengah membantu proses upacara kematian di Vihara Buddha Tirta. Prosesi ini berjalan dengan baik dan tertib. Di samping itu, penulis juga melihat bahwa setiap aktivitas yang tengah dijalankan warga juga berjalan dengan baik.
Terdapat salah satu warung kopi di sudut jalan, pelayannya menjamu setiap warga yang akan menikmati kopi tanpa melihat perbedaan keyakinan yang dipeluk.
Nuansa ini menambah kehangatan antar warga untuk dapat hidup saling tukun dan damai.
Melihat antusiasme warga Pusong Lama untuk membangun kerukunan antar setiap pemeluk agama, penulis merasa Aceh telah menerapkan praktik toleransi dengan baik. faktanya, warga Lhokseumawe juga telah membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Lhokseumawe.
Forum ini akan mengumpulkan setiap ide dan perbincangan yang akan menjalin kerukunan antar pemeluk agama di Kota Lhokseumawe.
Dengan adanya harmonisasi yang terbentuk di daerah Pusong Lama, tidak heran jika banyak berita di sosial media dan website menceritakan tentang praktik toleransi di kota Lhokseumawe ini. Dari setiap ulasannya mencerminkan bahwa kota ini berhasil menjadi panduan dan contoh sebagai salah satu kota toleran di Aceh.
Dalam regional.kompas.com menjelaskan bahwa perbedaan tidak harus dilihat sebagai hal yang berbeda, justru perbedaan dapat meningkatkan kerukunan antar setiap warganya. Dalam ajaran Islam khususnya dalam Surat Al-Kafirun ayat 6 sangat ditegaskan bahwa bagimu agamu dan bagiku agamaku.
Ayat ini menunjukkan bahwa setiap umat beragama perlu dihargai dengan baik. artinya, sebagai muslim cukup menghormati agama lain dengan bijak dan tentusan batasan-abatasan yang telah ditentukan dalam syariat Islam. Sehingga, setiap pemeluk agama akan merasa tentram dengan apa yang telah mereka yakini. Oleh karena itu, berikan kebebasan kepada mereka untuk dapat melaksanakan ibadahnya dengan baik tanpa perlu bersikap saling menyinggung satu sama lain.
Kerukunan antar umat beragama di Pusong Lama, Kota Lhokseumawe menunjukkan bahwa praktik toleransi tidak asing bagi warga Muslim. Praktik toleransi menjadi kunci dasar untuk menumbuhkan sikap saling menghargai antar pemeluk agama yang berbeda. Melalui praktik toleransi beragama di Pusong Lama juga menunukkan bahwa Aceh sebagai daerah yang berlegitimasi syariat Islam juga memberikan ruang bebas kepada pemeluk agama lain untuk menjalankan aktivitas ibadahnya tanpa saling bersinggungan.
Aceh seharusnya menjadi salah satu contoh bagi dunia bahwa setiap agama dapat saling berdampingan dan setiap pemeluknya dapat hidup dengan rukun.
Tetapi, praktik saling menghargai tetap dalam koridor Batasan masing-masing agama.
Sehingga, setiap pemeluk agama bahwa setiap manusia adalah saudara dan penting untuk selalu memanusiakan manusia dengan bijak.
Penulis adalah pegiat media sosial yang sangat tertarik dengan isu-isu sosial, salah satunya adalah isu keberagaman di Aceh. Oleh karena itu, penulis tertarik menulis tulisan ini setelah melihat dan membaca beberapa karya dari Laboratorium Pengembangan Sosial Keagamaan (LABPSA).
Penulis dapat dihubungi melalui kontak fathayatulhusna@gmail.com.