Oleh Mutmainnah
Mahasiswi Prodi Sosiologi Agama UIN Ar-Raniry dan Siswi Sekolah Kita Menulis
Gemarnews.com, Opini - “Thalassemia di Sekitar Kita, Pahami dan Peduli” merupakan sebuah seminar yang menyadarkan saya akan pentingnya memiliki target hidup sehat. Seminar ini dilaksanakan oleh KALBE secara virtual tahun lalu. Lantas, memasuki bulan ketiga tahun 2022, pembelajaran terkait darah dan harapan hidup tersebut kembali terefleksikan di pikiran saya, terutama menjelang peringatan Hari Ginjal Sedunia atau World Kidney Day yang diperingati setiap tanggal 11 Maret.
Peringatan Hari Ginjal Sedunia ini bertujuan untuk mengingatkan masyarakat dunia akan pentingnya menjaga kesehatan ginjal agar terbebas dari kerusakan. Organ ginjal bertugas untuk membuang zat beracun dan menyerap nutrisi bagi tubuh manusia. Akan tetapi, ketika ginjal mengalami gangguan (gagal ginjal), maka solusi yang kerap ditawarkan adalah melalui terapi cuci darah (dialisis). Demikianlah pemahaman yang saya terima dari dokter selama menemani ayah melalui prosesi terapi cuci darah.
Diagnosa gagal ginjal leumik stadium 5 yang dialami ayah selama 2 tahun. Saya sekeluarga menghadapi lika-liku emosi selama mendampingi proses terapi yang Ayah jalani. Kami harus bolak-balik rumah sakit untuk melakukan prosesi terapi cuci darah setiap minggu. Belum lagi ketika mengalami kekurangan stok darah, kami pun harus mencari kesana-kemari donor darah terbaru agar stok darah yang tersedia untuk terapi tidak ditahan.
Bukan hanya itu, ada kalanya mesin cuci darah di rumah sakit mengalami kerusakan. Sehingga pasien yang datang dengan kondisi lemah menjadi semakin lemah akibat harus mengantre seharian. Belum lagi jarak tempuh menuju rumah sakit dari rumah yang tidak dekat. Cuaca yang terkadang hujan juga menjadi kendala karena tidak memiliki kendaraan mobil. Mau tidak mau harus menunggu teduh hujan.
Di tengah keletihan dan kesedihan, tentu pasien dan keluarganya mengharapkan bantuan pelayanan yang maksimal. Namun dalam praktik lapangannya, pelayanan rumah sakit masih mengalami sejumlah kendala. Misalnya masih terbatasnya ketersediaan kursi roda dan ruang akses publik seperti ramp (bidang miring) yang masih belum memadai. Sehingga pelayanan kesehatan yang terkesan belum profesional tesebut kerap menghadirkan rasa kecewa pada diri pasien dan juga keluarganya.
“ Mengapa kita diabaikan seperti ini? Susah sekali meminjam kursi roda untuk ayah, kasian ayah jalan kaki pergi menuju ruangan cuci darah” Pernyataan memilukan itu langsung meluncur dari mulut Ibu saya selaku perwakilan keluarga pasien cuci darah beberapa bulan lalu. Kenangan pelayanan kesehatan yang kerap tidak profesional dari salah satu rumah sakit di Banda Aceh yang diterima oleh Ayah saya. Sosok bertanggung jawab, sang tulang punggung keluarga, yang menghembuskan napas terakhirnya pada 23 September 2021 yang lalu.
Adapun faktor penghambat lainya yang dirasakan pasien cuci darah beserta keluarganyaa adalah biaya pengobatan yang tinggi. Ditambah lagi hambatan diskriminasi mental dari masyarakat sekitar.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 disebutkan bahwa Aceh sempat menduduki posisi tertinggi sebagai provinsi dengan tingkat proporsi populasi thalassemia di Indonesia dengan capaian angka 13,4%. Berdasarkan tingginya persentase pasien cuci darah tersebut, ditambah stigma aksi terapi cuci darah sebagai cerminan akhir kehidupan, maka penting untuk meninjau kembali dampak tekanan tersebut terhadap pasien dan juga keluarganya.
Kondisi nyata yang mungkin tidak disadari kebanyakan orang. Terkecuali bagi orang-orang seperti saya selaku keluarga pasien gagal ginjal atau pun thalassemia. Kondisi dan perlakuan yang saya sekeluarga alami selama menemani Ayah berjuang melaksanakan terapi cuci darah.
“Oh, cuci darah. Tabah ya, biasanya umur pasien enggak lama,” ungkapan empati mengiris hati yang serampangan dilontarkan orang-orang kepada pihak keluarga pasien terapi cuci darah. Anggapan masyarakat luas yang mengklaim kehadiran kedua penyakit tersebut sebagai akhir dari kehidupan manusia dan tidak perlu diperjuangkan.
Seolah-olah usaha atau ikhtiar keluarga untuk merawat orang-orang yang mereka sayangi dan kasihi menjadi lebih sehat dengan menggenggam secercah harapan kesembuhan merupakan tindakan sia-sia.
Ditambah lagi kehadiran pandemi Covid-19, yang disusul wabah Omicron, yang mempertebal dinding penghalang bagi pasien dan keluarganya untuk melakukan pengobatan terapi cuci darah. Disebabkan anggapan bahwa pasien gagal ginjal dan thalassemia lebih rentan terkena wabah. Sehingga, prosedur cuci darah rutin, seminggu dua kali, harus dihindari.
Sesungguhnya, pasien yang mengalami thalassemia atau pun gagal ginjal berjuang keras agar bisa terus bertahan hidup walaupun di tengah kurangnya dukungan dari berbagai pihak. Raut kekhawatiran mendalam juga tergurat jelas dari wajah-wajah keluarga para pasien tersebut. Keluarga pasien, yang di tengah keterbatasan biaya dan tenaga, juga terus berjuang untuk memberikan yang terbaik.
Apalagi para Ibu, betapa mereka berusaha tabah setiap kali menyaksikan anak-anak mereka di usia belia harus melalui serangkaian prosesi cuci darah untuk bisa terus hidup. Maka dukungan positif dan doa yang tulus adalah hal yang dibutuhkan oleh para pasien cuci darah beserta keluarga mereka, bukan justru stigma bocoran jadwal penjemputan ajal.
Padahal, Allah Swt. Sendiri berfirman dalam Surah Al-Jumu’ah ayat 8. “Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang kamu kerjakan”.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa kematian pasti akan dialami setiap insan di muka bumi, di mana pun kita berada, kematian akan terus mengikuti. Sesuai tafsiran ayat di atas, bahwa sejatinya sampai kapan seseorang hidup dan kapan ajal menjemput sepenuhnya merupakan rahasia yang hanya diketahui secara pasti oleh Allah Swt.
Oleh karenanya, tugas manusia saat ini adalah mempersiapkan amal serta berusaha untuk memperbaiki diri. Setiap manusia pasti diuji oleh Allah Swt. dengan ujian yang berbeda-beda; dari perang, bencana alam, musibah ekonomi, sakit, hingga kematiaan.
Dan Al-Qur’an selalu mengingatkan manusia selaku makhluk yang memiliki akal pikiran dan hati Nurani untuk tetap istiqamah dalam kebenaran dan kesabaran. Allah menjamin di dalam ayat-ayat suci-Nya bahwa setiap masalah dan musibah yang kita hadapi dengan hati yang ridha akan mendapatkan ganjaran terbaik. “Sungguh bersama kesulitan ada kemudahan. Dan sungguh bersama kesulitan ada kemudahan,” janji-Nya.[]