Oleh : Eko Kuntadhi
Opini - Perang di jaman ini bukan saja soal dar-der-dor. Tapi juga soal pembentukan opini.
Kalau nonton berita Ukraina-Rusia kita akan tahu kemana media-media itu berkiblat. CNN, ABC, BBC misalnya rajin menyerang Putin. Mereka juga yang suka menampilkan berita duka dan menyedihkan.
Baru kemarin ada berita tentara Rusia menyerbu Rumah Sakit. Di berita ada video seorang ibu hamil digotong tentara Ukraina. Lengkap dengan latar belakang kerusakan.
Kesannya, Rusia kejam banget.
Berita lain menyebutkan bahwa sebelum menyerang RS itu, Rusia sudah menginformasikan pada PBB bahwa itu adalah RS kosong. Kini digunakan sebagai kamp tentara Ukraina. Jadi, menurut berita dari Rusia, yang di serang adalah tentara. Bukan warga sipil.
Lalu siapa ibu-ibu hamil yang digotong? Ada yang bilang dia adalah seorang influencer asal Ukraina. Mirip-mirip artislah. Beberapa waktu sebelum perang dia sempat mengunggah kondisinya saat hamil. Dengan latar belakang kehidupannya.
Rusia juga gitu. Membangun strategi pengembangan opini. Sama saja.
Bukan hanya perang Rusia-Ukraina. Ketika perang Syuriah juga ada rekayasa video sejenis. White Helmet sebagai organisasi kemanusiaan rajin banget buat video model yang sama. Serangan ke RS. Ada anak dengan wajah cemong terkena asap mesiu.
Nyatanya semua itu hanya shooting belaka. Korban adalah artis. Mereka digunakan sebagai bahan propaganda perang.
White Helmets ternyata juga bukan organisasi kemanusiaan murni. Justru beberapa informasi menampilkan mereka memasok senjata buat jihadis Syuriah. Mereka menjadi semacam tim kesehatan para pemberontak. Mereka juga membantu gerombolan ISIS dan Jabhat Nusra kakau ada yang terluka.
Artinya mereka berpihak.
Kita juga ingat perang Irak. Sebelum penyerangan, AS membangun opini ada senjata pemusnah masal di Irak. Lalu negeri itu dibombardir. Habis berkeping-keping. Sampai detik ini, ketika Irak sudah berubah menjadi neraka, apa yang dituduhkan soal pabrik senjata penusnah masal gak pernah ada.
Itulah salah satu perang paling brutal yang hanya didasarkan pada hoax.
Demikian juga ketika mau menggempur Qadafi di Libya. Tokoh ini digambarkan keji. Kejam. Dan menindas rakyatnya. Qadafi juga digambarkan eksentrik, tinggal di tenda. Bukan di istana.
Bahkan tenda tempat tinggalnya pernah diserang mortir yang mengakibatkan anaknya wafat.
Padahal Libya dijaman Qadafi adalah negeri makmur. Kesehatan gratis. Pendidikan gratis sampai universitas. Kalau ada warga mau menikah, pemerintah memberi subsidi untuk memiliki tempat tinggal.
Gerombolan Hizbut Tahrir mengerogoti Libya. Mereka ngomporin rakyat Libya untuk melawan Qadafi. Lalu ada tentara bayaran yang mengatas namakan jihad dikirim ke sana.
Libya hancur. Qadafi dibunuh. Dan negeri makmur itu, kini seperti neraka. Perempuan di seret ke jalan untuk memuaskan nafsu srigala yang mengibarkan bendera hitam. Anak-anak Libya kehilangan masa depan.
Hal yang sama terjadi di Indonesia saat ini. Ketika Densus 88 kemarin menangkap teroris, di media sosial muncul kisah-kisah kedermawanan dokter Sunardi.
Saat ditangkap Sunardi melawan. Ia mengendalikan mobilnya secara zigzag. Menabrak beberapa pengendara lain dengan kecepatan tinggi. Densus mencoba menghentikannya. Tapi Sunardi terus merangsek.
Tidak ada pilihan, selain dor!Sunardi tewas.
Lalu muncul protes bahwa Sunardi itu dokter. Kenapa ditembak?
Padahal menurut informasi Densus 88, selain sebagai dokter Sunardi ini adalah petinggi Jmaah Islamiyah. Ia juga penanggungjawab lembaga Hilal Amar, semacam lembaga pencari dana.
Hilal Amar fokusnya mengirimkan jihadis asal Indonesia ke daerah konflik. Mereka banyak mengirim orang ke Syuriah dan Afganistan. Ini semacam pelatihan militer secara langsung. Nanti setelah mahir dan keji, mereka akan pulang ke Indonesia lalu memimpin kekacauan disini.
Lembaga amalnya mengumpulkan duit dari publik untuk mempersiapkan kehancuran bagi Indoensia. Mirip seperti kelompok yang sama di Libya atau Syuriah sebelum luluh lantak.
Tapi itu tadi, perang jaman ini bukan hanya dar-der-dor. Juga perang opini. Perang narasi. Perang propaganda.
Para pembela teroris membangun narasi betapa kejamnya Densus 88 menembak mati seorang dokter. Kata mereka, baru tersangka kok, ditembak?
Lha iya. Wong ketika mau ditangkap dia melawan. Memacu mobilnya kayak setan. Menabrak sana sini. Juga berusaha menabrak anggota Densus 88. Masa dengan resiko seperti itu, cuma mau disemprit pake periwitan doang? Atau cuma ditilang.
Ada yang berperang di lapangan. Ada juga pasukan di media. Para teroris tahu strategi ini.
Tinggal kita. Apakah mau dibodohi dengan nasasi palsu gerombolan mereka?
"Mas, kalau teroris pria mati, dapat 72 bidadari. Kalau yang permpuan dapat apa?, " tanya Abu Kumkum.
Tupperware!