Penulis : Musliadi
Mahasiswa UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Gemarnews.com, Opini - Provisi Aceh adalah salah satu daerah di Indonesia yang sangat religius. Di Aceh membuat hukuman kepada penduduknya berdasarkan hukum islam atau di kenal dengan Hukum Adat. Dalam hal ini Aceh memiliki Polisi Syariat yang dinamakan Wilayatu Hisbah sebagai lembaga pengawasan pelaksanaan Syariat islam di provisi Aceh.
Aceh di pandang tidak toleran dengan hukum adat yang telah di tetapkan, sebab memiliki status penerapat syariat islam. Aceh jarang sekali dipandang dan dinilai oleh orang luar secara Normal, atau biasa-biasa saja, menurut pandangan saya dan kawan-kawan saya yang berasal dari Aceh.
Aceh di pandang dari dua sisi kelompok , kelompok mengidealisasikan adalah tempat orang-orang yang hidupnya layak semuanya serba indah dan cukup sedangkan kelompok liberal adalah tempat yang sangat repsresif terhadap penganut agama lain.
Hal ini tidak sulit untuk kita tebak dari mana asal uslunya pandang seperti ini. Apa lagi pada zaman sekarang perkembangan teknologi sangat cepat. Di awal covid 19 saja banyak alat eletronik yang berkembang dan pemeritah juga menerapkan peraturan Stay Home untuk memutuskan mata rantai covid 19, hal ini membuat masyarakat tidak bisa melakukan apa-apa selain berdiam diri dirumah, aktifitas seperti perkantoran, sekolah, dan aktifitas lain di lakukan melalui online atau secara vitual. Untuk menghibur diri masyarakat mengunakan semanphone atau alat eletronik yang bisa di gunakan untuk kebutuahan menghibur diri dan juga dalam hal perkerjaan.
Pandangan mengidealisasikan dan liberal terhadap Aceh tentu saja dari media-media yang sudah ada di semarphone yang di gunakan oleh masyarakat, dari media banyak juga berita yang tidak benar atau hoax tidak sedikit masyarakat yang terpengaruh dengan hal ini, bahkan men shere tampa mencari kebenaran berita tersebut.
Media-media yang membuat berita tentang Aceh dominan larangan tentang agama, seperti razia pakaian, jilbab, celan ketat, hukum cambuk, pelarangan perayan Valentine, perayaan tahun baru dan sebagainya. akibat dari berita-berita seperti ini yang di cerita singkat dan tidak mencari fakta sebelum di sebarkan akan menjadi hal yang negatif untuk Aceh. Tidak sedikit orang yang membantu dalam menghentikannya dan juga tidak sedikit orang membantu menyebarkan hal-hal seperti ini. Dari tidakan yang di lakukan masyarakat seperti ini banyak yang menyangka bahwa razia yang terkait hukum syariat juga di tuntu atau di paksa bagi penganut agama selain islam.
Berita seperti membuat orang banyak berfikir Aceh sebagai provisi yang serba kolot yang tak memberika ruang sendikitpun bagi kelompok lain selain islam. Mereka membayangkan di Aceh orang-orang yang tidak beragama islam hidup penuh terkanan. Masyarakat luar Aceh mengunakan media untuk modal referensi bahwa Aceh, provisi yang tidak toleran.
Mereka membanyangkan hidup di Aceh bagi orang-orang yang bukan islam itu penuh dengan tekanan. Dengan modal pengetahuan lewat berita media, informasi semacam itu membuat orang luar lebih tau dari pada orang Aceh sendiri, apakah benar informasih di Aceh demikian?
Sebenarnya tidak seperti itu juga karena Aceh juga ada hukum untuk orang-orang yang bukan islam, bahkan mereka kalau kenak hukum akan di berikan pilihan mau di hukum dengan pasal KUHP atau dengan syariat islam.
Salah satu contohnya adalah pada tanggal 7 Agustus 2018 seorang penganut agama Kristen di hukum cambuk di Aceh setelah terbukti menyimpan dan menjual minuman keras. dalam hal hukuman tersangka di berikan dua pilihan, memilih di penjaran selama 4 bulan atau di cambuk. Tersangka memilih di cambuk dari pada di penjara selama 4 bulan. Dalam hal ini juga di pertanyakan kepada tersangka, apakah ada unsur paksaan. Tersangka mengatakan tidak ada sama sekali unsur paksaan. Tersangka memilih agar cepat selesai hukuman kepada dirinya. “menurut Qanut untuk memilih hukuman yang berdasarkan hukumnya ada di pasal 5 no 6 tahun 2004 .” Seperti yang di beritakan BBC News Indonesia.
Perayaan imlek tanggal 1 Febuari 2022 menjadi sebuah gambaran bahwa Aceh itu Toleran. Pada hari perayaan malam selasa banyak juga dari masyarakat muslim yang datang berkujungi ke tempat Vihara Dharma Bhakti, ada yang ingin tau bagaimana pelaksaannya dan juga menjaga keamanan kendaraan pengujung yang datang ke Vihara.
Ketua Vihara Dharma Bhakti juga mengatakan bawah Aceh sangat Toleran karena dalam setiap tahun perayaan imlek, sejek berdiri nya Vihara ini tidak ada terjadinya konflik baik itu antara Agama, Ras, Budaya, maupun Adat istiadat, bahkan antar sesama umat beragama saling menghormati, menghargai, dan memberikan kebebasan setiap agamanya untuk melaksanakan ajara ibadah sesuai ajarannya masing-masing.
Aceh memang provinsi syariat, bukan berati tidak ada toleran didalamnya. Toleran memang susah di lakukan oleh setiap individu apa lagi kelompok, tetapi hal seperti ini tidak terjadi di Aceh, buktinya banyak juga rumah ibadah lain selain tempat ibadah umat muslim. Seperti tempat ibadah umat Kristiani, Budha, Hindu, Katolik. Hal ini menjadi gambar bahwa Aceh toleran. Dari pada mendengar lewat media lebih baik berkunjung langsung dan rasakan bagaimana nikmatnya beribadah di kota Syariat. Jangan takut tidak ada tempat Ibadah buat kawan-kawan yang Non Muslim.
Mari sama-sama kita menjaga dan menghargai orang lain dan mulai bersikap adil untuk menjangan kerukunan dalam umat beragama. Karena hidup selalu berdampingan dan setiap individu membutuhkan individu lain jadi kita hidup harus saling bertoleransi. Salam damai salam salam toleransi. (*)