oleh: Rahilla Fanny
Opini - Salah satu pakaian muslimah, selain menggunakan pakaian yang sopan dan rapi, adalah berjilbab. Jenis jilbab di era abad 21 juga beragam, mulai dari bentuk kerudung segi empat, hingga pashmina.
Ukuran jilbab yang digunakan juga berbeda-beda, tergantung selera dan size badan. Di Indonesia, mayoritas perempuan beragama Islam menggunakan jilbab ketika beraktivitas di luar rumah.
Hal lainnya yang melekat dengan jilbab adalah cadar. Merupakan sehelai kain kecil, berfungsi menutupi wajah.
Jenis cadar juga berbeda-beda, ada yang menyatu dengan jilbab yang digunakan dan terpisah. Varian warna yang digunakan juga beranekaragam, paling umum warna gelap, seperti coklat dan hitam.
Usia pengguna cadar juga berbeda-beda, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Pakaian ini, sepertinya, masih menjadi perbincangan publik terkait keharusan atau tidak dalam penggunaannya.
Di Indonesia sendiri, cadar dapat digunakan secara bebas, walaupun respon dari sebagian wilayah masih terasa asing atau, malah, menjadi sorotan karena dianggap berbeda.
Respon positif dan negatif juga hadir menyertai. Akan tetapi, secara hukum negara Indonesia, tidak ada himbauan khusus, melarang penggunaan cadar.
Hal ini terlihat, banyak provinsi dan hampir setiap daerahnya terdapat banyak pengguna cadar. Namun, juga terdapat di beberapa lokasi, penggunaan cadar tidak diizinkan, seperti pada lingkungan kerja, sekolah, dan kampus.
Alasan yang paling sering terdengar, karena area tersebut bagian dari area yang mengharuskan berpakaian formal, diperlukan aktivitas bertatap muka. Paling umum larangan diterapkan dalam lingkungan sekolah, seperti: Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas. Berbeda dengan bangku perkuliahan, kebanyakan kampus di Indonesia, kini, mengizinkan para mahasiswinya menggunakan cadar. Salah satunya dialami oleh para mahasiswi Yogyakarta.
Kebebasan menggunakan cadar adalah anugerah bagi setiap pengguna cadar. Tak perlu menghiraukan, apakah wajah yang ingin ditutupi tidak teraplikasikan secara maksimal. Mahasiswa lain yang bukan pengguna cadar pun sangat menghargai akan hal ini. Bahkan, tak jarang diantara mereka malah memberi perlindungan lebih terhadap temannya yang bercadar.
Pun menurut para dosen, penggunaan cadar bukanlah penghalang akan aktivitas transfer ilmu. Para dosen menghargai dan mengerti akan prinsip setiap individu berbeda dan tiap mereka tidak bisa dipaksakan mengacu pada satu prinsip, terutama masalah pakaian. Para dosen tetap berperilaku baik kepada mahasiswa bercadar, seperti menyapa ketika berpas-pasan dan tetap menanggapi setiap perkataan atau keluhan mahasiswa bercadar terkait permasalahan kuliah.
Dalam lingkungan administrasi pun, pelayanan yang diberikan tidak dibeda-bedakan. Setiap mahasiswa, bagaimana pun etnis, ras, agama, bahkan style berpakaian, tetap dilayani dengan baik, sesuai aturan yang telah disepakati.
Pun seperti penanganan masalah beasiswa si mahasiswa, tidak membedakan apakah dia pengguna cadar, berjilbab, atau tidak. Meski kebebasan telah dirasakan secara gratis, respon negatif tetap diterima oleh penggunanya.
Melihat salah satu kampus yang mengizinkan penggunaan cadar, Universitas Gadjah Mada. Meskipun kampus umum, tidak khusus beranah Islam, penggunaan cadar bukan menjadi penghalang aktivitas belajar-mengajar berlangsung.
Para mahasiswa bercadar juga diberi kebebasan berorganisasi seperti mahasiswa lainnya. Juga diwadahi sejumlah beasiswa, jika memenuhi standar akademik.
Tak heran, setiap tahun ajaran baru, mahasiswa yang menggunakan cadar terus hadir di setiap angkatan. Dikarenakan kenyamanan yang diperoleh, tidak membuat mereka khawatir akan cadar yang sudah digunakan.
Kampus tetangga juga tak menghiraukan masalah penggunaan cadar. Universitas Negeri Yogyakarta, juga memberikan kebebasan menggunakan cadar dalam aktivitas kampus. Kampus yang terkenal akan aktivitas-aktivitas bernuansa Islam yang maju, seakan menjadi rumah bagi mereka. Berdasarkan informasi pada Ekspresionline, oleh Arni Arta, tidak terdapat aturan formal larangan bercadar di lingkungan kampus.
Berdasarkan kedua kampus, terlihat kebebasan bercadar tidak perlu dihiraukan. Namun, siapa sangka, akan respon negatif tetap hadir menyertai para pengguna cadar. Seperti salah satu alumni mahasiswa Yogyakarta, mengalami kejadian intoleransi terhadap dirinya. Dirinya lebih suka dikenal dengan nama Asma, kini dikaruniai seorang putri.
Meski toleransi akan bercadar tetap dirasakan, namun dirinya pernah mengalami hal tidak menyenangkan selama bercadar di lingkungan kampus. Perlakuan dosen terhadap dirinya, dengan menyudutkan akan fikrah yang dianutnya, dirasa tidak sesuai.
Perkataan akan dirinya dianggap bagian teroris, diterima langsung dari teman sesama organisasi. Juga, perlakuan warga setempat akan menggoda dan mengatai dirinya, kerap dialami.
Dirinya juga mengatakan, “Jangan kita menilai seseorang sebatas penampilan saja. Yang bercadar, bukan berarti ia juga menutup dirinya untuk bergaul.
Cukup hargai prinsip masing-masing dan tetaplah saling menjaga perasaan.” Namun, dibalik itu, respon positif tetap diterima. Seperti dukungan dari orang sekitar yang mengerti akan toleransi, seakan menjadi sumber energi bagi dirinya untuk tetap semangat.
Berbeda dengan alumni satu ini (tidak ingin disebutkan nama) mengatakan, ternyata kenyamanan bercadar tidak ditemukan di sekitar keluarganya. Yogyakarta, menjadi tempat pertama bagi dirinya memulai bercadar.
Disinilah, kenyamanan bercadar bagi dirinya ditemukan. Segala urusan administrasi kampus dan respon warga setempat tidak pernah ada yang mencoba menjatuhkan dirinya.
“Iya, biasa juga. Karena lingkungan kosanku juga udah familiar sama cadar kali ya” ungkapnya. Bahkan, ketika dirinya berada di tengah lingkungan keluarga, lebih memilih tidak menggunakan cadar demi meminimalisir konflik. Namun terkadang pun, rasa khawatir akan tanggapan orang sekitar tetap dialami. Berkat dukungan teman-teman ekitar, rasa tersebut dengan mudah dapat disingkirkan. “Lebih ke toleransinya di lingkungan kuliah tu emang tinggi. Karena kebanyakan udah ngerti gitu kan.”
Memang, cadar masih menjadi polemik dari segi penggunaannya. Namun, kebebasan menggunakan bagi yang ingin, masih bisa dirasakan dengan baik. Kecaman, kritikan, dan respon negatif lainnya memang masih dirasakan.
Semua ini dapat terasa suatu hal yang kecil, berkat dukungan dari orang-orang yang memahami toleransi. (*)