Oleh Nurul Aini
Penulis merupakan mahasisiwi Sosiologi Agama UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan anak muda lintas iman yang tergabung dalam komunitas LABPSA.
Gemarnews.com, Opini - Berbicara tentang radikal dan teror ada baiknya kita merujuk dulu kepada kata toleransi. Menurut hemat penulis toleransi merupakan sikap beragama untuk saling menghargai perbedaan dengan tetap punya ciri khas tersendiri yaitu kepercayaan, atau dalam Islam disebutkan untukmu agama mu dan untuk ku agama ku. Kita tahu bahwa selain warna hitam dan putih ada warna lainnya.
Dalam artian hidup di dunia ini memang penuh dengan keberagaman, dan tidak serta merta membuat seseorang yang menyukai warna putih menganggap bahwa hanya warna putih saja yang ada di dunia ini atau hanya warna putih saja yang patut dikatakan indah. Seseorang itu dapat menghargai warna lain yang ada, dan tetap mempertahankan warna putih sebagai warna yang disukai nya.
Akhir-akhir ini beredar sebuah berita dari densus 88 menembak seorang dokter yang terduga terorisme di daerah Jawa Tengah. Di sini penulis tidak ingin mengklaim apakah benar dokter tersebut seorang terorisme atau kah densus 88 salah sasaran? Jawaban itu penulis serahkan kepada pembaca. Didalam tulisan ini, penulis ingin mengajak para pembaca untuk berpikir kritis.
Berbicara tentang akar dari radikalisme dan terorisme.
Kita tak dapat pungkiri bahwa kasus terorisme sering di hubungkan dengan agama tertentu, karena pelaku dari terorisme selalu saja menggunakan ayat-ayat kitab suci untuk menghalalkan segala bentuk kekerasan yang merugikan orang lain. Padahal tidak ada satu agama pun yang menyuruh umatnya untuk melakukan tindakan kejahatan atau kekerasan.
Akar dari segala bentuk kekerasan berbasis agama selalu saja dimulai dari rasa tidak menghargai, berlanjut kepada rasa was-was, ekstrim, radikal, merasa diri paling benar dan berujung pada teror dengan menggunakan agama sebagai alat.
Sebut saja bom Bali 1 yang terjadi pada tahun 2002 yang menewaskan korban tidak hanya dari Indonesia tetapi juga dari 20 negara lainnya. Peristiwa ekstrim terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Menghalakan darah kafir dalam konteks pelaku adalah segala jenis kepercayaan atau agama yang bukan Islam adalah kafir, dan halal darahnya untuk dibunuh.
Ayat Al-Quran yang diterjemahkan secara tekstual membuat oknum tersebut melegalkan tindakan kejahatan yang dapat menghilangkan ratusan nyawa orang. Mempresentasikan jama’tul muslimin hanya diri yang benar yang lain menyimpang dari jalan yang lurus.
Kita tak dapat pungkiri, bahwa berbicara benih-benih radikal tidak hanya dari satu agama saja sebut saja Islam.
Dalam penyampaian nya di workshop LABPSA (Laboratorium Pengembangan Sosial Keagamaan) yang merupakan komunitas anak muda lintas iman dengan latar belakang agama yang berbeda di Banda Aceh. Pendeta Rida menyampaikan bahwa disemua agama, pasti ada sekte-sekte yang berbeda pemahaman antara satu dengan yang lainnya. Di Kristen misalnya antara gereja HKBP dan gereja lainnya beda, di dalam Kristen juga dikenal dengan beberapa aliran.
Nah dalam menyikapi perbedaan itu memang ada di antara teman-teman Kristen yang tidak menerima aliran yang di anggap sesat, yang perlu di tekankan adalah teman-teman Kristen tidak merepresentasikan perbedaan itu kepada tindakan kekerasan yang dapat menghilangkan nyawa orang lain, karena belajar dari masa lalu peristiwa-peristiwa berdarah di agama Kristen juga sangat banyak sekali.
Sebenarnya aksi dari terorisme atau radikalisme juga di dukung oleh pihak ketiga. Sekelompok orang yang sudah ekstrem sekali dalam memandang agama dan hanya jalan jihad satu-satunya untuk mencapai surganya Tuhan, di dukung oleh orang-orang yang sengaja memfasilitasi agar orang lainnya dapat terpengaruh untuk melakukan tindakan kejahatan.
Misalnya sebut saja Indonesia sebagai negara yang plural, mengeluarkan aturan yang tidak sesuai dengan keinginan sekelompok orang, keputusasaan ditambah dengan sudah ada benih-benih ekstrem serta difasilitasi oleh kelompok lainnya, seperti merakit bom, maka akan terjadi jihad atau bom bunuh diri di antara keramaian.
Menurut penulis, jika ada yang berbeda dengan kita, beda dalam pemahaman, keyakinan, kepercayaan, kita bisa duduk berdiskusi dengan tidak mengklaim salah dan benar, cukup punya ciri khas tersendiri dengan tetap mengakui bahwa yang lain juga ada, yang lain juga benar menurut dirinya masing-masing.
Hidup di Indonesia dengan segala keragaman dengan sumber kekayaan alam salah satunya kopi bisa menjadi alternatif dini untuk tidak terjadinya kasus-kasus yang radikal. Kopi merupakan minuman yang ada di hampir setiap sudut kota di Indonesia.
Untuk meminum secangkir kopi kita bisa mengajak siapapun, dengan latar belakang agama manapun, dengan perbedaan kepercayaan apapun, karena di meja kopi kita tak perlu sama, kita hanya perlu berdiksusi sambil menyeruputi kopi hitam dimalam yang kelam. Kata Prof Yusni, “kita ini malas berlawanan terus, saudaraan aja yuk, kopi mana ni? Kita sepertinya kurang ngobrol aja”.
Dalam artian ketika kata-kata tak bisa lagi berbicara, secangkir kopi bisa jadi penengah antara kau dan aku untuk mencairkan suasana. (*)