GEMARNEWS.COM , OPINI - Tahun baru 2023 menjadi momentum terbaik bagi pribadi, masyarakat, organisasi maupun pemerintah dalam mengevaluasi kinerja di tahun 2022. Banyak sekali yang mengawali tahun baru dengan hiburan, perayaan guna merefleksikan daya pikir dan raga serta membuat berbagai rancangan resolusi di tahun 2023 yang harus diwujudkan.
Berbicara tentang pemerintah saat ini, Aceh di tahun 2022 meninggalkan persoalan yang belum di selesaikan secara optimal, persoalan yang menjadi PR besar dan harus dikerjakan secara bersama. Salah satu persoalan Aceh mulai seperti Stunting, Tindak Pidana kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang terus meningkat yang memang menjadi sorotan mata nasional serta revisi Qanun Jinayah Nomor 14 tahun 2016 yang menjadi aturan khusus tindak pidana pelaksana hukum di pemerintah Aceh sebagai daerah otonomi khusunya dan adanya undang-undang tentang tindak pidana kekerasan seksual Nomor 12 tahun 2022 secara Nasional.
Berdasarkan hasil siaran Pers Komnas Perempuan Tentang Peringatan Kampanye Internasional Hari 16 Anti Kekerasan terhadap Perempuan (25 November - 10 Desember 2022) lalu tercatat sebanyak 49.762 laporan kasus kekerasan seksual. Komnas Perempuan pada Januari s.d November 2022 telah menerima 3.014 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, termasuk 860 kasus kekerasan seksual di ranah publik/komunitas dan 899 kasus di ranah personal. Sedangkan, jika kita melihat data terakhir pada DP3A Aceh terkait jumlah korban kasus anak tercatat sebanyak 679 korban.
Kasus pelecehan seksual dengan jumlah 134 kasus tertinggi di tahun penghujung 2022. Disusul oleh kasus sodomi dengan jumlah kasus 113 dan Pemukulan psikis 111. (Data DP3A Aceh dari Januari-November 2022).
Sedangkan, korban kasus perempuan dengan total 622 korban. Korban dengan ksus KDRT dengan jumlah 244 tertinggi pertama di susul oleh kasus pemukulan 154 Pemukulan Psikis dan 122 pemukulan fisik. Artinya dengan jumlah korban yang terdata saat ini di DP3A Aceh memberikn gambaran besar dan PR kita bersama bahwa perlu Danya keterlibatan aktif antar pemerintah, stack holder, ormas/lsm/OKP serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Aceh.
Hari ini kita perlu merefleksikan kembali peran dan kewajiban kita masing-masing untuk mencegah dan menangani kasus di sekitar kita. Bagaimana peran serta upaya apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi tindak terjadinya peningkatan kasus ini. Pungkas Melati Sari Maisara sebagai Ketua Umum KOHATI BADKO HMI Aceh Periode 2021-2023.
KOHATI BADKO HMI Aceh sebagai organisasi mahasiswi yang juga ikut terlibat dalam isu perempuan dan anak serta membuat sebuah resolusi nyata dalam menjawab persoalan besar saat ini terkait latar belakang yang dihadapi Aceh dengan peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang menjadi sorotan publik bahkan seperti kasus berbasis gender terhadap perempuan, adanya kasus kakek yang tega sodomi anak laki-laki umur 7 tahun di Aceh Besar, Pesulap Ijo di Kabupaten Pidie, Ruda paksa Kakek dengan anak tirinya di, Guru ngaji cabuli murid berumur 9 tahun berulang kali di kabupaten bener meriah.
Sebenarnya perlu adanya Home Education bagi anak itu sendiri agar mereka paham terhadap bagian tubuh mana yang harus dilindungi. Supaya kasus di mana pelaku dan korban adalah anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana kekerasan seksual ini tidak terjadi lagi di Aceh. Miris namun bukan saja kritikan yang hari ini Aceh perlukan, melainkan solusi untuk mencegah dan menanganin kasus-kasus yang terjadi di Aceh. Ungkapnya Melati yang juga aktif sebagai Relawan pendampingan kasus anak di Kabupaten Pidie.
Salah satu solusi yang menjadi resolusi KOHATI BADKO HMI Aceh Periode 2022-2023 adalah Sustainable Advocacy Training “Sexsual Violence Treatment “ yaitu pelatihan advokasi penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang akan menjadi sasaran dari kegiatan ini adalah Mahasiswa/Mahasiswi dengan disiplin ilmu hukum/syariah representasi dari 23 Kabupaten yang ada di Aceh.
Konsep ini dirancang oleh KOHATI BADKO HMI Aceh dengan menyediakan tim fasilitator mulai dari nasional sampai kabupaten sebagai pemandu serta pemantau sebelum dan sesudah acara ini dilaksanakan. Target rencana tindak lanjut dari kegiatan pelatihan ini adalah untuk menyediakan sumber daya manusia yang akan mengawal, mensosialisasikan serta ikut berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pendampingan kasus di kabupaten masing-masing, serta mereka juga nantiknya yang akan ikut mengkampanyekan berbagai bentuk kekerasan dan pencegahan yang dapat dicegah mulai dari rumah, tempat pendidikan dan ruang publik saat ini serta terlibat langsung menjadi relawan di P2TP2A/UPTD PPA di kabupaten masing-masing.
Sambungnya Melati Insya Allah kegiatan ini akan dilaksanakan di Pertengahan Januari di Kabupaten Pidie sebagai tuan rumah kegiatan ini. Untuk itu kegiatan ini juga sangat perlu dukungan dari pemerintah Aceh pada umunya serta seluh pemerintahan daerah pada khususnya. Pungkas Melati.
Penulis :
Ketua KOHATI BADKO HMI Aceh
Periode 2021-2023