Oleh : Azzuhri Ardhi
Mahasiswa UIN Ar-Raniry
Gemarnews.com, Opini - Diskriminatif atau diskriminasi merupakan sikap atau tindakan seseorang untuk membeda-bedakan suatu golongan dengan kepentingan tertentu. Di Indonesia kita tidak akan terlepas dan pasti akan menemui dari adanya praktik-praktik tindakan diskriminasi ini. Sejak kecil kita sudah disuguhi oleh hal-hal yang merujuk kepada kegiatan diskriminasi antara lain, ketidak sediaan nya sekolah memfasilitasi anak prestasi untuk ikut perlombaan hanya karena tidak memiliki Akta padahal para guru juga menyadari betapa sulitnya mengurus hal yang mereka anggap sepele ini. Belum lagi pandangan negatif dari para guru dan teman-teman ketika pindah dari sekolah lain padahal ada hal lain yang membuat mereka harus pindah sekolah. Ha-hal sepertil ini menunjukkan bahwa pendidikan di tingkat dasar saja sudah tidak dapat membendung tingkat diskriminatif pada anak.
Didalam kehidupan berkeluarga tidak jarang anak juga mendapatkan tindakan diskriminasi dari orang tuanya yang mana ketika mereka tidak mendapat juara kelas sedangkan kerabat atau bahkan saudaranya mendapatkan juara kelas maka orang tua si anak akan membandingkan prestasi yang anak tersebut dapatkan dengan yang anak lain dapatkan. Hal seperti ini merupakan cikal bakal dan akar dari tindakan diskriminasi yang akan anak ini lakukan dikemudian hari baik bersama teman-teman, adik, bahkan orang lain yang tidak ia kenali sekalipun.
Masyarakat marjinal juga banyak menjadi korban daripada diskriminasi didalam kehidupan sosial mereka akan terus terpinggirkan dan kehadirannya akan selalu dianggap biasa saja didalam masyarakat, belum lagi mereka yang memeluk agama minoritas di beberapa wilayah yang begitu sulitnya mencari tempat untuk beribadah. Ada banyak contoh lain yang merupakan pelanggaran-pelanggaran atas tindakan diskriminatif ini dan berikut beberapa pelanggaran diskriminatif yang paling banyak sering kita temui di kehidupan sehari-hari.
Yang pertama adalah atas ras atau suku. Tidak dapat kita pungkiri didalam kehidupan kampus sekalipun hal ini masih sering terjadi. Contohnya saja ketika diawal perkuliahan para mahasiswa yang memiliki kesamaan ras dan suku pasti mereka akan memiliki kemistri sehingga akan lebih mudah akrab berbeda dengan yang berbeda suku dengan mereka, belum lagi ketika didalam suatu forum mahasiswa yang seharusnya digunakan bahasa Indonesia yang baik dan dapat dipahami oleh seluruh peserta diskusi oleh karena adanya sikap diskriminasi dalam diri dan merasa mayoritas ada saja peserta didalam forum tersebut yang menggunakan bahasa daerah yang tidak semua orang memahaminya.
Dan selanjutnya diskriminasi terhadap kelas sosial. Orang yang memiliki kelas sosial rendah akan sulit mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya baik dalam kesehatan dan kesejahteraan didalam mencari pekerjaan. Mereka yang memiliki kelas sosial rendah akan dipandang remeh oleh mereka yang memiliki kelas lebih tinggi kita ambil contoh ketika masyarakat kelas rendah mereka hanya mengambil kayu jati mereka akan di berikan tuntutan penjara yang sebenarnya tidak sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Sedangkan para koruptor yang menghabiskan uang proyek-proyek negara mereka dipenjarakan layaknya didalam hotel berbintang dan inilah diskriminasi yang paling terlihat di Indonesia saat ini. Hukum pun sudah memiliki sifat diskriminatif yang mana akan tajam kebawah dan tumpul keatas.
Dan diskriminasi yang paling parah terjadi pada bidang keaagamaan, hal ini merupakan pembahasan yang paling rentan jika dikaitkan dengan diskriminasi karena menyangkut akan keyakinan seseorang terhadap yang ia yakini untuk dijadikan Tuhan/Sandaran Hati. Ada banyak sekali kasus yang muncul atas kejadian deskriminasi mengenai keragaman keyakinan (beragama) dan tak sedikit pula yang berujung pada kekisruhan karena jika sudah menyangkut iman apapun akan dilakukan demi identitas dasar yang seharusnya didukung dengan adanya kekuatan nilai dari sila pertama dalam dasar negara yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa” ysang berarti bangsa Indonesia membebaskan masyarakatnya untuk menganut agama dan menjalakan sesuai ajaran agamanya masing-masing. Meskipun ada dasar yang telah mengatur kebebasan ini masih saja ada segelintir orang ataupun oknum yang merasa bahwa mereka adalah kaum terbaik dan kepercayaan lain selain dirinya adalah salah sehingga deskriminasi terhadap perbedaan keyakinan masih terus terulang hingga saat tulisan ini dibuat.
Kita ambil contoh kasus pembakaran gereja di Desa Dangguran kecamatan Simpang Kanan kabupaten Aceh Singkil pada tahun 2015. Kekisruhan ini dipicu karena kurangnya sikap toleransi antar umat beragama yang diawali dengan pembakaran gereja. Gereja ini diduga tidak memiliki perizinan dalam pembangunannya sehingga oknum yang tidak menyukai pembangunanya membakar bangunann gereja tersebut alhasil tindakan ini menyulut api amarah dari para penganut agama Kristiani di Aceh Singkil saat itu. Hingga akhirnya terjadi bentrok yang menewaskan salah satu pemuda.
Masih ada banyak lagi tindakan diskriminasi yang sering kita temui di masyarakat Indonesia termasuk diskriminasi terhadap wanita atas pekerjaan dan statusnya didalam keluarga dan juga para penyandang disabilitas yang sangat kesulitan untuk menyalurkan bakat minat mereka karena kurangnya dukungan pemerintah sehingga mereka terus terpinggirkan dan tidak memiliki tempat di strata sosial masyarakat. Untuk itu sikap toleransi atas sesama perlu ditingkatkan untuk menekan tingginya angka diskriminatif di Indonesia dan telah di sampaikan oleh Allah SWT dalam firman-Nya “Kami jadikan manusia itu bersuku-suku, berbangsa-bangsa untuk saling mengenal satu sama lain” (Q.S 49:13). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan bukanlah suatu hal yang seharusnya di hindari namun disyukuri.keberadaanya.
Dalam akhir tulisan ini penulisan berfokus pada diskriminasi dan toleransi pada dalam bidang keagamaan yang terjadi di Kabupaten Aceh Singkil. Menurut studi yang telah banyak dilakukan dalam kasus diskriminasi dan intoleran yang terjadi di Aceh Singkil khusunya, penulis mendapatkan fakta bahwa deskriminasi dan intoleran yang terjadi pada kejadian 2015 lalu bukan serta merta teerjadi karena masyarakat Aceh Singkil yang bersifat radikal dan memiliki pemahaman semua agama salah selain agamanya namun juga dipicu dengan perda ataupun Qanun yang bersifat deskriminatif terhadap masyarakat non muslim. Yang mana masyarakat minoritas ini kesulitan dalam mencari IMB (izin mendirikan bangunan) gereja untuk memenuhi haknya sebagai warga negara. Secara umum mereka juga merupakan masyakat Indonesia yang memiliki kebebasan beragama dan menjalankan ajaran agamanya namun juga termasuk kedalam administratif provinsi Aceh yang bersifat syariah sehingga perda dan Qanun merupakan landasan utama juga bagi mereka untuk melakukan pembangunan dan kegiatan-kegiatan keagaman meskipun penulis melihat hal ini sebagai salah satu bentuk deskriminatif dalam praktik keagamaan di Provinsi Aceh secara umum dan kabupaten Aceh Singkil secara khusus.
Sebagai mahasiswa sosiologi agama penulis tidak lagi membahas pihak mana yang benar dan salah sedangkan secara harfiah tidak ada agama resmi di Indonesia yang memiki tujuan buruk, kesemua agama tersebut pasti mengajarkan kebaikan dan ini adalah bentuk kekayaan yang Tuhan berikan kepada kita umat-Nya. Jika Tuhan menghendaki bukankah mudah bagi-Nya untuk menyeragamkan bentuk, etnis, suku, budaya dan juga agama semua orang menjadi sama sehingga tidak aka nada yang namanya deskriminasi dan intoleran dimuka bumi. Tetapi tidak, dengan adanya keberagaman Tuhan menginginkan kita umatnya untuk mempelajari, mengenali, dan menjadika perbedaan yang ada sebagai sebuah kekayaan. Dengan pandangan demikian bukankah keragama terlihat indah dan kita harus bersyukur atas keragaman yang ada di Aceh ini. (*)