Penulis: Muhammad Iqbal, S.T
Mantan Ketua Umum IPMB Banda Aceh
OPINI - Pilkada menjadi ajang obral janji dengan mengatasnamakan kesejahteraan rakyat, tak terkecuali di Kabupaten Pidie Jaya yang dinahkodai Abuwa Waled.
Masyarakat menaruh harapan kepada pasangan ini sehingga terpilih kembali pada periode kedua Pilkada 2019.
Para birokrat di Negeri Japakeh ini miskin konsep untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat, mengandalkan anggaran transfer pusat membuat Pidie Jaya seakan tidak mampu berdikari dan berjalan ditempat.
Trilyunan Anggaran telah dibelanjakan selama dua (2) periode kepemimpinan Abuwa Waled, tidak ada perubahan signifikan dalam setiap program.
Perombakan kabinet kerap dilakukan, dengan tujuan penyegaran agar terlaksananya cita - cita pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Perombakan birokrasi dilakukan untuk apa? Diduga hanya untuk memposisikan orang-orang yang mampu memberikan keuntungan dan pengembalian modal politik.
"Peran Sekda dan para Asisten selaku pimpinan ASN di lingkungan Pemkab Pidie Jaya juga dinilai hanya menjadi "Waki Lueng." Sekda disibukkan dengan pengadaan mobil dinas mewah.
Aset-aset Pemkab terbengkalai, gedung dan bangunan banyak yang mangkrak tak berfungsi, fasilitas negara terabaikan seakan-akan tak ada mau peduli.
"Diduga berbagai kutipan dan titipan anggaran terjadi, semrautnya tata kelola Pemerintahan dan Tata Kelola Keuangan Daerah sehingga lahirnya penumpang gelap, baik dari luar maupun dari internal birokrat (ASN)."
Penumpang gelap APBK Pidie Jaya kerap terjadi, dengan sistem gelondongan kemudian dijadikan program "Asal Untung" hasil hubungan gelap antara Pengusaha dan Pejabat teras di lingkungan Pemerintahan.
Bappeda Pidie Jaya juga hanya menjadi simbol lahirnya program melalui Musrenbang, padahal program Musrenbang hanya isapan jempol belaka. Bappeda terkesan sebagai tukang stempel saja.
Harapan rakyat sirna, 2022 - 2023 sampai 2024 menjadi tahun mewujudkan ambisiusme politik, meraup modal untuk maju dalam Pilkada 2024.
Seakan tidak ada habisnya, Rakyat tetap menjadi korban untuk hasrat birahi politik para penguasa, seakan adegan transaksional anggaran menjadi halal dengan mengatasnamakan rakyat.