Oleh : Rahmat Firdaus
Pemerhati Pendidikan, Tinggal di Banda Aceh
Gemarnews.com, Opini - Beberapa pekan terakhir, sedang marak lauching dan pemberitaan di media massa tentang sekolah ramah anak.
Saking euforianya, sebagian besar sekolah berlomba-lomba untuk memperoleh predikat sebagai “Sekolah Ramah Anak”.
Gelar prestisius tersebut dipercaya dapat mendongkrak citra dan nilai jual sekolah di hadapan wali murid, calon wali murid dan pihak-pihak yang berkepentingan.
Peningkatan gelar ini tentu saja akan berimplikasi pada berbagai macam benefit yang diterima sekolah di masa mendatang.
Berbicara tentang sekolah ramah anak yang telah di launching di beberapa tempat, ada pertanyaan mendasar yang perlu dijawab sebelum label sekolah ramah anak disematkan kepada suatu lembaga pendidikan.
Pertama, apa itu sekolah ramah anak dan bagaimana kriterianya?.
Kedua, apakah lembaga pendidikan/sekolah yang ada saat ini tidak ramah anak?.
Ketiga, seandainya dikatakan ada lembaga pendidikan yang belum memperoleh “sertifikasi” ramah anak, bagaimana status lembaga pendidikan tersebut? Karena nota bene-nya, klien dari lembaga pendidikan dasar dan menengah adalah anak-anak. Apakah lembaga tersebut tidak bisa menjalankan atau menyelenggarakan pendidikan?.
Keempat, Bagaimana mekanisme penetapan poin-poin kriteria sekolah ramah anak?
Pertanyaan diatas sangat perlu untuk dijawab agar tidak ada bias pemahaman di tengah-tengah masyarakat.
Unsur pimpinan sekolah, dalam hal ini kepala sekolah dibuat latah berjamaah dalam menyikapi program tersebut tanpa memahami substansi dan esensinya.
Seharusnya sebelum program ini digulirkan, setiap pihak yang terlibat (pemangku kepentingan dan pelaksana) sudah memahami kenapa program ini di launching.
Misalnya ada data yang dipaparkan kepada publik bahwa sekian persen lembaga pendidikan/sekolah melakukan kekerasan kepada anak.
Berdasarkan fakta dan kajian tersebut, lembaga terkait membuat analisis dan keputusan lalu menerbitkan status darurat kekerasan kepada anak.
Baru kemudian pada tahap selanjutnya dikeluarkan kebijakan sekolah ramah anak sebagai antitesa dari sekolah tidak ramah anak.
Jika alur lahirnya program melalui prosedur demikian, niscaya tidak akan terjadi kepanikan di kalangan kepala sekolah. Lahirnya program tanpa paparan data yang komprehensif, sedikit banyak menimbulkan kekhawatir an para kepala sekolah.
Kepala sekolah yang belum mendapatkan “gelar” sekolah ramah anak untuk lembaga yang dipimpinnya, akan dihantui bermacam perasaan antara takut,bersalah, tertekan dan sebagainya.
Kepala sekolah akan bertanya-tanya,”Sekolah saya belum mendapatkan status sekolah ramah anak, berarti sekolah saya adalah sekolah tidak ramah anak atau sekolah yang menerapkan kekerasan dalam pendidikan dengan berbagai macam bentuknya”.
Jika ini kemudian menjadi asumsi publik, maka tidak ada lagi sekolah yang dipercaya kecuali yang sudah mendapatkan assesment atau sertifikasi dari instansi terkait sedangkan jumlah sekolah atau lembaga pendidikan baik formal maupun non formal sangat banyak.
Tidak semua sanggup diakses atau mengakses layanan sertifikasi ramah anak. Jika kondisinya demikian, apakah kita bisa mengatakan secara mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik) sekolah yang tidak memiliki gelar ramah anak berarti adalah sekolah tidak ramah anak atau sinonimnya sekolah yang menerapkan kekerasan dalam pendidikan?.
Kembali pada frasa “ramah anak”, sebenarnya bagaimana sih yang dikatakan suatu lembaga pendidikan itu ramah anak?.
Merujuk kepada kekhasan Aceh sebagai Provinsi yang menerapkan Syari’at Islam, maka jiwa atau ruh setiap kebijakan seyogyanya berlandaskan kepada sumber hukum islam.
Untuk lebih dalam melihat persoalan tersebut,kita ambil satu contoh kecil. Ada sebuah hadis sahih yang termaktub dalam Sunan Abi Dawud dan juga pernah dinukil oleh An Nawawi dalam Al Majmu’ Syarah Muhadzab.
“Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat ketika usianya 7 tahun. Dan pukullah mereka ketika usianya 10 tahun. Dan pisahkanlah tempat tidurnya.” (HR. Abu Daud)
Pukulan adalah salah satu bentuk hukuman. Jika kita membangun premis pukulan adalah hukuman, segala hukuman tidak ramah anak, maka memukul dalam konteks ini juga bisa dikatakan tidak ramah anak. Lalu apakah kita akan mengatakan apa yang Rasulullah sampaikan bertentangan dengan konsep ramah anak yang sedang kita gembar-gemborkan?
Termasuk misalnya dalam melihat apakah suatu kriteria dianggap ramah anak atau tidak ramah anak. Apakah memarahi secara umum dianggap tidak ramah anak. Apakah memberikan hukuman secara keseluruhan adalah menerapkan kekerasan pada anak?.
Jika terminologi kekerasan dipahami seperti diatas, maka saya yakin kita semua sepakat, sekolah dan orang tua kita dulu adalah pabrik yang telah memproduksi kekerasan.
Karena saya yakin kita semua punya kenangan pernah mendapatkan hukuman dari guru-guru kita entah itu dimarahi, dipukul, disuruh berdiri dengan satu kaki dan lain-lain.
Memang, telah terjadi pergeseran makna kekerasan dan penyikapan terutama dalam lembaga pendidikan. Dahulu hukuman-hukuman tersebut tidak dianggap atau dipahami sebagai kekerasan.
Guru menganggap itu adalah hukuman biasa untuk mendisipinkan siswa.Siswa insaf dan menerima keputusan guru, termasuk tidak melawan apalagi memberitahukannya kepada orang tua karena mereka tahu konsekuensinya akan mendapat tambahan hukuman.
Orang tua pun pada posisi mendukung guru ketika anak-anak mereka mendapat hukuman. Orang tua alih-alih melaporkan atau memperkarakan guru, justru hukuman si anak akan bertambah lagi di rumah.
Gambaran suasana pendidikan pada masa itu memiliki kelebihan dan kekurangan. Kekurangannya, siswa rentan mendapat hukuman ketika tidak ada regulasi yang jelas mengatur bagaimana syarat hukuman boleh dikeluarkan dan batasan hukumannya seperti apa.
Namun tidak sedikit kelebihan yang dicapai dengan gaya mendidik guru-guru kita pada masa lampau.
Dengan terciptanya iklim hubungan seperti yang diterangkan diatas, secara tersirat kita bisa melihat partisipasi atau kerjasama pendidikan yang sangat baik antara guru-siswa dan orang tua. Orang tua percaya dan memberikan otoritas penuh kepada para guru untuk mendidik anak mereka.
Kalaupun anak-anak diberikan hukuman oleh guru, mereka yakin itu masih dalam kerangka pendidikan dan dalam batas-batas kewajaran. Jarang dahulu kita dengar guru dikejar dengan parang atau diseret ke meja hijau karena menghukum siswa.
Gambaran suasana diatas tentu saja bukan bermaksud ingin menjustifikasi atau mengatakan iklim pendidikan pada masa itu sudah ideal dan tidak perlu diubah atau sebaliknya sangat buruk sehingga harus di format ulang sampai ke akar-akarnya.
Gambaran diatas hanya sebagai contoh kasus untuk memantik rasa penasaran kita tentang istilah ramah anak dan tidak ramah anak/keras kepada anak.
Kita semua yang hari ini menjadi pemangku kepentingan dan pelaksana kebijakan adalah hasil dari metode pendidikan diatas.
Sebagai guru, dalam hati kita juga mengakui, bahwa masa ketika kita menjadi siswa, anak-anak lebih tertata dalam hal adab dan karakter daripada siswa hari ini. Dulu kita akan merasa malu melihat guru menyapu kantor atau mengangkat suatu barang sedangkan kita hanya diam saja. Anak-anak zaman sekarang lebih cuek dan individualis.
Situasi ini semakin diperparah dengan pandemi covid-19 tiga tahun belakangan. Pasca pandemi covid-19, hasil survei indeks karakter yang dilakukan oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan pada tahun 2021 lalu sebesar 69,52. Turun dari angka indikatif tahun sebelumnya yang sebesar 71,41 (www.balitbangdiklat.kemenag.go.id /berita/indeks-karakter-siswa-menurun-refleksi-pembelajaran-masa-pandemi).
Hasil survei tersebut tentu saja tidak cukup untuk menjadi parameter komparatif yang bisa memberikan jawaban tentang metode terbaik diantara dua era yang berbeda. Apalagi tidak ada survei yang sama pada masa lalu untuk dibandingkan dengan sekarang.
Tapi secara perasaaan, kita bisa menilai anak-anak zaman dulu lebih santun dan menghargai guru dibandingkan anak-anak zaman sekarang.
Hakikat dari sebuah proses pendidikan adalah mengubah karakter atau mindset peserta didik. Setelah mengenyam pendidikan, peserta didik diharapkan memiliki cara pandang yang benar terhadap lingkungannya. Apa yang perlu dipersiapkan untuk bekal hidup ke depan, tentang sikap hidup, tanggung jawab dan lain sebagainya. Untuk itu, sebuah konsep pendidikan harus dipikirkan secara matang dan serius. Pendidikan lah yang akan menjadi wajah suatu bangsa 20-30 tahun kedepan.
Kembali pada istilah sekolah ramah anak. Pertanyaan berikutnya yang perlu kita jawab adalah, apakah defenisi sekolah ramah anak yang telah dicanangkan programnya memiliki makna anak-anak tidak boleh dihukum dalam bentuk apapun baik verbal maupun non verbal?
Bagaimana standar penerapan sekolah ramah anak untuk siswa-siswa bermasalah ataupun orang tua yang tidak kooperatif dengan pihak sekolah? Kalau pertanyaan ini tidak terjawab, maka implementasi program tersebut justru akan rancu dan kontraproduktif di lapangan.
Belum lagi kekhawatiran bocornya celah-celah birokrasi atau short cut untuk mendapatkan gelar sekolah ramah anak.
Semoga label sekolah ramah anak yang disematkan bukan semata-mata proyek untuk menggenjot nilai jual, tapi secara substansi dan esensi memang ramah terhadap anak sesuai dengan tuntunan ajaran islamyang rahmatan lil “alamin. Wallahu A’lam