Oleh : Akhwanto Muzain
Mahasiswa Psikologi Pendidikan Islam, Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Gemarnews.com, Opini - Baru baru ini Indikator Politik Indonesia mengeluarkan hasil survei terbaru mengenai kebebasan berpendapat. Hasil survei mengatakan bahwa 62,9 persen masyarakat semakin takut untuk mengeluarkan pendapat (indikator.co.id, 2022). Ini mengalami peningkatan dari hasil survei pada tahun 2020 yang lalu yang masih mencapai 47,7 persen. Beberapa media juga mengangkat berita mengenai hal ini yang menjadi perdebatan yang hangat dikalangan para tokoh politik, pengamat dan akademisi. Perdebatan ini membicarakan tentang ada apa dengan demokrasi khususnya mengenai kebebasan berpendapat.
Sedangkan kebebasan berpendapat itu sendiri merupakan bagian dari partisipasi dan proses berdemokrasi, sebagai contoh salah satunya dengan memberikan kritik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Kebebasan berpendapat juga menjadi indikator terhadap baik atau buruknya indeks demokrasi. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa negara kita menganut sistem pemerintahan yang demokratis.
Hal ini tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4, yang menyatakan bahwa negara Indonesia berkedaulatan rakyat dengan Pancasila sebagai dasar negara. Demokrasi merupakan sebuah sistem pemerintahan yang memberikan hak yang sama kepada setiap warga negara untuk memberikan pendapat, mengambil keputusan, dan ikut berpartisipasi dalam menentukan arah dan tujuan kehidupan bernegara yang dilindungi oleh undang-undang.
Nah, kondisi ini menjadi tidak sesuai dengan amanat demokrasi kita yang menyatakan kebebasan berpendapat bagi setiap warga negara. Yang menjadi pertanyaannya adalah, apa yang terjadi dan kenapa bisa terjadi?
Mari kita telisik lebih lanjut menggunakan teori Availability Heuristic yang dipopulerkan oleh Tversky dan Kahneman. Availability Heuristic atau Heuristik Ketersediaan merupakan salah satu teori kognisi soaial dalam studi Psikologi Sosial, yang digunakan untuk mengetahui seseorang dalam mengambil keputusan berdasarkan seberapa mudah suatu informasi yang spesifik dapat dimunculkan dalam pikirannya.
Secara sederhana teori ini menjelaskan bahwa seseorang akan membuat keputusan dengan cepat dikarenakan pemerolehan informasi yang berkala ataupun tidak, sehingga memungkinkan secara cepat berujung pada sebuah kesimpulan. Seperti contoh, ketika orang merasa takut tewas karena kecelakaan pesawat daripada kecelakaan di darat. Hal ini dikarenakan fakta bahwa kecelakaan pesawat jauh lebih dramatis dan menyedot lebih banyak perhatian media. Akibatnya, kecelakaan pesawat lebih mudah terpikir sehingga kuat pengaruhnya dalam penilaian individu.
Dalam kaitannya dengan keadaaan masyarakat yang semakin takut untuk berpendapat, teori ini dapat menjawab pertanyaan yang kita ajukan sebelumnya. Masyarakat takut akan berpendapat karena berbagi faktor, yaitu faktor pengaruh pengalaman dan pengaruh informasi yang mereka dapat baik di media sosial maupun media massa.
Pertama, pengalaman masyarakat merupakan pemerolehan informasi yang lebih akurat, karena dialami langsung oleh individu dan atau masyarakat. Seperti contoh ketika masyarakat ingin menyuarakan pendapatnya dalam demonstrasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja pada bulan Oktober 2020, para demonstran mendapatkan tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum yang melakukan kekerasan, penggeledahan dan pengaksesan tanpa dasar terhadap masyarakat. Contoh lain, ketika seniman mural yang menyuarakan kekecewaannya terhadap kebijakan pemerintah langsung mendapat respon dari aparat yang seketika menghapus mural tersebut, dan ketika banyak yang berkomentar dan mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah di media sosial, dengan cepat akun tersebut diblokir. Dan banyak contoh lainnya yang mungkin kita semua juga pernah mengalami hal yang serupa.
Dari pengalaman-pengalaman inilah yang menjadi alasan individu dan atau masyarakat menyimpulkan dalam benak mereka akan tidak lagi berkomentar dan mengkritik pemerintah, karena takut akan mengalami peristiwa-peristiwa yang telah mereka rasakan sebelumnya. Di era digital sekarang ini juga menjadikan UU ITE bagaikan sebuah momok yang menakutkan ketika ingin mengkritik pemerintah. Banyaknya pasal karet yang sangat memungkinkan orang untuk terjerat sebuah kasus.
Kedua, faktor media ini yang sering kali menimbulkan sebuah tindakan yang pada akhirnya sebuah kesimpulan itu dilakukan. Ketakukan untuk berpendapat ini juga dilatarbelakangi karena keseringan masyarakat melihat berita baik di media sosial ataupun berita di televisi akan banyaknya tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap seseorang atau suatu keompok yang mengkritik atau memberikan pendapat terhadap kebijakan-kebijakan. Seperti berita kasus Dandhi Dwi Laksono yang terjerat UU ITE karena cuitannya dalam Twitter mengenai kerusuhan yang terjadi di Papua (Kompas TV, 2020). Dan berita kasus-kasus lainnya yang mengakibatkan ketakutan yang terjadi di maysarakat semakin meningkat.
Karena banyaknya informasi yang didapat, maka kesimpulan secara cepat akan tanggapan terhadap situasi-situasi tersebut menjadi tertanam dalam benak kita. Sehingga ketakutan akan berpendapat terjadi di masyarakat sekarang. Teori Availability Heuristic ini ada karena kenangan tertentu secara otomatis diingat kembali karena dua alasan utama: tampaknya sering terjadi atau meninggalkan jejak abadi di benak kita. []