Notification

×

Iklan ok

Sikap Intoleran Berkedok Candaan Dalam Masyarakat

Jumat, 11 Maret 2022 | 12.26 WIB Last Updated 2022-03-11T05:26:43Z
Oleh : Azzhri Ardhi
Mahasiswa UIN Ar - Raniry Banda Aceh

Gemarnews.com, Opini - Secara umum toleransi merupakan sikap yang seharusnya penduduk dunia memilikinya agar tatanan kehidupan menjadi stabil, konsisten, harmonis dan dinamis, sehingga konflik-konflik yang mengatas dasarkan perbedaan dapat ditekankan jumlahnya. 

Dan untuk Indonesia sendiri perbedaan seharusnya bukan menjadi sebuah masalah karena dengan adanya perbedaan  kita dapat mempelajari dan memahami apa yang seharusnya dapat kita ulik dari pada sudut pandang yang berbeda dan perbedaan-perbedaan ini merupakan sebuah kelebihan yang tidak semua negara memilikinya dan sebab danya perbedaan ini Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang plural di dunia dan memiliki kekayaan yang bukan hanya berupa hasil alamnya melimpah  tapi juga berupa budaya, bahasa, ras, dan suku serta agama sehingga menambah kekeayaan yang ada di bumi Nusantara. 

Hal-hal yang kompleks inilah menjadi daya tarik Indonesia dimata dunia dan seharusnya menjadi sebuah kebanggaan pula bagi kita masyarakat Indonesia untuk terus memelihara keutuhan NKRI dengan sikap toleransi dari masing-masing individu.

Meskipun banyak sekali Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi-organisasi yang bergerak pada bidang sosial kemasyarakatan dan mengkampanyekan isu toleransi baik terhadap antar umat beragama, gender, budaya, etnis dan lain sebagainya tidak serta merta dapat merubah pemahaman masyarakat umum untuk tidak bertindak diskrimatif terhadap perbedaan sehingga timbulah budaya toleransi yang apik dan diinginkan di dalam masyarakat Indonesia. 

Secara umum dalam penerapannya masih banyak masyarakat yang belum dapat sepenuhnya menjadikan dirinya sebagai manusia yang dapat memanusiakan manusia lainnya dengan kata lain tindakan intoleran masih kerap terjadi meskipun mereka sendiri mengatahui tindakan ini tidak baik untuk diterapkan dalam kehidupan bersosial.

Pada undang-undang No 40 tahun 2008 yang membahas tentang perlindungan tkepada warga negara terhadap tindakan yang diskriminatif atas ras dan etnis yang di selenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat serta melibatkan seluruh warga negara dalam penerapanya menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia. 

Dengan adanya undang-undang ini tentu pemerintah telah mengantisipasi adanya tindakan-tindakan provokatif, diskriminatif, dan bentuk intoleran lainya yangdapat mengganggu keutuhan negara republik Indonesia. Bahkan sangsi yang diberikanpun tidak main-main dari yang berupa sangsi sosial, membayar denda, hingga tindak pidana penjara. Sehingga dengan adanya perundang-undangan ini diharapkan kepada oknum ataupun individu akan berfikir dua kali ketika hendak melakukan tindakan intoleran.

Jika kita dilihat dari berbagai pihak yang telah berupaya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang toleransi tentu tindakan-tindakan diskriminatif, provikatif dan lain sebagainya bukan lagi menjadi sebuah masalah yang harus kita waspadai bersama mengingat adanya sangsi-sangsi dari pemerintah dan juga masyarakat. Namun kenyataan yang terjadi dilapangan acapkali berbeda dengan apa yang kita lihat di media, ada banyak tindakan-tindakan didalam masyarakat yang berbanding terbalik jika kita kaitkan terhadap nilai-nilai toleransi dan ini terus berkembang serta seakan menjadi budaya baru dalam penerapan tindak intoleran.

Didalam masyarakat ada banyak sekali julukan yang berikan terhadap orang-orang yang memiliki karakteristik tersendiri atau bahkan atas dasar warna kulit (hitam, putih), postur tubuh (kurus, gendut, pendek), dan tak jarag membawa-bawa etnis/suku sebagai julukan serta yang paling berbahaya lagi jika agama pun dijadikan ejekan berupa julukan kepada orang tertentu. 

Tindakan seperti ini seakan tidak lagi menjadi hal yang tabu dalam sebuah lingkungan sosial masyarakat kita, yang mana banyak daripada masyarakat menjadikan hal sensitif seperti demikian sebagai candaan dan beranggapan bahwa seseorang yang tidak dapat menerima julukan tersebut adalah orang yang kurang asik atau dalam istilah tingkrongannya disebut dengan baperan. 

Anggapan bahwa hal-hal yang menyerempet dengan unsur SARA akan menjadi lelucon dan candaan yang asik dalam perkumpulan dan menjadi tolak ukur kedekatan seseorang menjadikan hal-hal yang demikian ini terus berkembang dalam masyarakat. Meskipun pada awalnya orang tersebut keberatan atas julukan ini dengan seiringnya waktu dan semakin banyaknya individu yang memberikan julukan kepadanya maka ia lama kelamaan akan menerima candaan atau julukan tersebut walaupun dalam keterpaksaan.

Dalam istilah lain hal hal diatas lebih dikenal dengan pembulian secara verbal meskipun sipembuli dan yang dibuli tidak menyadari hal ini sebagai sebuah tindakan bulying. Di banyak kejadian ucapan (buli) monoton yang dilontarkan didalam populasi atau komunitas kerap menyakiti hati individu yang menjadi objek ejekan. 

Dalam sebuah perkumpulan misalnya, ada banyak julukan atau sebutan dari para rekan sebaya kepada orang tertentu guna memberikan kesan asik dalam sebuah komutas/tongkrongan dengan sebutan yang sebenarnya merupakan sebuah ejekan yang dibalut dengan candaan. 

Kita ambil contoh memanggil teman dengan panggilan “nama hewan, warna kulit, postur tubuh, suku/etnisnya, kekurangan fisiknya atau bahkan kebiasaan buruknya dan yang tak lazim atas ajaran agamanya” yang mungkin hal tersebut terlihat wajar dan menjadi sebuah lelucon jika terus digunaka, tapi kenyataanya ini adalah sebuah hinaan bagi orang tersebut jika julukan ini melekat pada dirinya. 

Dibeberapa kesempatan penulis juga banyak menemukan kasus intoleran yang mengkambing hitamkan candaan seperti rekan non muslim yang di suruh sunat, syahadat, istighfar, serta rekan-rekan muslim yang disebut akan beribadah dihari minggu kegereja, ataupun ikut perayaan-perayaan duluar dari agama Islam seperti nyepi, natal, dan sebagainya yang merujuk pada diskriminas sosial keagamaan lalu mereka menyebutnya dengan lelucon yang terus diulang.

Praktik-praktik yang demikian seharusnya dapat dihindari jika kita sebagai masyarakat bahkan mahasiswa memahami konsep toleransi maka kita tidak akan melakukan hal-hal yang demikian meskipun kita merasa ini hanyalah sebuah candaan belaka tanpa ada unsur menghina  atau bahkan mendiskriminasi orang lain. 

Dengan kata lain kita harus tetap menghargai perbedaan baik secara fisik dan juga latar belakang yang beragam, lalu memanggil orang lain dengan sebutan atau julukan yang telah diberikan baik dari orang tua, sanak saudara, atau bahkan diambil dari kitab yang telah dibuat jauh hari agar orang tersebut memiliki identitas yang sesuai dengan keinginan keluarganya. (*)
×
Berita Terbaru Update