Oleh: Fathayatul Husna
Opini - Harmoni merupkan perasaan dan suasana yang ingin dinikmati oleh setiap manusia. Setiap orang mendambakan kehidupan yang penuh dengan rasa damai, tenang, saling menghargai dan menghormati.
Harmoni sudah seharusnya ada di muka bumi di segala penjuru dunia, tidak hanya dirasakan oleh sekelompok orang saja. Harmoni menjadi tujuan dari setiap penduduk bumi untuk dapat melangsungkan kehidupan dengan sesama individu lainnya.
Indonesia adalah salah satu negara yang telah mewujudkan sistem harmoni sejak lama. Para leluhur menanamkan konsep yang dikenal dengan istilah “Bhinneka Tunggal Ika”.
Istilah ini bertujuan mempertemukan setiap perbedaan yang ada di Indonesia. Tujuannya adalah satu, hidup saling bersatu dan terwujudnya harmoni. Hal ini turut dirasakan dari berbagai belahan daerah di Indonesia, terlebih dengan adanya corak ragam budaya.
Indonesia tidak hanya tentang Jakarta. Indonesia juga tidak hanya dikenal dengan wisata di Bali. Indonesia juga memiliki daerah lainnya yang unik, diikat dengan budaya yang sangat kenal dan peraturan yang beragam. Salah satunya adalah Aceh.
Aceh diberikan keistimewaan otonom untuk mengatur daerahnya sendiri lengkap dengan aturan Qanun yang berlaku. Landasan yang digunakan adalah landasan ajaran Islam dan penerapan hukumnya juga penuh pengawasan dari pemerintah pusat. Di sisi lain, meskipun sangat kental akan budaya keislaman dan aturat syariat Islam, Aceh memberikan izin kepada para penduduk lain untuk tinggal di Aceh.
Misalnya, penduduk yang non-muslim diberikan kebebasan untuk tinggal di Aceh. Penduduk yang berbeda ras, etnis serta suku juga diberikan ruang untuk berekspresi dengan santun.
Sehingga, tidak heran ketika berkunjung ke Aceh banyak ditemukan penduduknya yang beragam.
Dalam tulisan ini, penulis mengambil keunikan yang di Aceh, yaitu adanya penampilan Barongsai di Aceh. Jika dinilai secara kaku, seharusnya tarian Barongsai ini tidak mencerminkan Islam. Namun, karena menghormati perbedaan, tarian ini diperbolehkan untuk diperagakan dan ditampilkan di depan umum.
Singkatnya, Barongsai adalah sejenis tarian tradisional yang berasal dari China, etnis Tionghoa. Tarian ini disebut sebagai tarian perekat persahabatan dengan menggambungkan beberapa keterampilan anggota tim untuk memainkan Barongsai.
Di Aceh, penampilan Barongsai dilakukan di Banda Aceh. Biasanya, tarian ini ditampilkan saat perayaan tahun baru Imlek. Saat imlek, mereka tidak hanya melakukan ritual ibadah dan membunyikan gong/lonceng, tetapi juga dimeriahkan dengan adanya tarian Barongsai.
Melihat adanya tarian Barongsai di Aceh, tentu saja sangat memikat para penonton yang menyaksikan tarian tersebut. Uniknya, tarian Barongsai ini juga dibuka pelatihannya di Banda Aceh yaitu melalui Federasi Olahraga Barongsai Indonesia (FOBI) Aceh.
Dalam federasi ini dikabarkan terdapat beberapa pelejar Muslim yang ikut bergabung untuk berlatih tarian Barongsai. Federasi ini memberikan peluang kepada siapa saja yang ingin berlatih tarian Barongsai tanpa melihat latar belakang pendidikan, etnis, suku, ras dan agama. siapa saja yang usianya masih di bawah 30 tahun dapat mengikuti latihan tarian Barongsai dengan baik.
Kabarnya, setiap tahunnya pelajar Muslim yang ikut bergabung untuk latihan Tarian Barongsai semakin meningkat.
Selain Federasi Olahraga Barongsai Indonesia (FOBI) Aceh, tarian Barongsai di Aceh juga dibina dengan baik oleh Yayasan Hakka Aceh.
Yayasan ini menjadi wadah penting abgi mayarakat Aceh yang berlatar belakang etnis Tionghoa dari berbagai agama yang diyakini.
Yayasan ini juga banyak berkecimpung para milenial Tionghoa yang ada di Aceh. Oleh karena itu, sudah menjadi hal yang sangat biasa ketika anak muda Aceh saling berkumpul dengan latar belakang suku, etnis, ras dan agama yang bebeda.
Peragaan tarian Barongsai memang memiliki keunikan tersendiri, terlebih ketika diperlombakan dalam tingkat kejuaraan.
Dalam pertandingan pun ternyata tarian Barongsai ini dibagi dalam berbagai kategori, seperti kirin, liong, toulu, tradisional dan atraksi tiang 25 mete.
Kategori-kategori ini didasarkan pada keahlian yang berbeda. Oleh karena itu, dibutuhkan pula latihan yang sangat ketat dari sang pelatih tarian Barongsai agar tarian ini dapat dipersembahkan dengan baik saat dimainkan.
Dari adanya cerita tentang penampilan tarian Barongsai di Aceh menjadi salah satu jawaban yang dapat diberikan ketika ada yang bertanya “perayaan Imlek boleh diadakan di Aceh?”.
Tentu saja diperolehkan, namun tentu dengan cara tetap menghormati segala perbedaan yang ada. Perbedaan ini bukan menjadi penghalang untuk berkreasi, tetapi akan tetap tumbuh untuk saling bertoleransi.
Walaupun banyak orang-orang non-muslim di luar Aceh merasa takut datang ke Aceh, tentu hal ini sama sekali tidak seperti yang dibayangkan. Justru, Aceh sangat terbuka dengan adanya keberagaman, seperti halnya memberikan perizinan kepada etnis Tionghoa untuk menampilkan tarian Barongsai di Aceh.
Adanya tarian Barongsai di Aceh menjadi kunci bahwa sebenarnya Aceh tidak hidup kaku. Aceh sangat fleksibel menerima setiap perbedaan, dengan catatan bahwa setiap yang berbeda harus dihargai dan dihormati, bukan ditentang dengan keras.
Setiap yang berbeda adalah teman, bahkan diperlakukan layaknya saudara sendiri. Bukti lainnya, bisnis yang dijalankans oleh mereka yang berbeda agama, suku, ras dan etnis berjalan dengan sangat lancar dan baik. Hubungan ini diharapkan tidak hanya dirasakan saat ini, tetapi juga hingga ke depan nantinya.
*Penulis adalah pegiat media sosial yang sangat tertarik dengan isu-isu sosial, salah satunya adalah isu keberagaman di Aceh. Oleh karena itu, penulis tertarik menulis tulisan ini setelah melihat dan membaca beberapa karya dari Laboratorium Pengembangan Sosial Keagamaan (LABPSA). Penulis dapat dihubungi melalui kontak fathayatulhusna@gmail.com.