Gemarnews.com, Banda Aceh - Momentum 17 Tahun MoU Helsinki yang diperingati 2 hari sebelum peringatan 77 Tahun HUT RI memberi isyarat bahwa Aceh sebagai salah satu daerah modal kemerdekaan RI hendaknya sejahtera di dalam bingkai NKRI.
Komandan Brigade Pelajar Islam Indonesia Provinsi Aceh, Mohd Rendi Febriansyah menyorot tentang realisasi MoU yang belum sempurna serta poin poin yang seharusnya paling krusial diperjuangkan.
"Persoalan mendasar di Aceh saat ini bukanlah bicara simbol-simbol namun lebih bagaimana mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui program-program pemerintah yang pro rakyat. 10 juta bendera merah putih tak akan berarti apa-apa jika kesejahteraan masyarakat tidak menjadi prioritas utama," tegas Komandan Brigade Pelajar Islam Indonesia (PII) Aceh, Mohd Rendi Febriansyah..... kepada media, Minggu 14 Agustus 2022.
Menurut Rendi, saat ini kepemimpinan Aceh didominasi oleh pejabat yang merupakan perwakilan yang ditunjuk oleh pemerintah pusat dengan konsep penjabat (Pj), sehingga menjadi tolak ukur apakah pemerintah pusat akan memerintahkan perwakilan yang ditunjuknya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat atau malah sebaliknya.
"Kemana saja 10 juta bendera itu dibagikan?bagaimana strategi membagikan? apakah akan di tumpuk digudang setelah penyerahan simbolis dilakukan. Itu tentu menjadi pertanyaan masyarakat. Tapi jika distribusi bendera tidak diiringi dengan distribusi kesejahteraan rakyat, dikhawatirkan bukan meningkatkan semangat tersebut nasionalisme tapi malah melunturkan semangat tersebut," jelasnya.
Komandan Brigade PII Aceh menilai, 17 tahun perdamaian Aceh menjadi momentum yang tepat bagi pemerintah pusat untuk meningkatkan kesejahteraan dan melepaskan Aceh dari belenggu kemiskinan melalui penjabat daerah baik provinsi maupun kabupaten / kota yang diberikan mandat memimpin daerah di Aceh.
"Jika kesempatan ini tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah pusat, maka citra pemerintah pusat dalam upaya merawat perdamaian Aceh juga akan ternodai. Sudah sepatutnya, perintah pertama yang harus dilakukan dan dievaluasi secara berkala yakni bagaimana para perwakilan pemerintah pusat yang ditunjuk sebagai penjabat daerah memimpin daerah di Aceh mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat tanpa memandang kasta hingga ke lapisan paling bawah. Sungguh ironis kiranya, jika bendera yang dibagi namun kesejahteraan tidak menjadi suatu yang dianggap penting sehingga program kepada rakyat kecil diberbagai gampong dan pelosok hanya sebatas menjadi dongeng menjelang tidur yang dinanti-nanti,"ujarnya.
Rendi menegaskan, kesimpulan utama dari perdamaian Aceh dan kemerdekaan NKRI yang mengantarkan perdamaian dengan naskah keramat berjudul Mou Helsinki pada dasarnya adalah kebebasan, kesejahteraan dan kemandirian bangsa Aceh didalam naungan NKRI.
" Jika kesejahteraan rakyat dikebiri dengan program seremoni maka akan menghadirkan kepiluan ditengah harapan kesejahteraan rakyat yang di nanti. Jadi, perdamaian dan kemerdekaan itu bukan persoalan simbol merah putih yang dibagi atau bulan bintang yang dikibarkan, tapi bagaimana kesejahteraan dan program pro rakyat dapat diwujudkan dalam bentuk kebijakan kongkret dari pemimpin yang ditunjuk sebagai perpanjangtanganan pemerintah pusat di Aceh. Jika tidak, rasa nasionalisme hanya wacana, kecintaan terhadap keacehan juga hanya sebatas nostalgia," imbuhnya.
"Kami mengajak stakeholder terkait untuk berdiskusi dan mencapai konsensus bersama berupa penyamaan persepsi memgenai bagaimana butir butir MoU dapat dimaksimalkan untuk kesejahteraan masyarakat Aceh. Kita tidak usah membahas hal hal yang terlalu tinggi tapi tidak substantif dan mementingkan kelompok tertentu. Geutanyoe leuk, peunajoh padee, bek ta pajoh cangguk, meunyoe huk matee" tutupnya. (*)