Notification

×

Iklan ok

Santri Serba Bisa: Ilmu Agama dan Hidup Bersosial

Sabtu, 26 Maret 2022 | 20.33 WIB Last Updated 2022-03-26T13:33:40Z

foto: sindonews

Oleh: Fathayatul Husna

Opini - Pembelajaran anak-anak dibutuhkan strategi yang tepat dan juga dilakukan dengan bijaksana.

 Anak-anak memiliki karakter yang berbeda dan cara menghadapinya juga berbeda-beda. Pembelajaran perlu diperhatikan sebaik mungkin agar hasil yang diinginkan terwujud, yaitu agar anak-anak tidak hanya menguasai bidang keilmuan, tetapi juga terbentuk karakternya dengan sangat bijaksana. 

Oleh karena itu, setiap guru perlu memberikan asupan pendidikan dan strategi pembelajaran yang baik sedari dini untuk menumbuhkan kepintaran ilmu dan karakter pada anak.


Tidak hanya berhenti di situ, anak-anak tidak hanya membutuhkan keilmuan yang cemerlang dan pembentukan karakter yang bijaksana. Anak-anak juga membutuhkan asupan rohani yang  matang. Asupan rohani ini biasanya adalah pembelajaran ilmu agama. Anak-anak akan dibiasakan dan diajarkan mengenali Tuhannya, mengenali nilai-nilai agamanya, mengenal baik dan buruk sesuai ajaran agamanya, dan sebagainya. 


Dalam konteks ini, penulis akan membahas terkait dengan pembelajaran bagi masyarakat yang beragama Islam. Dengan demikian, strategi yang penulis maksud berkenaan dengan pembelajaran Islam.


Dalam dunia Islam, pembelajaran karakter Islami pada anak sangat dibutuhkan, bahkan wajib hukumnya mengenalkan anak akan nilai dan norma dalam Islam. 


Anak-anak akan diajarkan untuk mengenal Allah sebagai Tuhan yang menciptakan manusia, anak juga dikenalkan dengan cerita-cerita para Nabi dan Rasul beserta mukjizat yang dimiliki, anak juga diajarkan cara memaca Al-Quran dan mengamalkannya dalam kehidupan dan sebagainya. 


Uniknya, untuk mempelajari semua hal tentang Islam, anak-anak diberikan pilihan untuk memilih melanjutkan sekolah di madrasah atau di pondok pesantren. Pilihan ini juga diterapkan di Indonesia, sehingga tidak asing ketika melihat anak-anak disekolahkan di pondok pesantrean. 


Pondok pesantren merupakan tempat di mana anak-anak dibimbing, dibina dan diajarkan tentang ajaran-ajaran Islam. Pondok pesantren juga dapat dikatakan seagai tempat “karantina” bagi anak-anak yang akan belajar keilmuan Islam. 


Anak-anak akan difasilitasi dan diwasi dengan ketat serta dibimBing selama 24 jam penuh oleh para ustadz dan ustadzah. Mereka dibiasakan untuk mengikuti shalat fardhu 5 waktu secara berjamah di masjid. 

Mereka juga dibiasakan untuk menghafal Al-Quran dan Hadits, juga mengikuti kelas seperti pada umumnya.
Di samping itu, anak-anak juga dibiasakan untuk bergotong royong di setiap akhir pekan, seperti membersihkan perkarangan asrama, membersihkan ruang kelas, dan sebagainya. Anak-anak juga dibiasakan untuk mengantri saat waktu makan tiba. 


Kebiasaan-kebiasaan seperti ini dididik dan ditumbuhkan dengan baik oleh para pembina, yang terdiri dari ustadz, ustadzah dan kakak pembina (senior yang duduk setara dengan Sekolah Menengah Atas). kehidupan di pondok pesantren sangat unik, bahkan tidak ditemukan saat berada di luar pondok pesantren. 


Setiap santri yang melakukan pelanggaran akan diberikan sanksi sesuai dengan kadar pelanggaran yang dilakukan. 


Misalnya, ketika tidak menggunakan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris dalam percakapan setiap hari, maka akan diberikan sanksi seperti diberdirikan di depan papan pengumuman dan disaksikan oleh banyak santri lainnya.


 Kemudian, ada juga yang diberikan hukuman seperti mengenakan kerudung warna-warni sebagai pertanda bahwa pelanggaran yang dilakukan kadarnya sedang. Jika pelanggaran yang dilakukan lebih berat lagi, maka santri bisa saja diberikan skors dan tidak mengikuti segala bentuk kegiatan yang berjalan di pondok pesntren. Ia juga akan dimasukkan ke dalam buku “hitam” sebagai pelanggar berat.


Serba-serbi kehidupan di pondok pesantren memang penuh haru, suka, cita dan punya banyak cerita. Di samping dituntut melaksanakan segala jenis kewajiban, santri juga dibina agar pandai dalam bersosial dengan lingkungan sekitar. 


Misalnya, santri diajarkan untuk terbiasa bersedekah, membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan, memberikan bantuan kepada yang tengah sakit, bersikap jujur, tidak sombong dan selalu ramah. 


Selain itu, ada beberapa masukan kepada para pembina di pondok pesantren agar mendidik para santri yaitu dibiasakan untuk saling berdampingan dengan segala bentuk perbedaan. Tidak hanya bertoleransi dengan yang berbeda agama, tetapi juga mampu bertoleransi dengan orang-orang yang berbeda suku, ras, etnis, golongan dan sebagainya.


Terlebih, pondok pesantren di Indonesia yang hidup di antara beragamnya latar belakang penduduk yang berasal dari berbagai macam keyakinan yang dianut. 


Pondok pesantren memiliki tugas mengajarkan kepada para santri untuk dapat menerapkan praktik toleransi dengan baik di lingkungan sosial.


Berkenaan dengan praktik toleransi, bimbingan, pembelajaran dan penguatan yang didapatkan dari para ustadz dan ustadzah adalah sebagai cerminan bahwa seorang santri harus memiliki prinsip. Seorang santri dituntut harus terbiasa dengan segala jenis keberagaman yang ada di sekitarnya. Artinya, ketika seorang santri dihadapkan dengan segala jenis perbedaan, ia dapat berdiri tegak dengan prinsipnya seagai Muslim. 


Meskipun demikian, ia juga mampu bermuamalah dengan baik dengan orang-orang yang memiliki latar belakang yang berbeda dengannya. 


Namun, kebebasan ini tidak berarti seorang santri dapat hidup bebas tanpa batas. Seorang santri tentu perlu menyadari bahwa pendidikan agama yang dipelajarinya adalah dasar keilmuan yang harus ditanam secara mendalam dalam dirinya. Dengan demikian, tetap ada pengawasan dan kontrol yang dilakukannya. 


Oleh karena itu, santri tidak hanya dibiasakan untuk paham akan keilmuan Islam dan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya, tetapi santri juga dibiasakan untuk turun melihat kondisi lingkungan sekitarnya. Salah satunya adalah membiasakan diri untuk hidup berdampingan dan bertoleransi dengan baik.

Penulis adalah pegiat media sosial yang sangat tertarik dengan isu-isu sosial, salah satunya adalah isu keberagaman di Aceh. Oleh karena itu, penulis tertarik menulis tulisan ini setelah melihat dan membaca beberapa karya dari Laboratorium Pengembangan Sosial Keagamaan (LABPSA). Penulis dapat dihubungi melalui kontak fathayatulhusna@gmail.com.

×
Berita Terbaru Update