Oleh: Afrizal Sofyan, S.PdI, M.Ag
Anggota MPU Aceh Besar
Gemarnews.com, Opini - Islam melarang pemeluknya dari perbuatan meminta-minta (mengemis), apalagi diikuti dengan berbohong dan menipu orang lain dan berpura-pura miskin. Banyak hadits Rasulullah saw yang menjelaskan haramnya meminta-minta dengan menipu dan tanpa adanya kebutuhan yang mendesak. Diantaranya diriwayatkan dari Hubsyi bin Junaadah r.a, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api. (HR Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan ath-Thabrâni)
Dalam kitab Syarhu Lum’at al I’tiqad dijelaskan pengemis dibangkitkan di yaumul ba’ats, diwajahnya tidak ada daging sama sekali. Hal ini sesuai dengan hadits dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar r.a, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, "Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain (mengemis), sehingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya.” (Muttafaq ‘Alaih).
Hadits lain yang senada dengan hadits di atas, diriwayatkan dari Samurah bin Jundub r.a, Rasulullah saw bersabda, ”Minta-minta itu merupakan cakaran, yang seseorang mencakar wajahnya dengannya, kecuali jika seseorang meminta kepada penguasa, atau atas suatu hal atau perkara yang sangat perlu.” (HR At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan an-Nasâ`i)
Rasulullah saw merinci siapa saja orang yang boleh mengemis kepada orang lain. Dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali r.a, Rasulullah saw bersabda, “Wahai Qabiishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: (1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti, (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup, sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ”Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup”, ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”. (HR Muslim, Abu Dâwud, Ahmad, dan an-Nasâ`i).
Rasulullah saw dalam banyak hadits menganjurkan umatnya selalu berusaha dan mencari nafkah apa saja bentuknya, selama itu halal dan baik, tidak ada syubhat, tidak ada keharaman dan tidak dengan meminta-minta. Disamping Rasulullah saw juga mengajarkan umatnya untuk ta’affuf (memelihara diri dari minta-minta).
Bahkan, Rasulullah saw memotivasi umatnya selalu berusaha mencari rezeki dengan sabda beliau, “Tidaklah seorangpun memakan makanan sama sekali yang lebih bagus dari memakan dari hasil kerja tangannya sendiri dan Nabiyyullah Dawud a.s dahulu memakan dari hasil kerja tangannya sendiri.” (HR Al-Bukhari). Hadits ini menjelaskan keutamaan kita makan dari hasil usaha dengan bekerja keras.
Mencari rezeki merupakan tuntutan kehidupan yang tak mungkin seseorang menghindar darinya. Seorang muslim memahami pentingnya bekerja bukan sekadar sebagai tuntutan kehidupan. Namun, ia mengetahui bahwa itu juga merupakan tuntutan agamanya, dalam rangka mentaati perintah Allah Swt untuk memberikan kecukupan kepada diri dan keluarganya, atau siapa saja yang berada di bawah tanggung jawabnya.
Orang yang paling berbahagia dan beruntung dalam hidup ini adalah orang yang merasa cukup dengan apa yang Allah Swt berikan dan menjauhkan dirinya dari meminta-minta dengan meyakini Allah Swt akan cukupkan kebutuhannya. Ketika ia merasa cukup dengan karunia yang Allah Swt berikan dan hanya mengadukan segala kesulitannya kepada Allah Swt, maka Allah Swt akan menutupi kefakirannya dan menambah karunia yang telah diberikan Allah kepadanya. Apabila Allah Swt mentakdirkan kita mengalami kesulitan, lalu kita adukan kesulitan itu kepadaNya, maka Allah Swt akan memberikan jalan keluar dan rezeki yang baik, baik cepat maupun lambat.