Oleh : Taufik Riswan Aluebilie
Wakil Ketua PW. Pemuda Muhammadiyah Aceh Bidang Pendidikan dan Kaderisasi.
Gemarnews.com, Opini - Momen peringatan Idul adha tidak dapat kita pisahkan dari ritual dan pengorbanan yang dijalankan oleh Nabi Ibrahim dan Keluarga. Karenanya, mari kita gunakan kesempatan baik ini untuk menadaburi teologi qurban dari kisah Ibrahim dalam Alquran, sekligus melakukan refleksi atasnya, sehingga kita mampu meneladaninya.
Allah berfirman:
(120) Sungguh, Ibrahim adalah seorang imam (yang dapat dijadikan teladan), patuh kepada Allah dan hanif. Dan dia bukanlah termasuk orang musyrik (yang mempersekutukan Allah), (121) dia mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Allah telah memilihnya dan menunjukinya ke jalan yang lurus. (122) Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia, dan sesungguhnya di akhirat dia termasuk orang yang shalih. (QS An-Nahl 16:120)
Nama Ibrahim disebut sebanyak 69 kali di 24 surat dalam Alquran. Nama Ibrahim juga diabadikan menjadi nama sebuah surat dalam Alquran, yaitu surat ke-14. Ibrahim adalah Bapak Para Nabi, Abulanbiya, karena sebanyak 19 keturunannya menjadi nabi, dari 25 nabi yang disebut dalam Alquran.
Dari Nabi Ibrahim, terwarisi sistem teologis qurban yang berorientasi pada Ketauhidan dan Kemanusiaan.
Penegasan Ketauhidan Ibrahim terekam dalam Alquran; “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (QS. Al-Anam : 76-79).
Kisah proses pencarian Tuhan secara empiris, rasional obyektif yang terverifikasi dengan akal sehat, menunjukan kapasitas intelektual Ibrahim yang cerdas dan kritis, dan ini juga yang menegasikan fenomena praktik paganistik di sekitarnya, lalu menumbuhkan sikap berpikir rasional. Logika empiris rasionalitas obyektif inilahbyang menjadi penakluk pada suprarasionalitas yang subyektif spiritualistik berdasarkan kekuatan Tauhid Ibrahim.
Nalar Qurban untuk Kemanusiaan
Secara ontologi, Qurban sendiri tidak cukup hanya dipahami dari dogma individualistik yang bersifat materialistik. Artinya kurban bukan hanya sekedar sebagai penebus dosa dan kewajiban dengan mengurbankan hak miliknya atas nilai-nilai nominal. Namun, Spirit Qurban, harus ditinjau dari aspek karakter kemanusiaan (humanistik), prilaku sosial amar ma’ruf nahi munkar, yakni proses pembebasan umat dari ketidakberdayaan, kelaparan dan kemiskinan serta semangat menyatu dengan kaum neomustadhafyin.
Spirit Qurban yang penuh keikhlasan, akan menruntuhkan sifat dan karakteristik kebinatangan yang cendrung hawa nafsunya menguasai, menindas dan ekspoitasi manusia lainnya. Asghar Ali Engineer dalam karyanya “Islam and Liberation Theology : Essay on Liberative Elements in Islam” (2003), menjelaskan bahwa Islam adalah umat yang selalu mengentaskan diri dari orang-orang yang tertindas.
Secara teologis, Qurban merupakan wujud kepasrahan total seorang hamba kepada sang pencipta alam semesta ini, dengan tujuan untuk membersihkan eksistensi dirinya dari berbagai nafsu kebinatangan dan keserakahan terhadap unsur keduniaan. Karena itu, Ibrahim sebagaimana diperintahkan Allah, untuk menjalankan ibadah Qurban, melalui putranya Ismail, tapi Allah wujudkan dalam bentuk penyembelihan hewan, dan menjadi sistem dan kulture teologis kemanusiaan hingga kini.
Fenomena Qurban, dilestarikan oleh Nabi Muhammad SAw. Atas dasar legimitasi dan perintah Allah SWT dalam Al-quran surat Al-Kautsar (108: 2) telah dijelaskan, “Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah”.
Memang benar, kurban itu wujudnya adalah berupa hewan. Tapi, secara simbolik itu hanya untuk dipersembahkan kepada Allah. Tetapi, makna secara esensial yang sampai kepada Allah bukanlah daging dan darahnya melainkan adalah ketaqwaan manusia terhadap hambanya (QS. 5 : 22:37). Ketaqwaan merupakan salah satu syarat mutlak yang harus diaplikasikan untuk mencintai sesama manusia dengan segala kerendahhatian dan kearifannya, agar membudayakan nilai kemanusiaan karena TuhanNya. []