Oleh: Fathayatul Husna
Opini - “Seuramoe Mekkah” adalah julukan yang biasa didengar saat seseorang menceritakan tentang Aceh. Sebutan ini dinobatkan sebagai keunikan dan kekhasan provinsi Aceh.
Seuramoe Mekkah atau dikenal dalam bahasa Indonesia sebagai Serambi Mekkah menandakan bahwa Aceh berbeda dengan daerah lain. Aceh dikenal dengan syariat Islamnya yang kental dan praktik budaya keislamannya yang sangat kuat.
Oleh karena itu, Aceh juga mendapatkan kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri sesuai dengan peraturan dan hukum mandiri.
Di balik kekuatan Aceh di bidang penerapan Syariat Islam, Aceh menyimpan cerita sejarah yang begitu panjang. Kabarnya, Aceh dihuni oleh berbagai jenis suku, seperti Suku Aceh, Suku Tamiang, Suku Gayo, Suku Alas, Suku Kluet, Suku Julu, Suku Pakpak, Suku Aneuk Jamee, Suku Sigulai, Suku Lekon, Suku Devayan, Suku Haloban dan Suku Nias.
Dilihat dari jenis-jenis suku ini, Aceh tidak secara tunggal dihuni oleh suku Aceh, melainkan adanya ragam suku lain yang telah menetap lama di Aceh. Penduduk Aceh sangat unik dan setiap daerah menunjukkan keunikannya. Menurut sejarah masa lalu, penduduk Aceh ragam berasal dari hasil perkawinan anatr berbagai suku, budaya, bahkan antar negara.
Misalnya, leluhur Aceh menikah dengan penduduk dari Malaysia, Cham, Kamboja, Cina, Eropa, India dan Bangsa Arab. Oleh karena itu, tidak heran ketika melihat wajah warga Aceh mirip dengan raut wajah orang Cina, Eropa Arab, India dan lainnya. hal ini menunjukkan bahwa Aceh sangat terbuka akan keberagaman dari zaman nenek moyang dahulu.
Bahkan, hal ini juga turut dirasakan sampai saat ini. Terlepas dari raut wajah dan aksen berbicara, makanan juga menjadi salah satu pengenal dan hasil adopsi dari suku-suku negara lain, seperti makanan kari yang diadopsi dari warisan kebudayaan hindu Tua di India. Hampir semua rasa dan bahan-bahan masakan Aceh mewarisi cita rasa dari negara India.
Tidak hanya India, pedagang-pedagang Tiongkok juga membangun hubugan yang baik dengan Aceh. Hal ini dibuktikan denga adanya lonceng besar yang dikenal dengan Lonceng Cakra Donya. Konon, seorang Laksamana Cheng Ho pernah mengunjungi Aceh dan pelaut-pelaut Tiongkok memilih transit di Aceh sebelum melanjukan perjalanan ke Eropa.
Pengalaman lain juga turut dirasakan oleh keturunan Persia dan Turki. Mereka datang ke Aceh diminta untuk menjadi seorang ulam yang bertugas untuk menyampaikan ilmu-ilmu Islam. Selain itu, mereka juga diminta untuk berdagang, pelatih prajuti dan menjadi bagian dari pasukan Aceh. di sisi lain, pelaut-pelaut Portugis juga menginjakkan kaki di Aceh.
Mereka datang untuk berdagang di wilayah Lam No hingga menetap di sana. Jejaknya masih sangat kental ditemukan, salah satunya adalah diwariskan pada rupa wajah yang masih kental dengan khas Eropa.
Dari berbagai cerita pada pendatang ke Aceh, menandakan bahwa Aceh sangat terbuka dengan berbagai suku dengan latar belakang yang berbeda.
Mereka tidak hanya terbuka dengan perbedaan, tetapi juga terbuka untuk menjalin persahabatan, perdagangan dan agama. Aceh menerima atas setiap perbedaan yang ada. Hal ini juga sangat banyak ditemukan saat ini, misalnya adanya berebagai suku yang masuk ke Aceh hingga menetap dan menghabiskan masa hidupnya di Aceh. selain itu, juga banyak dari kalagan non-muslim yang tinggal di Aceh mereka merasa hidup di Aceh sangat nyaman dan tidak ada perlakuan kasar yang mereka alami.
Hal ini menjadi bukti kuat bahwa Aceh telah menerapkan aturan syariat Islam dengan sangat baik, salah satunya daoat dilihat dari keterbukaannya dengan berbagai pihak.
Di samping ceritanya yang sangat terbuka dengan berbagai pihak, perlu adanya kehati-hatian. Hal ini berkaca pada sejarah peperangan di zaman dahulu. Banyak pihak-pihak yang ingi merebut kekuasaan Aceh, tentu juga diiringi dengan berbagai strategi.
Misalnya, pihak-pihak ini mulai menghormati setiap kepercayan dan adat istiadat masyarakat Aceh. Mereka juga mengikuti pembelajaran agama Islam. Sehingga, masyarakat Aceh merasa sikap seperti ini adalah sikap persahabatan yang harus dirawat dengan baik.
Ternyata, konsep ini bisa jadi adalah bagian dari strategi untuk menaklukkan Aceh. Setelah mereka masuk dan menyatu dengan budaya Aceh, mereka akan mencoba mengeluarkan praktik-praktik yang bertentang dengan kebiasaan masyarakat Aceh.
Kemudian, secara perlahan akan membudayakan praktik-praktik yang sewajarnya ini. Namun, masyarakat Aceh sangat sigap dan “memasang badan” melakukan pertahanan.
Singkatnya, peperangan terjadi dengan berbagai respon yang didapatkan dari rakyat Aceh. Pengalaman ini menjadi sebuah pembelajaran bagi rakyat Aceh untuk lebih berhati-hati dalam menerima berbagai pihak. Perlu adanya kehati-hatian yang sangat kuat untuk menyeleksi setiap hal-hal baru yang masuk ke Aceh.
Sederhananya, Aceh memang dikenal sebagai daerah yang didominasi oleh pemberlakuan praktik syariat Islam. Aceh adalah bagian dari Indonesia. Aceh juga memberlakukan hukum dan aturan yang diatur oleh pemerintah Indonesia. hanya saja, Aceh juga mendapatkan hak istimewa untuk mengatur daerahnya sendiri dengan peraturan yang bersifat otonom.
Artinya, Aceh diistimewakan sama seperti D.I. Yogyakarta. Aceh diberikan kebebasan mengatur warganya sesuai dengan aturan yang tertera dalam Qanun, namun masih dalam pengawasan pemerintah Indonesia. Hal ini menjadi kebanggan bagi rakyat Aceh. di samping itu, Aceh tidak menjalankan kehidupan warganya dengan sifat yang kaku.
Aceh memberikan kebebasan kepada warganya untuk bergaul dan membangun hubungan sosial yang baik dengan berbagai kalangan, seperti dengan berbagai suku yang berbeda, etnis yang berbeda, agama yang berbeda dan keputusan yang berbeda.
*Penulis adalah pegiat media sosial yang sangat tertarik dengan isu-isu sosial, salah satunya adalah isu keberagaman di Aceh. Oleh karena itu, penulis tertarik menulis tulisan ini setelah melihat dan membaca beberapa karya dari Laboratorium Pengembangan Sosial Keagamaan (LABPSA). Penulis dapat dihubungi melalui kontak fathayatulhusna@gmail.com.