Mahasiswa Sosiolog Agama UIN Ar - Raniry Banda Aceh
Gemarnews.com, Opini - Pernikahan beda agama menjadi fenomena sosial yang sangat kontroversial, khususnya bagi masyarakat Indonesia. Walaupun Indonesia dikenal sebagai negara yang penuh dengan keberagaman, Agama menduduki peringkat pertama dalam menjalankan keseharian masyarakat Indonesia pada umumnya.
Pernikahan Stafsus Presiden Ayu Kartika Dewi menimbulkan banyak kerisuhan di media sosial. Sebab perbedaan agama di kedua mempelai membuat netizen Indonesia tiba tiba menampakkan ‘keimanannya’.
Hari Jumat 18 maret 2022 pernikahan dilaksnakan di dua tempat dan dua cara yang berbeda. Akad nikah dilaksanakan pada pukul 07.30 – 08.15 yang dihadiri oleh keluarga dan juga para tamu undangan. Kemudian pukul 10.00 – 10.45 dilaksanakannya pemberkatan di Gereja Keterdal dan dipimpin langsung oleh Romo Suhoryo selaku Uskup.
Acara tersebut tersebut disiarkan Live di media sosial yaitu youtube. Sebelumnya Ayu Kartika dan Gerald Bastian memberitahukan pernikahannya di media sosial Instagram. Proses pernikahan keduanya pun berjalan lancar baik secara akad maupun pemberkatan di Gereja.
Sebagai seorang stafsus presiden tentu pengaruhnya sangat luas di kalangan masyarakat Indonesia. Ayu Kartika dan Gerald memiliki kedekatan itu, meskipun Gerald tidak terlalu terkenal seperti Ayu Kartika. Pernikahan keduanya membuat banyak masyarakat yang tidak menghendaki, karena atas dasar berbeda agama. Umumnya masyarakat muslim menayangkan kejadian itu, karena beranggapan telah melenceng dari agama islam.
Tidak sedikit celaan dan hinaan yang dihujamkan langsung kepada kedua pengantin baru tersebut, kolom komentar dipenuhi ketidaksetujuan netizen yang sudah menganggap ayu telah menjual keimanannya sebagai orang islam. Memang dalam agama islam tegas dalam hal keyakainan, terlebih pada masalah ini.
Dalam UDHR ( Universal Declaration of Human Right) atau pernyataan umun tentang Hak Asasi Manusia sudah ditetapkan tentang pernikahan berbeda agama. UDHR Pasal 6 (1) menyatakan bahwa setiap laki-laki dan perempuan mempunyai hak untuk menikah dan membangun keluarganya, tanpa halangan adanya perbedaan ras, kebangsaan atau kewarganegaraan dan perbedaan agama. Dengan demikian perbedaan agama bukan merupakan penghalang untuk menikah.
Indonesia dalam penerapan Undang pernikahan berbeda agama masih menjadi persoalan yang belum selesai. Bahkan jika harus menikah dalam perbedaan agama, maka salah satunya harus mengikuti agama tersebut. Menurut Sri Wahyuni dalam jurnalnya Perkawinan Beda Agama di Indonesia dan Hak Asasi manusia,
“Kebebasan beragama di Indonesia belum sepenuhnya terpenuhi, karena telah menjadi pemaksaan dalam perkawinan yang harus memeluk agama tertentu untuk melakasanakannya.
Dalam hal ini, tidak hanya undang undang dan institusi pemerintahan yang ikut campur pada persoalan berbeda agama. Masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim juga turut bersuara sehingga permasalahan menuju keluarga Bahagia, diawali dengan masalah yang tiada habisnya.
Sebagai mayoritas agama, masyarakat muslim cenderung membawa agama kedalam kehidupan orang lain, baik dengan nasihat maupun celaan.
Terlihat komentar netizen Indonesia di Akun Instagram Ayu Rika dan Gerald, yang mengeluarkan pernyataan dan ucapan “Islami”nya untuk kedua pasangan tersebut.
Menasehati pengantin bahwa itu salah, bagaikan seorang ustdaz/ah yang datang antah barantah. Tidak kurang pula celaan bagi keduanya didapati dar kolom komentar, seakan akan hidupnya yang paling benar.
Tekanan tekanan dari masyarakat membuat hati yang tidak kuat akan tersakiti.
Cinta yang dibangun dari susah payah selalu dihantui rasa bersalah karena tuntutan sosial. Hal ini menjadi sebab kesulitannya membangun rumah tangga bagi mereka yang sudah mengenal dan mencintai seseorang yang berbeda agama. Karena kesakralannya pernikahan bagi masyarakat Indonesia, maka aturan dan tuntutan harus direalisasikan.
Apakah menasehati orang harus didepan umum?. Apakah menghina dan mencela seseorang diperbolehkan?. Maka hal hal ini seharusnya diperhatikan. Seorang muslim pun seharusnya bisa menjaga harga diri saudarnya dengan menasehatinya secara tertutup, jika ia berbuat salah. Seorang muslim menjaga dirinya untuk tidak menghina orang lain, terlebih secara terang terangan. Hal ini bisa membuat martabat dan harga diri orang lain luntur.
Terlepas dari jabatannya sebagai seorang yang dekat dengan pihak istana, tidak berhak seseorang menghakimi orang lain. Jika pun ingin menasehati, maka lakukanlah dengan cara baik baik, dan tidak di depan umum. Tidak perlu mencela, karen hal itu membuat suasana semakin tidak baik. Tidak perlu bersuara dengan celaan dan menganggap dirinya paling benar dan orang lain salah.
Maka dari itu, penulis sebagai salah satu pemuda LABPSA ( Laboratorium Pengembangan Sosial Keagamaan), melihat hal ini sebagai bentuk dari keberagaman. Berbeda jika harus berbicara keimanan atau kepercayaan yang dianut. Terlepas dari bentuk apapun dan latar belakang Ayu Kartika sebagai Stafsus Presiden, sangat disayangkan menghujat dan menghina orang lain yang berbeda dengannya.
Keprihatinan akan hal ini, bisa menutup wawasan masyarakat Indonesia pada fenomena sosial yang terjadi secara global. Namun tidak bisa dipungkiri, religiusitas islam di Indonesia sangatlah kuat.
Maka masyarakat merasakan kejadian ini sebagai bentuk dari melawan agamanya. Kemudian diperkuat dengan instansi keagamaan islam yang ikut menyorot kejadian tersebut.
Perlu adanya kesadaran dan wawasan yang luas mengenai kehidupan bermasyarakat. terlebih di era seeperti sekarang ini, lebih mudah menghujat dari pada mempelajari lebih lanjut pada kejadian yang ada.
Di tambah lagi Indonesia sekarang ini sering diterpa isu isu yang tidak menyenangkan, dan selalu saja dihubungkan dengan kejadian kejadian selanjutnya, terlebih orang orang yang dekat dengan pemerintahan.
Cobalah melihat suatu kejadian tidak hanya dari satu perspektif saja, menelaah dan berdiskusi bisa saja membuka wawasan tentang bagaiaman dunia sekarang. Hentikan segala hujatan dan lebih bijak dalam menasehati. (*)