Mahasiswa Interdisciplinary Islamic Studies, Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Gemarnews.com, Opini - Kekerasan berbasis gender adalah tindak kekerasan yang ditujukan kepada seseorang karena adanya harapan atau tuntutan yang dilekatkan berdasarkan identitas gender atau peran yang diharapkan oleh masyarakat. Namun mirisnya, kasus kekerasan seksual masih terjadi hampir di semua kalangan, bahkan tanpa memandang gender. Pro dan kontra terkait kasus pelecehan seksual menjadi topik yang hangat dan menjadi perdebatan di berbagai platform media sosial. Di satu sisi, korban kekerasan seksual perlu mendapatkan perlindungan hukum dan privasi agar tidak ada tindakan yang merugikan korban.
Namun, di sisi lain, ada sebagian masyarakat yang masih menyalahkan korban kekerasan seksual. Banyak orang beranggapan bahwa perilaku non-fisik tidak bisa dianggap sebagai pelecehan seksual. Padahal, pelecehan seksual bukan hanya sesuatu yang terlihat seperti luka, tetapi termasuk tindakan dan perilaku yang pada akhirnya menimbulkan rasa sakit, rasa tidak aman, dan tidak nyaman. Kekerasan berbasis gender pada dasarnya identik dengan perempuan, ini dikarenakan hampir di seluruh belahan dunia masih memandang perempuan sebagai gender yang lebih rendah.
Namun, faktanya kekerasan seksual saat ini juga terjadi pada laki-laki. Meskipun banyak penelitian yang menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual didominasi oleh perempuan dan mayoritas pelakunya adalah laki-laki. Beberapa waktu lalu, pada tahun 2017, ramai pemberitaan tentang kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang pria Indonesia di Manchester, Inggris.
Pada tahun yang sama, data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyatakan bahwa untuk kelompok usia 13-17 tahun, prevalensi kekerasan seksual lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan yaitu 8,3% atau dua kali lipat prevalensi kekerasan seksual pada perempuan yaitu 4,1%. Sejalan dengan itu, survei dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) menyatakan bahwa 1 dari 10 laki-laki pernah mengalami pelecehan di ruang publik, data ini melibatkan 62.224 responden.
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual pada tahun 2018 sebagian besar adalah anak laki-laki, dimana 60% anak laki-laki dan 40% anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.
Selain itu, berdasarkan Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang diluncurkan oleh Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) pada tahun 2020, 33% laki-laki mengalami kekerasan seksual, terutama dalam bentuk pelecehan seksual. Pada April 2021, Indonesia dikejutkan dengan kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang perempuan berusia 28 tahun terhadap seorang anak laki-laki yang berusia 16 tahun di Probolinggo, Jawa Timur. Korban mengaku diberi minuman keras oleh pelaku sebelum diperkosa.
Pada tahun yang sama, publik kembali dikejutkan dengan kasus kekerasan seksual terhadap seorang pegawai laki-laki Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dilakukan oleh rekan kerja laki-lakinya. Laki-laki juga rentan terhadap kekerasan seksual di dunia maya. Salah satunya Stand-up Comedian Indonesia mengaku sering menerima pesan melalui direct message di akun media sosialnya yang berisi ajakan berhubungan seks dan foto alat kelamin oleh sesama laki-laki, yang dilakukan tanpa persetujuan.
Kekerasan seksual terhadap laki-laki sering kali tidak ditanggapi secara serius. Namun berdasarkan data-data di atas, persoalan ini merupakan hal yang serius untuk ditangani dan tidak dapat dipandang sebelah mata. Kekerasan seksual tidak memandang seseorang itu feminin maupun maskulin.
Toxic masculinity selama ini telah menjadikan kita yakin akan laki-laki yang menjadi korban pemerkosaan itu tidaklah masuk akal, bahwa laki-laki dianggap selalu menginginkan hubungan seks sehingga mereka tidak akan dapat diperkosa. Mereka harus cukup kuat untuk melawan, sehingga mereka harus mampu untuk melawan dan kejahatan mengenai pemerkosaan hampir tidak mungkin terjadi.
Mitos-mitos semacam itu berkontribusi pada budaya di mana pemerkosaan terhadap pria sering diabaikan dan tidak dilaporkan. Masyarakat pada umumnya berasumsi bahwa laki-laki tidak mungkin menjadi korban, dan bahwa laki-laki biasanya adalah pelaku. Pemahaman ini lahir dari sistem sosial patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam segala aspek, peran kepemimpinan, otoritas moral, dan hak-hak sosial.
Laki-laki yang menjadi korban seksual sering kali merasa lemah, tidak berharga, dan merasa telah kehilangan "kejantanan" mereka karena tidak mampu melindungi diri mereka sendiri. Belum lagi, asumsi masyarakat yang menggeneralisasi korban perkosaan sesama jenis sebagai bentuk penyimpangan seksual. Seringkali, korban dikaitkan dengan praktik homoseksualitas yang dianggap tabu dan tidak normal. Menurut jurnal Wynne Russell tahun 2007 tentang kekerasan seksual yang terkait konflik terhadap sesama lelaki, laki-laki baik dewasa maupun anak-anak ketika menjadi korban kekerasan seksual cenderung enggan melaporkan kasus mereka, sehingga sulit untuk menilai cakupannya secara akurat. Data statistik yang terbatas hampir sepenuhnya kurang dalam menggambarkan jumlah korban laki-laki. Kekerasan seksual terhadap laki-laki itu ada dan terjadi, akan tetapi sebagian besar tidak terdokumentasi. Hal ini menyebabkan kurangnya bantuan atau keadilan bagi korban laki-laki.
Sifat-sifat maskulin yang terglorifikasi telah menjadi bumerang bagi laki-laki. Konstruksi menjadi insan yang superior membuat laki-laki korban kekerasan meragukan, bahkan menyangkal tentang pengalaman buruk mereka sendiri.
Seringkali, mereka distigmatisasi karena menantang sifat maskulin mereka, mereka dianggap lumpuh, kurang macho, dan tidak sepenuhnya laki-laki. Kemudian, ketika laki-laki akhirnya berani menyuarakan pengalaman mereka sebagai korban, publik meragukan mereka. Anggapan bahwa laki-laki adalah makhluk yang agresif secara seksual membuat mereka sering dituduh "diuntungkan" dari kekerasan seksual. Citra semacam ini justru membuat laki-laki selalu diidentikkan sebagai pelaku, sementara perempuan adalah korban. Padahal, kekerasan seksual terjadi ketika ada tindakan seksual yang dilakukan secara paksa atau tanpa persetujuan karena relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban, oleh karena itu kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa saja.
Oleh karena itu, masyarakat semestinya tidak boleh lagi menyangkal bahwa laki-laki juga berpotensi menjadi korban. Kurangnya penelusuran mengenai kasus kekerasan seksual terhadap laki-laki dan kurangnya penelitian terkait dampak kekerasan seksual pada laki-laki menunjukkan sikap yang ada di masyarakat-bahwa ketika kekerasan seksual terjadi pada laki-laki, itu bukanlah topik yang dapat diterima untuk dibahas. Meskipun sudah banyak tulisan tentang trauma psikologis yang dialami oleh perempuan korban pemerkosaan, dan hanya sedikit penelitian yang membahas korban laki-laki, studi kasus menunjukkan bahwa laki-laki mengalami banyak reaksi yang sama seperti perempuan ketika menjadi korban: depresi, kemarahan, rasa bersalah, menyalahkan diri sendiri, gangguan seksual, trauma, dan keinginan untuk bunuh diri.
Masalah lain yang dihadapi oleh laki-laki ialah meningkatnya perasaan tidak berdaya, citra diri yang rusak dan adanya sosial terhadap sesama. Tidak jarang laki-laki yang sebagai korban pemerkosaan menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi, dia meyakini bahwa dirinya telah memberikan kesempatan kepada pelaku.
Maka dari itu, sesuatu yang dapat dilakukan oleh laki-laki adalah mematahkan toxic masculinity, dengan sepenuhnya percaya bahwa mereka sangat mungkin menjadi korban kekerasan seksual. Dengan begitu, laki-laki tidak akan ragu untuk mencari tempat berlindung dan ruang yang aman ketika mereka menyadari bahwa mereka adalah korban. Lebih jauh lagi, diperlukannya lebih banyak narasi dan diskusi tentang pengalaman korban kekerasan seksual lintas gender. Dan perlunya pengumpulan data yang sistematis yang dapat dirinci berdasarkan gender dan usia.
Selain itu juga, dibutuhkan ruang bagi para ahli untuk mendiskusikan bagaimana memberikan pendampingan bagi laki-laki dewasa dan anak laki-laki korban kekerasan seksual, mengingat isu ini sangat sensitif bagi korban dan masyarakat sehingga perlu strategi yang matang seperti yang disebutkan dalam Jurnal Wynne Russell. Korban laki-laki mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan korban perempuan dan seringkali enggan untuk mendiskusikan kekerasan seksual yang mereka hadapi.
Korban juga mempunyai hak untuk melaporkan kejahatan yang mereka alami sendiri, akan tetapi karena aparat penegak hukum tidak selalu sensitif terhadap laki-laki korban perkosaan, maka penting adanya pendamping yang dapat membantu dalam melaporkan tindak kejahatan.
Bagaimanapun juga, laki-laki harus lebih aktif terlibat dalam memerangi dan melawan kekerasan seksual. Bukan hanya untuk menolong diri sendiri ketika mereka menjadi korban, akan tetapi karena perjuangan ini membutuhkan kerja sama dari seluruh elemen dan tentunya semua kelompok gender.