Diskusi kemanusiaan yang digelar Kantor Berita MINA bekerja sama dengan Kedutaan Pakistan untuk Republik Indonesia, Rasil Network, Medical Emergency Rescue Committee (MER-C), dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Fatah ini dihadiri sekitar 100 orang.
Para pembicara yakni H.E. Muhammad Hassan, Duta Besar Pakistan untuk Indonesia; DR Zahir Khan.
Ketua Forum Solidaritas Kashmir Indonesia; Tuan Haji Mohd Azmi Abd Hamid, MAPIM Malaysia; Astrid Nadya Riqita, Presiden OIC Youth Indonesia; KH Yakhsyallah Mansur, Ulama Peduli Kashmir dan Penulis Buku "Khasmir Membara dan Solusinya". Bertindak sebagai Moderator: Widi Kusnadi, Wartawan Kantor Berita MINA.
Duta Besar Pakistan di Indonesia, H.E. Muhammad Hassan menyoroti tentang pentingnya sejarah perselisihan Jammu & Kashmir dan pentingnya Hari Solidaritas Kashmir.
Dia juga berbicara tentang postur hegemoni India di kawasan Asia Selatan dengan referensi khusus pada masalah terbaru yang dibuat oleh India dengan tetangganya, termasuk Pakistan, China, Bangladesh, dan Nepal.
Hassan juga membahas berbagai aspek lain dari sengketa Jammu & Kashmir termasuk Pelanggaran HAM berat, pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, ideologi Hindutva dari Pemerintah Modi yang diilhami RSS.
Termasuk tidak dilaksanakannya resolusi Dewan Kehormatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) oleh India, dan keinginan Pakistan untuk menyelesaikan semua masalah dengan India. Serta sengketa Jammu dan Kashmir, melalui dialog, sesuai dengan resolusi DK PBB.
Ulama Peduli Kashmir dan Penulis Buku "Khasmir Membara dan Solusinya," KH Yakhsyallah Mansur menyampaikan diskusi ini sebagai sosialisasi kepada masyarakat sekaligus meningkatkan perhatian serta peran masyarakat guna mendukung dan membantu menyelesaikan permasalahan di Kashmir yang masih berlangsung hingga sekarang.
"Krisis Kashmir sudah terjadi sejak 75 tahun lalu, hingga hari ini belum menunjukkan tanda-tanda penyelesaian yang paripurna. Warga Kashmir yang dirundung derita menanti perhatian dan bantuan komunitas internasional, termasuk Dunia Islam untuk dapat menyelesaikan krisis yang masih saja mereka rasakan hingga hari ini," ujarnya.
Solusi yang Ditawarkan
Dia mengungkapkan, pada 4-8 Oktober 2019, beberapa ulama, LSM dan anggota parlemen negara-negara Asia Tenggara, dipimpin oleh Dr. Mohd Azmi Abdul Hamid (presiden MAPIM) Malaysia, diundang oleh Pemerintah Pakistan mengunjungi Kashmir sebagai bagian dari kepedulian mereka terhadap saudara-saudara mereka yang mengalami penderitaan di wilayah itu.
Dari Indonesia, KH Yakhsyallah adalah satu-satunya wakil Indonesia dalam misi tersebut. Dari hasil kunjungan itu, penulis menyimpulkan, untuk menyelesaikan krisis Kashmir setidaknya perlu dilakukan tiga hal, yakni pendekatan kemanusiaan, pendekatan kesejahteraan, dan pendekatan politis.
Fakta bahwa di wilayah Kashmir ada penduduk yang beragama Islam dan Hindu, maka pendekatan humanisme (kemanusiaan) adalah yang paling memungkinkan untuk wilayah itu.
Pendekatan kemanusiaan yang dimaksud adalah bahwa pertolongan harus diberikan kepada siapa saja tanpa memandang suku, agama ras dan golongan. Siapa saja yang membutuhkan, maka merekalah yang harus menjadi prioritas dalam mendapatkan pertolongan dan bantuan.
Siapa pun yang memberikan bantuan, tidak boleh pilih-pilih sesuai dengan seleranya atau sepaham dengan kelompoknya saja, tapi harus secara menyeluruh, adil dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
"Sungguh setiap jiwa yang lahir ke muka bumi ini memiliki hak untuk hidup, tanpa penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan, tanpa diskriminasi serta mendapat perlakuan sama di depan hukum. Itu semua dijamin dalam Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah disepakati dunia internasional pada 10 Desember 1948 dalam sebuah risalah Deklarasi Universal. Maka sudah menjadi kewajiban semua ummat manusia untuk mewujudkan hal itu menjadi nyata, khususnya bagi rakyat Kashmir," pungkasnya.
Tersedia pula buku "Khasmir Membara dan Solusinya" dengan harga khusus di lokasi kegiatan.
Background Kashmir menjadi agenda yang belum terselesaikan sejak tahun 1947. Sejak itu, wilayah Kashmir yang mayoritas Muslim itu bergejolak yang tidak berkesudahan.
Kondisi yang berkepanjangan tersebut menyebabkan warga Kashmir mengalami penderitaan, perampasan hak asasi, bahkan hingga saat ini pergerakan tokoh dan warga Kashmir diperketat.
Sejak 5 Februari 1990, Pakistan menetapkan Hari Solidaritas Kashmir. Hal ini sebagai bentuk dukungan nyata Pakistan terhadap wilayah Kashmir dan Jammu, yang diduduki secara ilegal oleh India dan mendesak agar kekerasan, teror dan penindasan kepada warga Kashmir dihentikan.
Hari itu juga diperingati untuk memberi penghormatan kepada para pejuang Kashmir serta menyoroti perjuangan mereka untuk hak menentukan nasib sendiri, yang dijanjikan kepada mereka oleh komunitas internasional di bawah resolusi Dewan Keamanan PBB.