Mahasiswa jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Gemarnews.com, Opini - Meungang (bahasa Aceh) adalah salah satu tradisi yang masih dilestarikan di Aceh. Meugang atau ada yang menyebutnya Ma'meugang adalah tradisi makan daging menjelang awal puasa Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Tradisi ini dianggap sangat penting dan tidak bisa ditinggalkan oleh masyarakat Aceh.
Dalam tradisi meugang ada acara makan secara bersama-sama beraneka macam masakan dari olehan daging yang telah dimasak.Bagi masyarakat Aceh, merayakan hari "meugang" dengan mengonsumsi daging sapi/kerbau setiap memasuki puasa Ramadhan itu sudah diperingati sejak masa kesultanan, terutama Sultan Iskandar Muda.
Bagi masyarakat Aceh, hari Meugang tidak lengkap rasanya tanpa membeli atau makan daging. Kaya dan miskin seperti mereka harus memilikinya. Orang kaya biasanya membeli daging dalam jumlah besar kemudian disumbangkan kepada keluarga kurang mampu atau yatim piatu. Akan sangat memalukan bagi mempelai laki-laki jika meugang tidak membeli daging untuk ibu mertuanya. Sebaliknya, menjadi kebanggaan keluarga jika membawa pulang kepala sapi atau kerbau.
“Kalau tidak membeli daging waktu meugang rasanya tidak sah masuk (bulan) puasa besok, walau pun enggak ada uang orang kadang rela utangan dulu yang penting keluarga bisa makan daging".
Meugang merupakan tradisi warisan Kesultanan Aceh. Pada masa kejayaan Sultan Iskandar Muda, kata Tarmizi, Sultan bukan hanya membagikan daging kepada fakir miskin, kaum duafa, disabilitas dan anak yatim. Tapi mereka juga turut diberikan masing-masing 5 hasta kain dan 5 keping dirham alias mata uang Kesultanan Aceh yang berlapis emas.
Pelaksanaan Meugang
Dalam konteks masyarakat Aceh saat ini, untuk memperoleh daging sapi guna merayakan tradisi Meugang dapat dilakukan dengan cara yang berbeda-beda, antara lain : Meugang di Gampong (desa), Meugang Kantor, dan membeli daging di pasar. Sebelum eksekusi Meugang, warga Aceh berkumpul di sentra-sentra penjualan sapi.
Meski ada daging impor prakarsa pemerintah yang harganya lebih murah, masyarakat Aceh lebih memilih daging sapi lokal untuk keperluan Meugang. Karena permintaan daging yang tinggi, harga daging sapi biasanya naik dua kali lipat dari harga normal. Kios baru yang menjual daging juga menjamur di pinggir jalan maupun di tempat-tempat keramaian lainnya.
Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi meugang
Menurut riwayat meugang pertama sekali diperingati pada masa Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin Sultan Iskandar Muda (1607-1636 Masehi). Istilah makmeugang diatur dalam Qanun Meukuta Alam Al Asyi atau Undang-Undang Kerajaan Aceh.
Kala itu, kerajaan memerintahkan perangkat desa mendata fakir miskin, kaum duafa, penyandang cacat, dan anak-anak yatim, kemudian diverifikasi oleh Qadi Mua'zzam sebagai otoritas resmi Kesultanan Aceh untuk memilih yang layak menerima daging. Sultan kemudian memotong banyak ternak, dagingnya dibagikan kepada mereka secara gratis.
Melihat dan memahami “asbabul wurud” tradisi Meugang dalam masyarakat Aceh banyak versinya, diantarannya, pertama, dapat dipahami sebagai bentuk apalikasi nilai-nilai religi dimana pihak penguasa (pemerintah) mengundang mereka yang kurang mampu, baik fakir miskin ke Istana untuk disantuni dan diberi sumbangan kepada mereka. Kedua, Meugang itu tradisi untuk menziarahi dan membersihkan maqbarah (kuburan) orang yang dihormati baik orang tua, ulama, raja, sanak keluarga dan lainnya. Ketiga, Meugang itu persiapan menuju bulan suci Ramadan, baik itu dengan memperbanyak sedekah atau sebatas menyimpan daging yang diawetkan sebagai perbekalan selama Ramadan. Wallahhu a’lam.